KEBIJAKAN PENGAMANAN

Safeguards merupakan salah satu isu utama dalam pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan. Safeguards seringkali didefinisikan sebagai serangkaian kebijakan dan prosedur untuk melindungi mereka yang berpotensi terkena dampak pembangunan proyek dari potensi kerugian yang terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, safeguards tidak hanya berfungsi sebagai kebijakan perlindungan tetapi juga merupakan bagian integral dari perencanaan yang menentukan hasil akhir suatu program atau kegiatan. Penerapan safeguards yang konsisten diharapkan dapat memberikan dampak positif yang berkelanjutan bagi misi kegiatan atau proyek di masa depan. Dalam hal ini, safeguards merupakan bagian integral dari rangkaian peristiwa.

 

Kemitraan (“KEMITRAAN”) mempunyai kepentingan langsung dalam penggunaan safeguards. Setidaknya ada dua alasan yang menjadi dasar Kemitraan menggunakan safeguard. Pertama, program dan kegiatan terkait intervensi kebijakan The Partnership yang berimplikasi pada kepentingan pihak lain. Safeguards diharapkan menjadi instrumen untuk memastikan program intervensi kebijakan tidak menimbulkan kerugian dan dampak buruk baik secara sosial maupun lingkungan. Kedua, Kemitraan mempunyai program pemberdayaan masyarakat. Program-program tersebut seringkali bersinggungan dengan permasalahan sosial yang kompleks dan berlapis-lapis. Oleh karena itu, Kemitraan perlu mengembangkan pedoman untuk mencegah program-program tersebut memberikan dampak negatif bagi masyarakat.

 

Kebijakan Safeguards berikut ini merupakan instrumen awal yang diarahkan pada program dan kegiatan Kemitraan. Di masa depan, kemungkinan besar kebijakan safeguards akan berkembang berdasarkan kebutuhan lembaga, pengalaman pelaksanaan program, dan kegiatannya. Dalam upaya memperkuat staf dan mitra dalam menerapkan upaya perlindungan secara efektif, Kemitraan berencana untuk memberikan pelatihan bagi karyawannya dan membantu mitra pelaksana yang menerima dana dari organisasi sehingga mitra dapat melaksanakan kebijakan ini sesuai kebutuhan. Perlindungan ini dirancang khusus untuk melengkapi pelaksanaan program dengan panduan yang memadai untuk mencapai hasil terbaik dari masukan yang diberikan dan untuk mencegah potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial yang disebabkan oleh proyek. Pengamanan ini merupakan bagian integral dari pengamanan keuangan seperti tidak adanya toleransi terhadap penipuan dan korupsi serta anti pencucian uang yang telah diatur dalam Manual Kebijakan dan Prosedur (MPP), Standar Operasional Prosedur (SOP), peraturan dan ketentuan kepegawaian, dan Kerangka Pengendalian Internal (ICF) Kemitraan.

Kemitraan berkomitmen untuk mengembangkan kebijakan organisasi dan prosedur operasi standar (SOP) serta mempersiapkan kapasitas untuk menerapkan kebijakan upaya perlindungan dalam program dan kegiatan, baik yang dilaksanakan oleh Kemitraan maupun mitranya. Disadari juga bahwa kebijakan, prosedur operasional standar (SOP), pedoman, dan instruksi mungkin perlu diperbarui dan disesuaikan dari waktu ke waktu.

 

Dalam mengembangkan kapasitas organisasi untuk menerapkan safeguards, Kemitraan akan memperkuat kapasitas karyawan untuk melakukan penilaian, pemantauan dan evaluasi melalui pelatihan baik yang dilakukan sendiri maupun yang dilakukan oleh pihak lain. Kemitraan juga akan memberikan pelatihan atau membangun kapasitas mitranya untuk menerapkan upaya perlindungan.

 

Apabila kapasitasnya terbatas, Kemitraan dapat menyewa konsultan berbasis proyek.Karyawan/konsultan akan mengawasi kebijakan pengamanan yang diterapkan sepanjang siklus hidup proyek, mulai dari desain dan penilaian proyek hingga pelaksanaan dan penutupan proyek.

Definisi dan ruang lingkup

Ruang lingkup partisipasi secara substantif harus inklusif dan efektif. Perhatian lebih harus diberikan ketika menjalankan program yang berhubungan dengan masyarakat adat, masyarakat lokal, kelompok masyarakat yang terpinggirkan atau kawasan konservasi. Setiap proses, mekanisme atau instrumen yang dirancang untuk mencapai partisipasi substantif harus dirancang sejak awal proyek. Partisipasi substantif adalah hak individu yang relevan terkait dengan kebijakan program dan kegiatan yang dipromosikan oleh Kemitraan. Oleh karena itu, instrumen atau mekanisme yang dikembangkan untuk mencapai hal tersebut merupakan upaya untuk memenuhi hak-hak partisipasi substantif dan perlindungan.

Instrumen yang digunakan

Proses dan mekanisme untuk memastikan partisipasi yang penuh dan efektif setidaknya mencakup beberapa mekanisme:

  1. Identifikasi dan pemetaan menyeluruh terhadap semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan program atau kegiatan di lokasi proyek. Pemetaan tersebut antara lain menunjukkan kapasitas yang terkait dengan isu-isu yang diusung oleh program dan kegiatan, serta aktivitas, kepentingan dan daya tawar masing-masing pihak
  2. Mekanisme serta pedoman partisipasi pemangku kepentingan termasuk mekanisme khusus yang menjamin partisipasi perempuan secara penuh dan efektif dalam berbagai tahapan pelaksanaan program
  3. Kebijakan dan mekanisme afirmatif yang mendukung kelompok rentan (masyarakat miskin, penyandang disabilitas, difabel, dan perempuan yang tidak memiliki akses) untuk terlibat secara aktif dalam program dan kegiatan. Mekanisme ini dapat berupa prioritas peningkatan kapasitas, konsultasi atau diskusi khusus dengan kelompok rentan dan langkah-langkah lain yang diperlukan untuk meningkatkan posisi tawar kelompok rentan dalam pelaksanaan kegiatan, terutama yang terkait dengan pengembangan kebijakan publik
  4. Mekanisme evaluasi pelaksanaan program dan proses kegiatan yang memungkinkan adanya perbaikan atas partisipasi berdasarkan masukan yang diterima dari berbagai pemangku kepentingan.
  5. Mekanisme yang menjamin keseimbangan gender dalam komposisi pelaksanaan berbagai program dan kegiatan, terutama yang berkaitan dengan proses mendorong perubahan dan pengembangan kebijakan baru.


Landasan Hukum

Ketentuan-ketentuan hukum berikut ini memberikan landasan bagi hak-hak para pihak, terutama kelompok rentan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan. Kemitraan dan para mitranya harus melihat kerangka hukum ini sebagai prasyarat minimum yang harus ditaati. Selain prasyarat tersebut, instrumen-instrumen di atas harus menjadi acuan utama dalam pelaksanaan kegiatan.


Regulasi  Penjelasan  
UU No. 39/1999 tentang HAM  Undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa partisipasi merupakan hak masyarakat. Misalnya: (a) mengajukan keberatan kepada pihak yang berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya. Hal ini juga merupakan bagian dari peran serta masyarakat dalam pengawasan penataan ruang; (b) mengajukan gugatan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat yang berwenang; dan (c) mengajukan gugatan ganti rugi kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian (pasal 55 ayat [4] dan [5], pasal 60). Selain itu, peran masyarakat dalam penataan ruang oleh pemerintah dilakukan antara lain melalui: (1) partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; (2) partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan (3) partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang (pasal 65). Undang-undang ini juga mensyaratkan ditetapkannya peraturan pemerintah untuk mengatur lebih lanjut mekanisme dan keterlibatan peran serta masyarakat dalam penataan ruang (Pasal 65). Namun demikian, pengaturan mengenai kewajiban setiap orang dan pemerintah, undang-undang ini tidak mengatur kewajiban pemerintah dan pihak terkait untuk mengikuti proses yang melibatkan dan menghormati hak masyarakat untuk berpartisipasi.
UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang  Undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa partisipasi adalah hak masyarakat. Misalnya: (a) mengajukan keberatan kepada pihak berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya. Hal ini juga merupakan bagian dari peran serta masyarakat dalam pengawasan penataan ruang; (b) mengajukan gugatan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada instansi yang berwenang; dan (c) mengajukan gugatan ganti rugi kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian (pasal 55 ayat [4] dan [5], pasal 60). Selain itu, peran masyarakat dalam penataan ruang oleh pemerintah dilakukan antara lain melalui (1) partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; (2) partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan (3) partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang (pasal 65). Undang-undang ini juga mensyaratkan ditetapkannya peraturan pemerintah untuk mengatur lebih lanjut mekanisme dan keterlibatan peran serta masyarakat dalam penataan ruang (Pasal 65). Namun demikian, pengaturan mengenai kewajiban setiap orang dan pemerintah, undang-undang ini tidak mengatur kewajiban pemerintah dan pihak terkait untuk mengikuti proses yang melibatkan dan menghormati hak masyarakat untuk berpartisipasi 

Beberapa ketentuan hukum yang terkait dengan partisipasi juga terdapat dalam UU Pelayanan Publik, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan ketentuan lainnya. Sebagian besar undang-undang tersebut menyebutkan partisipasi sebagai hak. Pemerintah pusat dan daerah (provinsi, kabupaten/kota), serta berbagai pihak terkait, berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut. 


Sebagian besar peraturan perundang-undangan menyerukan partisipasi dalam kaitannya dengan isu-isu yang dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan pemerintah dan peraturan lainnya. Ketentuan operasional tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para pembuat kebijakan untuk memungkinkan terciptanya lingkungan partisipasi publik yang efektif dalam pembuatan peraturan, pengaturan kelembagaan dan tindakan administratif. 

 

Indikator pencapaian minimum 

1. Dalam upaya mendorong kebijakan reformasi dan kegiatan pemberdayaan masyarakat, pencapaian minimum penerapan safeguard adalah: 


2. Masyarakat yang didampingi melibatkan pemberian masukan terhadap pengembangan kebijakan serta rancangan program pembangunan 


3. Kelompok rentan menunjukkan partisipasi minimal 30% dari kegiatan program reformasi kebijakan dan pemberdayaan. Bukti dapat ditunjukkan dalam Petunjuk Teknis partisipasi dalam proyek/kegiatan yang mencakup kehadiran, metode dan output yang disepakati. 


4. Substansi perubahan yang diusulkan seperti rancangan kebijakan atau bentuk perubahan lainnya menunjukkan bukti adanya masukan dari masyarakat, termasuk masyarakat, termasuk kelompok rentan

Definisi dan ruang lingkup 

Suatu proses yang menjamin bahwa aspek-aspek yang terkait dengan kesetaraan dan keadilan gender diarusutamakan, diakui, dan dihormati, termasuk membuka kesempatan yang lebih luas bagi perempuan untuk mengekspresikan kebutuhan dan kepentingan mereka dengan cara yang aman dan nyaman bagi perempuan. Ruang lingkupnya dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain, tergantung pada konteks, budaya, dan geografi. 


Instrumen yang digunakan 

1. Mengidentifikasi kebutuhan dan kepentingan berbasis gender, terutama kelompok perempuan, terutama yang berpotensi terkena dampak langsung dari kegiatan proyek. 


2. Menggunakan perangkat kerja yang ramah gender, seperti pemilihan lokasi dan waktu pertemuan. 


3. Memastikan kegiatan proyek tidak menghilangkan sumber mata pencaharian perempuan serta membahayakan kehidupan mereka. Termasuk dalam kategori ini adalah perubahan gaya hidup, penurunan fungsi lingkungan, dan peningkatan kekerasan terhadap perempuan yang terkait dengan proyek. Jika tidak dapat dihindari, harus dipastikan bahwa persetujuan yang sesuai dari perempuan yang hidupnya terdampak, diikuti dengan pemulihan mata pencaharian yang terganggu. 


4. Menyediakan informasi yang lengkap dan menyeluruh mengenai kebijakan, proyek dan program, dengan bahasa yang dimengerti oleh laki-laki dan perempuan, dalam bentuk dan budaya yang sesuai.


Landasan Hukum 

Regulasi Penjelasan  
UU No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
 
Undang-undang ini ada untuk memastikan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979. Konvensi ini mengakui perbedaan antara pria dan wanita, serta pentingnya tindakan afirmatif, dan mendefinisikan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap wanita.  
Inpres No. 9/2011  Inpres ini memerintahkan pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional agar berperspektif gender sesuai dengan peran dan fungsi, serta kewenangan yang dimiliki.  
UU No. 39/1999  Undang-undang ini memastikan bahwa setiap individu, termasuk kelompok rentan berhak atas perlakuan dan perlindungan yang adil berkenaan dengan kekhususan (Pasal 3)  

Peraturan lain yang terkait dengan hak-hak perempuan juga ditemukan di berbagai bidang, seperti pendidikan, partisipasi, dan informasi. 


Indikator pencapaian minimum 

1. Ada jaminan bahwa proyek yang dijalankan tidak melanggar hak-hak perempuan yang tercermin dalam perencanaan dan pelaksanaan program (dalam kontrak antara pelaksana program dengan Kemitraan, serta kesepakatan antara masyarakat dan pelaksana program).


2. Adanya model dan keterlibatan perempuan di wilayah program yang ramah dan peka gender.


3. Adanya analisis risiko yang terintegrasi dalam perancangan dan pelaksanaan proyek yang merespon kebutuhan berdasarkan gender. 


4. Adanya data terpilah mengenai kebutuhan spesifik anggota masyarakat yang terkena dampak (perempuan sebagai kepala keluarga, dan anak-anak serta perempuan dalam rumah tangga yang dikepalai laki-laki). 


5. Adanya data terpilah mengenai dampak program/proyek terhadap laki-laki dan perempuan.

Definisi dan ruang lingkup 

Transparansi dalam konteks ini memiliki dua sisi definisi. Pertama, hal ini menunjukkan sikap lembaga dan individu (Kemitraan dan penerima hibah) yang berkewajiban untuk merancang dan melaksanakan program dan kegiatan secara jelas, dapat diprediksi (memiliki kepastian) dan dipahami. Hal ini memberikan peluang yang lebih besar bagi para pemangku kepentingan untuk memahami rincian program dan kegiatan yang mempengaruhi mereka. Aspek berikutnya adalah kualitas informasi rencana dan pelaksanaan yang ditonjolkan oleh lembaga atau individu yang memiliki kewajiban untuk dipahami sehingga membuat para pihak mengambil sikap tertentu. 


Transparansi mensyaratkan adanya keterbukaan informasi dan kualitas yang baik. Indikator utama dari kualitas tersebut ditunjukkan oleh sikap yang ditunjukkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat berupa masukan, komentar, kritik, bahkan penolakan terhadap kegiatan yang diusulkan oleh pihak pelaksana. 


Instrumen yang Digunakan 

Mekanisme untuk menjamin terlaksananya transparansi, minimal tersedianya hal-hal sebagai berikut: 


1. Mekanisme yang memastikan bahwa informasi dasar dari program dan kegiatan yang relevan disampaikan kepada para pemangku kepentingan di tingkat tapak. 


2. Mekanisme yang memastikan penyampaian informasi yang relevan disampaikan sebelum program atau proyek dirancang di tingkat tapak, sesuai dengan kondisi setempat, dan dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami. 


3. Mekanisme untuk klarifikasi dan keberatan atas informasi yang disampaikan oleh pelaksana program/kegiatan. 


4. Mekanisme yang memastikan bahwa informasi yang disampaikan peka terhadap kebutuhan kelompok marjinal, terutama perempuan dan masyarakat adat. 


5. Mekanisme yang menjamin transparansi informasi laporan program atau kegiatan yang dapat diakses dan mudah dipahami oleh para pemangku kepentingan, terutama perempuan, masyarakat adat, dan minoritas. 


6. Mekanisme yang memastikan adanya masukan atau keberatan atas informasi yang disediakan untuk publik. 


Landasan Hukum 

Beberapa ketentuan dalam undang-undang telah mengatur transparansi badan publik atau penyedia layanan publik. Undang-undang mendefinisikan penyelenggara pelayanan publik sebagai institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik (Pasal 1 angka 2 UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik) 

Regulasi  Penjelasan 
UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Publik  Berdasarkan undang-undang ini, informasi adalah hak setiap orang. Secara khusus, undang-undang ini menyatakan bahwa: (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Di sisi lain, pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memenuhi hak atas informasi dengan menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, termasuk pelaksanaan langkah-langkah yang efektif di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan negara, dan bidang-bidang lain (pasal 71 & 72)  
UU No. 39/1999 tentang HAM  Berdasarkan undang-undang ini, informasi adalah hak setiap orang. Secara khusus, undang-undang ini menyatakan bahwa: (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Di sisi lain, pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memenuhi hak atas informasi dengan menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, termasuk pelaksanaan langkah-langkah efektif di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan negara, dan bidang-bidang lain (pasal 71 & 72) 

Indikator pencapaian minimum:

Adanya mekanisme keterbukaan informasi proyek dan kegiatan publik dan masukan dari berbagai pihak atas rancangan proyek atau kegiatan tersebut. Mekanisme ini setidaknya mengacu pada instrumen yang ada dalam kebijakan atau peraturan perundangan tentang informasi publik di Indonesia. Beberapa indikator pencapaiannya adalah sebagai berikut: 

– Undangan kepada para pemangku kepentingan minimal 2 minggu atau 10 hari kerja sebelum kegiatan berlangsung. 

– Informasi umum proyek dan kegiatan terbuka untuk umum, setidaknya melalui situs web. Informasi ini harus disampaikan 2 minggu atau 10 hari kerja sebelum tatap muka pertama dengan pemangku kepentingan 

– Informasi umum paling tidak menguraikan pelaksana proyek, jenis kegiatan, tujuan dan sasaran kegiatan, anggaran, rencana pelibatan pemangku kepentingan, tahapan atau rencana kerja secara umum. 

– Informasi masukan dari masyarakat terhadap rencana kegiatan atau proyek yang disampaikan melalui website. Informasi ini juga disertai dengan perubahan dokumen yang dilakukan berdasarkan masukan dari masyarakat. 

Kebijakan pengamanan informasi termasuk mekanisme pengaduan 


Penerima manfaat proyek memahami dengan baik aspek positif dan negatif dari proyek dan membuat keputusan berdasarkan pertimbangan kedua aspek tersebut 

  1. Paling sedikit 50% dari penerima manfaat proyek mengetahui gambaran umum proyek, antara lain nama pelaksana, ruang lingkup dan lokasi kegiatan proyek 

Kemitraan berkomitmen untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur operasional standar (SOP) organisasi serta mempersiapkan kapasitas untuk menerapkan kebijakan upaya perlindungan dalam program dan kegiatan, baik yang dilaksanakan oleh Kemitraan maupun oleh para mitranya. Disadari pula bahwa kebijakan, SOP, pedoman, dan instruksi yang ada perlu diperbarui dan disesuaikan dari waktu ke waktu. 


Dalam mengembangkan kapasitas organisasi untuk menerapkan upaya perlindungan, Kemitraan akan memperkuat kapasitas karyawan untuk melakukan penilaian, pemantauan, dan evaluasi melalui pelatihan, baik yang dilakukan secara internal maupun yang dilakukan oleh pihak lain. Kemitraan juga akan memberikan pelatihan atau membangun kapasitas mitranya untuk menerapkan safeguards. 


Jika kapasitas yang dimiliki terbatas, Kemitraan dapat menyewa konsultan berbasis proyek. Karyawan/konsultan tersebut akan mengawasi kebijakan safeguarding yang diterapkan di seluruh siklus hidup proyek, mulai dari desain dan penilaian proyek hingga implementasi dan penutupan proyek. 

Kemitraan berkomitmen untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur operasional standar (SOP) organisasi serta mempersiapkan kapasitas untuk menerapkan kebijakan upaya perlindungan dalam program dan kegiatan, baik yang dilaksanakan oleh Kemitraan maupun oleh para mitranya. Disadari pula bahwa kebijakan, SOP, pedoman, dan instruksi yang ada perlu diperbarui dan disesuaikan dari waktu ke waktu. 


Dalam mengembangkan kapasitas organisasi untuk menerapkan upaya perlindungan, Kemitraan akan memperkuat kapasitas karyawan untuk melakukan penilaian, pemantauan, dan evaluasi melalui pelatihan, baik yang dilakukan secara internal maupun yang dilakukan oleh pihak lain. Kemitraan juga akan memberikan pelatihan atau membangun kapasitas mitranya untuk menerapkan safeguards. 


Jika kapasitas yang dimiliki terbatas, Kemitraan dapat menyewa konsultan berbasis proyek. Karyawan/konsultan tersebut akan mengawasi kebijakan safeguarding yang diterapkan di seluruh siklus hidup proyek, mulai dari desain dan penilaian proyek hingga implementasi dan penutupan proyek.