Tidak ada yang relatif baru dalam kesepakatan COP 27 di Mesir baru-baru ini, karena usulan kompensasi (loss and damage) terhadap kerusakan lingkungan untuk negara-negara berkembang dan miskin yang kontribusi emisinya rendah sudah pernah dibahas pada COP15 di Kopenhagen tahun 2009. Komitmen memobilisasi 100 miliar USD pertahun dari negara-negara maju untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim saat itu disepakati akan dimulai tahun 2020, namun di COP 21 Paris akhir tahun 2015 janji tersebut diundur dan baru akan dilaksanakan tahun 2025.
Bahkan keputusan loss and damage di COP 27 di Mesir sebetulnya pun tidak menghasilkan tindak lanjut dari Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact) hasil COP 26 tahun sebelumnya. Yaitu pentingnya untuk memberi peta jalan bagi dunia cara konkret mengurangi batu bara, serta pedoman mengakses bantuan dana untuk negara-negara berkembang beradaptasi dengan dampak iklim.
Akibatnya, negara-negara yang rentan terhadap dampak iklim masih mengalami kesulitan mengakses dana bantuan. Sementara pada sisi lain, tahun ini saja tidak terhitung bencana akibat cuaca ekstrem yang terjadi di dunia. Sebut saja gelombang panas di Eropa, kebakaran hutan di Australia, sampai banjir besar di Pakistan. Di negara kita pun demikian. Banjir rob yang terjadi setiap hari di Kota Pekalongan dan sebagian wilayah pantai utara jawa, hujan es disertai puting beliung di Jombang, serta banjir di Bulukumba.
COP memang merupakan ajang yang harus diapresiasi karena para pemimpin dari seluruh dunia berkumpul, berdiskusi dan menyatakan kepedulian terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Idealnya pula, para pemimpin negara dan pemangku kepentingan lain yang hadir memiliki komitmen tegas dalam melakukan perang terhadap perubahan iklim. Terutama untuk segera merumuskan skema akses dana bantuan untuk adaptasi dan mitigasi bagi negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim.
Berdasarkan pengalaman KEMITRAAN selaku Accredited Entity bagi dua skema pendanaan program adaptasi (Adaptation Fund) dan Global Climate Fund (GCF) di Indonesia, terdapat beberapa catatan kritis terhadap skema bantuan pendanaan oleh lembaga internasional. Yakni pentingnya merumuskan skema sederhana untuk mengakses dana bantuan, kesiapan implementer serta komitmen negara penerima dana bantuan.
Pertama, komunitas internasional, khususnya negara dengan emisi perkapita tinggi seperti Amerika, Jepang, Eropa, harus berupaya menciptakan mekanisme yang tidak berbelit-belit, sedikitnya cukup implementasi prinsip transparansi dan akuntabilitas saja, agar proses adaptasi dan mitigasi dapat dilakukan secara cepat, dan bermanfaat hingga level tapak. Proses yang lambat hanya akan menjadikan negara kepulauan seperti Indonesia rentan tenggelam. Jangan sampai sebagian pulau sudah ada di bawah air, dananya tidak kunjung keluar.
Kedua, penting untuk merumuskan tata kelola pemanfaatan dana bantuan yang diterima agar bersih secara pengelolaan. Seperti yang kita ketahui, banyak sekali dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan sektor energi fosil dan ini menambah besar daya rusaknya bagi lingkungan dan alam. Oleh karenanya, harus dipastikan praktik penyelewengan serta korup tidak terjadi saat mulai transisi ke energi terbarukan.
Ketiga, komitmen pemerintah dalam adaptasi dan mitigasi pun harus diiringi dengan kemauan politik. Keberanian pemerintah untuk menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89 persen secara mandiri, dan 43,2 persen dengan dukungan internasional di tahun 2030 harus diwujudkan dengan merumuskan program-program yang terukur. Termasuk memastikan isu perubahan iklim HARUS menjadi isu prioritas dari para calon pemimpin politik di saat Indonesia menghadapi pesta demokrasi terbesar di tahun 2024.
Catatan terakhir saya terhadap penyelenggaraan COP 27 di Mesir, banyak delegasi dari dunia internasional yang terpaksa tidur di emperan hotel, karena ketidaksiapan penyelenggara melaksanakan perhelatan konferensi iklim dunia. Saya kemudian berdoa agar jangan sampai dunia di masa yang akan datang bernasib serupa, karena ketidaktegasan para pemimpin dunia melawan dampak perubahan iklim, sebagian dari kita atau generasi setelahnya harus terlantar dan merasakan penderitaan akibat bencana yang terjadi di bumi yang mereka huni.
Wahai para pemimpin dunia, bumi sudah darurat. Semakin ditunda pengurangan batu bara dan sulitnya mengeakses skema pendanaan iklim, kerusakan yang akan terjadi akibat dampak perubahan iklim semakin dahsyat.
Salam Perjuangan,
Laode M. Syarif Ph. D
Referensi: https://mediaindonesia.com/humaniora/446816/ktt-cop26-menghasilkan-pakta-iklim-glasgow
Artikel ini telah dimuat di Kabar KEMITRAAN November 2022.
Berlangganan newsletter KEMITRAAN melalui tautan ini.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.