KEMITRAAN didukung oleh Adaptation Fund, dalam program Adaptasi Perubahan Iklim Melalui Tata Kelola Daerah Aliran Sungai Terpadu Berkelanjutan pada Masyarakat Adat Wilayah Adat Ammatoa Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan, telah mengubah pandangan masyarakat lokal. Mereka menyadari bahwa perempuan juga memiliki kedudukan yang setara dalam pengelolaan hasil hutan dan ikut berpartisipasi dalam ketahanan pangan. Program ini melibatkan perempuan dalam keanggotaan Kelompok Tani Hutan (KTH) dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan).
Sebanyak 350 perempuan adat Kajang di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulewesi Selatan yang tersebar di 13 desa dan 1 kelurahan, telah berhasil memanfaatkan pekarangan rumah mereka untuk produksi sayur-sayuran. Upaya ini merupakan bagian dari adaptasi ketahanan iklim, yang membantu masyarakat menghadapi tantangan seperti sulitnya akses air dan serangan hama pada tanaman yang biasa terjadi di kebun-kebun yang jauh dari tempat tinggal mereka.
Sebelumnya, perempuan adat Kajang harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk menanam sayur-mayur di kebun mereka, yakni menghadapi berbagai tantangan seperti hama tanaman dan serangan babi hutan. Di sisi lain, masyarakat Kajang memiliki rumah panggung dengan pekarangan luas, yang biasanya dimanfaatkan untuk menanam pohon tarung atau buah-buahan, tetapi belum optimal untuk produksi sayur.
Program Sekolah Lapang yakni Sayuran Pekarangan yang diimplementasikan Konsorsium Oase dan Payo-Payo hadir memberikan pendampingan kepada perempuan Kajang untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas mereka dalam menghadapi perubahan iklim. Tiga kegiatan utama yang dilakukan meliputi; (1) pemetaan sumber air sekitar desa, (2) penanaman sayuran di pekarangan rumah, dan (3) pembuatan pupuk organik.
Program ini merupakan bagian dari inisiatif “Adapting to Climate Change through Sustainable Integrated Watershed Governance in Indigenous People of Ammatoa Kajang Customary Area in Bulukumba Regency,” yang dijalankan oleh Konsorsium Oase dan Payo-Payo sebagai entitas pelaksana (Executing Entity), dengan KEMITRAAN sebagai entitas pelaksana nasional (National Implementing Entity).
Hasilnya, di Desa Tana Toa, Kelompok Peti tidak hanya berhasil menanam sayuran tetapi juga menghidupkan kembali bank sampah plastik. Di Kelurahan Jawi-Jawi, Ibu Asniar salah satu anggota kelompok, berhasil mengembangkan pembibitan sayuran mandiri dan mengajarkannya kepada anggota lainnya agar tidak bergantung pada dana program.
Di Desa Tugondeng, program ini telah terbukti sangat efektif dalam membantu 25 perempuan kepala keluarga menemukan alternatif ekonomi yang berkelanjutan melalui pemanfaatan kebun pekarangan. Program ini tidak hanya membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, tetapi juga memberikan peluang untuk mendapatkan penghasilnya tambahan yang berharga secara signifikan meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Dengan keberhasilan ini, program Sekolah Lapang menjadi contoh nyata bagaimana pemberdayaan ekonomi perempuan dapat memberikan dampak postif yang nyata bagi komunitas lokal.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.