Kendal, (11/2018). Dampak perubahan iklim telah dialami oleh wilayah-wilayah di Indonesia dan setiap tahun kian mengkhawatirkan. Berdasarkan penelitian Kemitraan tahun 2017, setiap wilayah memiliki dampak perubahan iklim berbeda di empat daerah, antara lain Kabupaten Kebumen dan Kota Pekalongan di Jawa Tengah, Kabupaten Pulang Pisau di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Donggala di Provinsi Sulawesi Tengah.
Demikian salah satu poin yang disampaikan oleh Arif Nurdiansah, peneliti tata kelola perubahan iklim lembaga Kemitraan pada Youth Climate Change (YCC) yang diadakan oleh Walhi Jateng bersama Kemitraan dan didukung oleh Kedutaan Besar Denmark.
Di hadapan sekitar 50 mahasiswa dari berbagai latar belakang kampus yang ada di Jawa Tengah, diantaranya Semarang, Salatiga, Pekalongan hingga Jogjakarta, Arif menyebut perubahan iklim di Kebumen misalnya telah menurunkan produktivitas pertanian, Kota Pekalongan yang terendam banjir rob, berkurangnya luas lahan gambut di Kabupaten Pulang Pisau dan abrasi serta belum optimalnya sektor perikanan di Kabupaten Donggala.
Menurut Arif banjir rob di Semarang timur atau Kota Pekalongan tidak hanya telah merendam rumah dan lingkungan tempat tinggal mereka, tetapi juga memengaruhi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat seperti kualitas pendidikan anak yang terganggu, kesehatan terutama pada perempuan, kemiskinan akibat lahan kebun maupun sawah yang tidak lagi produktif akibat terendam.
Disebutkan oleh Arif, salah satu penyebab terjadinya dampak perubahan iklim adalah penggunaan fosil yang berlebih, salah satunya di sektor energi yang sejauh ini masih mengandalkan batu bara dan minyak bumi dalam produksi listrik nasional.
“Hampir 50 persen energi listrik di Indonesia dihasilkan oleh batu bara dan minyak bumi, sementara di sektor energi baru terbarukan baru sekitar 12 persen.” Jelas Arif.
Padahal menurutnya potensi energi baru terbarukan di Indonesia cukup besar, dari mulai tenaga surya, angin, mikro hidro, gelombang laut dan biogas. Namun sejauh ini, pemerintah belum mengoptimalkan potensi tersebut untuk menggantikan penggunaan energi fosil yang semakin langka sekaligus menekan produksi emisi.
Bahkan menurut Walhi Jawa Tengah, pemerintah provinsi Jawa Tengah berencana membangunn Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di Pemalang setelah sebelumnya membangun pembangkit batu bara di Cilacap dan Batang, kendati pasokan listrik Jawa-Bali surplus 30 persen.
Pada sesi selanjutnya, Yan Yan dari I Care menjelaskan jenis-jenis pembangkit listrik dari energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia dan peran anak muda sejauh ini dalam mengembangkan energi terbarukan.
“Hampir semua proses produksi energi listrik menimbulkan dampak negatif, namun EBT memiliki dampak sangat minim dibanding penggunaan energi fosil yang prosesnya tidak hanya menimbulkan emisi, tapi juga berpotensi merusak lingkungan dan hutan.” Jelas Yan Yan.
Peserta YCC juga mendapatkan pengalaman melihat langsung contoh Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan berdiskusi dengan warga di dusun Promasan yang terletak 1960 mdpl di kaki gunung ungaran.
Dengan melihat langsung PLTMH dan berdiskusi dengan warga, peserta YCC diharapkan dapat melihat langsung proses produksi listrik dan pentingnya akses listrik bagi warga yang belum teraliri listrik PLN.
Selain mendapatkan pengetahuan seputar perubahan iklim dan energi baru terbarukan, peserta juga membuat peta masalah dampak perubahan iklim di wilayahnya. Menurut mereka, dampak perubahan iklim telah terjadi di hampir seluruh wilayah Jawa Tengah, terutama di wilayah pesisir pantai utara dengan masifnya banjir rob. Sementara di wilayah selatan, rata-rata sektor paling banyak terdampak adalah pertanian.
Di akhir kegiatan, masing-masing kelompok membuat rencana kampanye pengurangan emisi untuk mencegah dampak perubahan iklim sesuai dengan kemampuan mereka sebagai anak muda. Pengurangan penggunaan penggunaan plastik sekali pakai, hemat dalam penggunaan listrik serta air tanah. Mereka juga akan mengkampanyekan gerakan ini melalui sosial media. Harapannya, agar anak muda menjadi agen perubahan untuk mendorong energi Indonesia yang lebih bersih.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.