Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Indonesia kerap mengalami ancaman dan kekerasan. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, pada tahun 2023 terdapat tujuh kasus kekerasan terhadap PPHAM yang diadukan secara langsung.
Ancaman dan kekerasan yang didapat berupa fisik dan digital. Biasanya di saat mengadvokasi kasus yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan konflik lahan, mereka diancam untuk menghentikan advokasinya.
Atas kondisi tersebut, KEMITRAAN melalui proyek ELEVATE (Enhancing the Leverage of WEHRDs in Sustaining the Environment berupaya memperkuat perlindungan bagi PPHAM. Caranya yakni dengan memperkuat mekanisme perlindungan dari negara sekaligus menginisiasi perlindungan berbasis masyarakat. Di proyek ini, KEMITRAAN juga mendukung PPHAM dan organisasi masyarakat sipil dalam melakukan advokasi yang sensitif gender dan responsif terhadap lingkungan hidup.
Dalam melaksanakan upaya tersebut, KEMITRAAN mengadakan peningkatan kapasitas mekanisme perlindungan dan keamanan PPHAM lingkungan hidup yang peka gender pada 30-31 Januari 2024 di Hotel Mercure BSD, Tangerang Selatan, Banten. Di sesi pertama acara tersebut, KEMITRAAN bersama para PPHAM dan organisasi masyarakat sipil membahas bentuk-bentuk serangan terhadap pembela HAM. Sesi tersebut dipandu oleh perwakilan dari Wahana Lingungan Hidup Indonesia (Walhi)
Berikutnya, para peserta juga berbagi pengalaman mengenai ancaman kriminalisasi terhadap mereka. Sesi tersebut diisi oleh perwakilan Institute Criminal Justice Reform (ICJR) yang menjelaskan mengenai aturan hukum yang selama ini dipakai untuk mengkriminalisasi PPHAM. Salah satunya ialah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan demikian mereka mampu berurusan dengan hukum saat dikriminalisasi dengan UU ITE.
Kemudian narasumber dari South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) turut berbagi kepada peserta mengenai ancaman keamanan digital serta perkembangan terbaru usai disahkannya revisi UU ITE. Peserta saling berbagi mengenai pengalaman mereka saat mendapatkan serangan digital dan upaya yang telah dilakukan individu serta organisasi mereka dalam mencegah dan menangani serangan tersebut.
Tak hanya membahas perlindungan fisik, acara tersebut juga membahas kesehatan mental para PPHAM dan pengurus organisasi masyarakat sipil yang aktif memperjuangkan HAM. Sesi itu diisi oleh narasumber dari Yayasan Pulih. Ia menekankan pentingnya kesehatan mental bagi para pejuang HAM. Sebab proses advokasi seringkali cukup panjang dan melelahkan sehingga dapat berakibat buruk bagi kesehatan mental para pembela HAM.
Acara tersebut ditutup dengan diskusi bersama komisoner Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dalam diskusi tersebut para PPHAM dan organisasi masyarakat sipil menyampaikan rekomendasi agar regulasi yang ada direvisi sehingga memunculkan sistem perlindungan yang holistik bagi mereka.