Bursa calon Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) 2023-2027 tengah ramai dibicarakan publik. Dari lima calon yang resmi mendaftar, setidaknya ada dua pejabat publik aktif yang ikut berkompetisi. Mereka adalah Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, Lanyalla Mattalitti dan Menteri Badan Umum Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Nama terakhir menjadi sosok yang menuai cukup banyak dukungan untuk menempati tampuk supremasi organisasi sepak bola di seluruh Indonesia.
Selain muda, kaya raya, ia juga berpengalaman menjadi Presiden sejumlah klub sepak bola bergengsi di dunia. Wajar jika publik berharap ada “darah segar” untuk membenahi carut-marut dunia sepak bola di Indonesia. Namun, terlepas dari euforia Menteri Erick tersebut, kedua calon pada dasarnya memiliki problem yang sama, yakni potensi konflik kepentingan! Organization for Economic Co-operation and Development – OECD (2022) mendefiniskan konflik kepentingan sebagai sebuah konflik antara tugas publik dan kepentingan pribadi seorang pejabat publik. Pejabat publik tersebut memiliki kepentingan pribadi yang dapat memengaruhi kinerja, tugas dan tanggung jawabnya secara tidak wajar (a conflict between the public duty and private interests of a public official, in which the public official has private-capacity interests which could improperly influence the performance of their official duties and responsibilities).
Kemudian, baik dalam Undang-undang 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 37 Tahun 20212 tentang Pedoman Umum Penanganan Benturan Kepentingan sama-sama menempatkan konflik atau benturan kepentingan kepada sebuah situasi yang akan memengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya. Jadi, pada dasarnya konflik kepentingan memang belum masuk kepada suatu perbuatan yang koruptif. Melainkan sebagai situasi atau keadaan yang apabila dibiarkan atau tidak dihindari akan memicu perbuatan korupsi kemudian hari. Baik Erick maupun Lanyalla merupakan pejabat publik aktif. Lebih dari itu, mereka adalah pimpinan lembaga negara yang merupakan pengguna anggaran. Dalam regulasi tentang pembendaharaan negara (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004) disebutkan jika menteri/pimpinan lembaga adalah pengguna anggaran/pengguna barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
Sebagai pengguna anggaran, pimpinan lembaga dapat melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara serta mengawasi pelaksanaan anggaran. Apabila salah satu dari mereka menduduki posisi Ketua Umum PSSI di satu sisi, kemudian menjadi pimpinan lembaga negara di sisi lain, maka akan berpotensi melahirkan kebijakan yang akan menguntungkan diri pribadinya dari satu jabatan tersebut. Misalnya terkait bantuan keuangan berupa hibah yang bisa diberikan negara melalui lembaga negara kepada PSSI. Baik DPD maupun kementerian BUMN berpotensi memberikan bantuan hibah kepada PSSI dengan berbagai alasan. Mengingat antara lembaga pemberi dana dan penerima dipimpin oleh orang yang sama. Khusus untuk jabatan menteri, Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara telah melarang menteri untuk merangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Pada tahun 2020, misalnya, PSSI mendapat kucuran dana sekitar Rp 50,6 miliar dari Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk persiapan Piala Dunia U-20 tahun 2021, di mana Indonesia menjadi tuan rumah.
Keberadaan ketua umum yang juga sebagai pimpinan lembaga negara akan berpotensi mengurangi akuntabilitas penilaian bantuan keuangan dari lembaga negara yang ia pimpin untuk PSSI di kemudian hari. Menteri Erick sebagai pihak eksekutif memang sedikit lebih banyak potensi konflik kepentingan tatkala memimpin PSSI ketimbang posisi Lanyalla sebagai pimpinan lembaga legislatif. Kementerian BUMN membawahi urusan-urusan yang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan pencetak laba bagi negara. Sejumlah perusahaan berpotensi bahkan sudah ada yang bermintra dengan PSSI, seperi Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang merupakan sponsor utama penyelenggaraan Liga 1. Boleh jadi kedepan sejumlah BUMN akan potensial dimobilisasi untuk mendukung PSSI entah dalam bentuk sponsorship atau model kemitraan yang lain dalam bingkai konflik kepentingan tersebut. Kemudian, sejumlah fasilitas dari pihak-pihak yang berkepentingan di jabatan publik atau di PSSI akan lebih mudah masuk melalui jabatan ketua umum PSSI. Mengingat organisasi PSSI yang merupakan badan hukum perdata yang tidak terikat dengan aturan-aturan yang melekat pada pejabat publik. Hal ini akan mengaburkan tindakan baik Lanyalla ataupun Erick apabila terpilih, apakah sebagai pejabat publik atau sebagai ketua umum PSSI. Terakhir berkenaan dengan masalah etis. Di mana mengurus jabatan publik adalah amanah yang sangat besar mengingat segudang persoalan bangsa yang harus diselesaikan. Membagi waktu pada saat bersamaan untuk mengurusi sepak bola yang tak kalah pelik dengan segudang masalah akan mengurangi perhatian pejabat publik tersebut pada urusan-urusan publik.
Konflik kepentingan yang pada dasarnya juga dapat dikelola dengan sejumlah langkah mitigasi. Namun, posisi Lanyalla dan Erick di jabatan publik dan nantinya ketua umum PSSI adalah sama-sama pucuk pimpinan, akan sulit menghindari situasi konflik kepentingan karena tidak bisa digantikan dengan pihak lain dalam hal pengambilan keputusan. Kecuali jika memang memiliki niat baik memperbaiki dunia sepak bola dan ingin terhindar dari konflik kepentingan, maka baik Lanyalla dan Erick harus berlapang dada mundur dari jabatan publik yang diembannya.
Penulis: Refki Saputra, Project Officer KEMITRAAN
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
Editor : Sandro Gatra
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.