Jakarta, 25 Januari 2023. Sebanyak 20 orang perwakilan Kementerian Pemuda dan dari berbagai organisasi yang bergerak dalam bidang kepemudaan dan demokrasi di Negara Republik Maladewa berkunjung ke KEMITRAAN, mereka tertarik belajar perjalanan lembaga yang telah berusia lebih dari dua dekade ini mengawal tata kelola demokrasi di Indonesia.
Dalam paparannya, Direktur Eksekutif Laode M Syarif menyebut penguatan terhadap institusi demokrasi di antaranya melalui KPU, Bawaslu dan partai politik, kemudian juga institusi penegakan hukum melalui Mahkamah Agung, Kejaksaan dan Kepolisian serta pelembagaan KPK.
Dalam kurun tiga belas tahun terakhir, KEMITRAAN menurut Laode masuk dalam isu-isu pembangunan berkelanjutan seperti isu renewable energy, perubahan iklim dan pengelolaan hutan.
Secara keseluruhan, perjalanan demokrasi di Indonesia menurut Laode berjalan cukup baik, namun dengan beberapa catatan. Salah satunya meskipun pengukuran menunjukan peningkatan skor, namun berdasarkan hasil kajian The Economist Intelligence Unit (EIU) Indonesia masuk dalam kategori flawled democracy atau negara yang demokrasinya cacat.
Penyebab dari munculnya predikat tersebut karena Indonesia dianggap masih memiliki masalah fundamental seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang anti kritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal.
Demikian juga dengan hasil Indeks Demokrasi Indonesia. Penyebab kualitas demokrasi tidak optimal ada pada ancaman/penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat.
Kondisi ini menurutnya terjadi akibat dari absennya program-program penguatan demokratisasi oleh pemerintah maupun masyarakat sipil, terutama yang menyasar anak muda. Akibatnya, terjadi penurunan dukungan demokrasi dari anak muda.
Besarnya persentase anak muda yang merasa tidak bebas mengkritik pemerintah menjadikan dukungan mereka terhadap demokrasi menurun. Survey CSIS menyebut pada tahun 2018 dukungan demokrasi masih 68,5 persen, namun di tahun 2022 turun menjadi 63,8 persen.
Menurut Laode, situasi ini menjadi tantangan bagi kelangsungan demokrasi Indonesia mengingat anak muda adalah supporter utama. Kesadaran tersebut menjadikan KEMITRAAN tetap berkomitmen menginternalisasi prinsip tata kelola demokratis dalam program-programnya, terutama yang berkaitan dengan anak muda.
Beliau mencontohkan pendampingan yang dilakukan oleh KEMITRAAN selama hampir sepuluh tahun terakhir di Kota Pekalongan. Di awal menurut Laode, isu perubahan iklim tidak jadi prioritas baik oleh pemerintah maupun masyarakatnya. Dampak perubahan iklim yang nyata hanya dianggap sebagai bencana yang harus diterima.
Kemudian KEMITRAAN memperkuat pemahaman bahwa demokrasi memungkinkan adanya jalur-jalur yang diatur oleh negara terkait penyampaian usulan dan aspirasi warga kepada pemerintahnya. Sementara dari sisi pemerintah, mereka perlu sadar bahwa upaya yang dilakukan harus mendengar aspirasi, agar kebijakan yang dijalankan tepat sasaran.
Saat ini menurut Laode, tidak hanya pemahaman terkait tata kelola berdemokrasi di anak muda Pekalongan yang tumbuh, melainkan juga terjadi kolaborasi dengan pemerintah untuk melakukan serangkaian aksi adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Pada sesi tanya jawab, Laode mengingatkan pentingnya anak muda untuk terlibat aktif dalam proses tata kelola demokrasi, termasuk di Maladewa yang usia berdemokrasinya relatif masih muda. Sejarah demokrasi di Indonesia telah membuktikannya.
“Perjalanan demokrasi di Indonesia identik dengan anak muda. Mulai dari sumpah pemuda tahun 1928, kemudian kemerdekaan 1945, revolusi 1965 hingga reformasi 1998, dan hingga saat ini. Kita bisa lihat bagaimana mereka beberapa tahun lalu membuat barikade untuk melindungi kantor KPK dan sekaligus sebagai simbol harapan agar KPK tetap sebagai lembaga independen, tidak di bawah pemerintah.” terangnya.
Menjawab pertanyaan selanjutnya seputar strategi program untuk mengawal pemilihan umum yang akan dilakukan oleh mereka beberapa saat lagi, Laode menyarankan penggunaan program untuk disampaikan kepada calon dibanding mendukung secara perorangan.
“Melihat jumlah penduduk yang terbatas dan letak geografis berupa kepulauan, saya membayangkan hubungan kekeluargaan di antara calon dan pemilihnya sangat kuat. Oleh karenanya, lebih baik membuat program prioritas yang ditawarkan kepada para calon dibanding mendukung calon. Misalnya isu perubahan iklim atau anti korupsi, sehingga siapapun pemenangnya akan menjalankan tuntutan dan kebutuhan masyarakatnya,” urai Laode.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.