Konflik lahan menyebabkan hilangnya ruang hidup banyak warga negara, termasuk di antaranya adalah masyarakat adat. Bagi mereka, ini tidak hanya berarti hilangnya akses terhadap lahan, tetapi juga jati diri dan nilai-nilai adat serta tradisi yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Negara sudah selayaknya hadir dan memastikan setiap warganya mendapat haknya, seperti yang tertuang dalam resolusi dewan HAM PBB dalam salah satu resolusinya yang menekankan bahwa kewajiban ini harus dijalankan oleh pemerintah pusat.
Perayaan Festival HAM diselenggarakan oleh Komnas HAM, Kantor Staf Presiden, Pemerintah Kota Singkawang dan INFID. KEMITRAAN sebagai lembaga yang memiliki fokus pada penguatan HAM di Indonesia, melalui program Estungkara berpartisipasi dalam perayaan festival HAM yang diselenggarakan oleh Komnas HAM, Kantor Staf Presiden, Pemerintah Kota Singkawang dan INFID. KEMITRAAN menyelenggarakan salah satu sarasehan bertema upaya mendorong kesetaraan melalui pemenuhan HAM bagi masyarakat adat dan etnis minoritas. Hadir sebagai narasumber yaitu Gatot Ristanto, Kepala Biro Dukungan Penegakan HAM, Muhammad Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Anton Jawamara sebagai pemerhati masyarakat adat dan penghayat Marapu, serta Muhammad Rozali dari Dinas Dukcapil Kabupaten Tangerang
Diskusi diawali dengan sharing dari mitra program Estungkara, yaitu KKI Warsi tentang bagaimana kondisi Orang Rimba dan Talang Mamak yang masih berjuang dengan ancaman hilangnya ruang hidup di Provinsi Jambi, dan dari PPSW Jakarta tentang bagaimana etnis minoritas Cina Benteng masih menghadapi tantangan terkait kepengurusan dokumen kependudukan seperti identitas legal dan dokumen pernikahan.
Side event yang diselenggarakan pada tanggal 18 Oktober 2023 di Kota Singkawang ini bertujuan untuk menyampaikan isu-isu HAM dalam komunitas adat dan etnis minoritas serta berbagi cerita terkait upaya advokasi atas akses layanan . Pemenuhan HAM bagi masyarakat adat tentunya mengacu sejumlah aspek salah satunya terkait hak untuk memperoleh layanan dasar kependudukan serta hak pendidikan bagi anak.
“Pemenuhan layanan pendidikan bagi anak-anak Marapu merupakan perjalanan panjang, tenaga pendidik penghayat menjadi salah satu hal penting untuk memberikan jaminan bagi anak-anak Marapu memperoleh hak pendidikan yang setara,” Anton, Pemerhati Marapu, Sumba Timur dalam paparannya.
Devi Anggraini, Direktur PEREMPUAN AMAN membagikan cerita perlawanan bagaimana kehidupan Perempuan Adat Rendu, Nagekeo dalam menghadapi pembangunan Waduk Lambo yang telah menghilangkan ruang hidup dan kesejahteraan masyarakat. Perampasan wilayah oleh negara tidak hanya menghilangkan wilayah hidup mereka, namun lebih jauh juga mengenai nilai-nilai adat, sosial ekologis masyarakat adat, serta acaman punahnya budaya dan tradisi adat setempat.
Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini berlangsung interaktif. Peserta yang berasal dari berbagai latar belakang, baik pemerintah daerah, peneliti, akademisi, dan juga CSO menggunakan kesempatan ini untuk menanyakan perihal bagaimana sebenarnya persoalan dasar pemenuhan HAM bagi masyarakat adat hingga apa saja yang sudah atau sedang dilakukan Komnas HAM terkait hal ini.
Komnas HAM yang diwakili oleh Gatot Ristanto menyampaikan dalam paparannya bahwa pihaknya mendukung penuh pemenuhan HAM bagi masyarakat adat, salah satunya dengan cara melakukan kajian, memberikan pelatihan dan penyuluhan mengenai Kabupaten/Kota HAM hingga pada sektor kepolisian dan juga sektor bisnis, serta memberikan perlindungan bagi pembela HAM Peraturan Komnas HAM No 5 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pembela HAM.
Diskusi ini diakhiri dengan pemahaman bersama bahwa masih cukup banyak tantangan yang dihadapi untuk memberikan perlindungan dan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat terlihat dari berbagai contoh konflik yang disampaikan oleh peserta. Diharapkan negara mau meninjau ulang berbagai peraturan dan menguatkan koordinasi antar lembaga negara untuk pemenuhan HAM masyarakat adat dan etnis minoritas. Komnas HAM juga berkomitmen untuk menerima dan menindaklanjuti aduan masuk yang disampaikan masyarakat adat. Komnas HAM sendiri merupakan mitra strategis Kemitraan, terutama untuk isu-isu kelompok minoritas atau kelompok marjinal dan rentan. Sejak 2015 Kemitraan telah bekerjasama dengan Komnas HAM untuk isu perlindungan bagi kelompok dengan orientasi seksual yang berbeda serta aktif berdiskusi untuk memasukkan isu masyarakat adat dan konflik agararia di tahun 2019 untuk laporan tahunan.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.