Mendiang Golfrid Siregar adalah seorang pembela hak asasi manusia di Sumatera Utara yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Masyarakat sipil berduka atas kepergian Golfrid pada 6 Oktober lalu di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Kota Medan. Namun kematiannya menimbulkan prasangka besar bahwa dia meninggal karena dibunuh.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara menyatakan bahwa kematian Golfrid meninggalkan banyak kejanggalan. Meskipun berdasarkan pernyataan Roy Lumbangaol, rekan Golfrid di lembaga tersebut, kepolisian menyatakan korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Ketika ditemukan, Golfrid mengalami luka serius di bagian kepala yang menyebabkan tempurung kepalanya hancur dan hilangnya barang-barang yang menempel pada badan Golfrid, seperti tas, laptop, dompet, dan cincin. Namun sepeda motor yang dikendarainya hanya mengalami kerusakan kecil.
Kasus kekerasan yang terjadi pada Golfrid menambah panjang daftar kasus-kasus kekerasan terhadap pembela hak asasi di Indonesia, terutama di sektor lingkungan hidup. Pengerahan tindak kekerasan kerap dilakukan oleh pemerintah ataupun pengusaha yang dilandasi situasi konflik sumber daya alam yang sedang diadvokasi oleh para pembela hak asasi.
Proses terjadinya kekerasan bermacam-macam, dari kriminalisasi, intimidasi, teror, penculikan, ancaman pembunuhan, hingga pembunuhan. Kekerasan itu hampir selalu terjadi karena adanya relasi kuasa yang timpang antara masyarakat yang sedang memperjuangkan haknya dan oligarki. Ia menjadi moda untuk menghentikan perlawanan.
Kita masih ingat kasus Salim Kancil, petani yang menolak penambangan pasir di Lumajang, Jawa Timur. Ia dibunuh secara tidak manusiawi oleh 30-40 orang secara terbuka. Kasus Poro Duka juga masih menorehkan luka mendalam. Poro adalah warga Sumba Barat yang ditembak karena mempertahankan wilayah pesisir dari investasi pariwisata. Penembakan terjadi saat pengukuran tanah dilakukan oleh pengusaha yang dikawal oleh ratusan polisi dan tentara bersenjata.
Pemerintah bertanggung jawab penuh atas kekerasan dan kematian yang menimpa pembela hak asasi. Polisi lamban dalam menanggapi laporan intimidasi dan ancaman, bahkan kerap juga menjadi pelaku kekerasan. Masalah lain adalah buruknya potret perangkat pemerintah, dari desa hingga provinsi, juga pembiaran atas ketiadaan perlindungan bagi pembela hak asasi.
Pengusutan tuntas atas kasus Golfrid Siregar dan ratusan pembela hak asasi lain merupakan keharusan serta kewajiban pemerintah dan penegak hukum dengan atau tanpa desakan dari masyarakat sipil. Pemerintah selama ini gagal menyelesaikan permasalahan kekerasan yang terjadi pada pembela hak asasi karena kerap tidak melihat akar persoalan.
Konflik struktural sering dilihat seperti konflik biasa. Pencegahan menjadi tidak ada dan penanganan menjadi dangkal. Bahkan pemerintah sering berdampingan dengan pengusaha untuk menyingkirkan pembela hak asasi.
Dalam menangani kasus kekerasan terhadap pembela hak asasi, kepolisian harus berani dan bisa melihatnya secara holistik, dengan mempertimbangkan konteks politik dan sosial yang mungkin menjadi motif kekerasan. Kejaksaan dan kehakiman harus memahami konteks kriminalisasi yang secara sistematis menggemboskan perjuangan masyarakat yang hak-haknya terlanggar.
Dalam proyeksi jangka panjang, ada tiga tawaran solusi yang dapat diambil oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus segera mendorong diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Perlindungan Hukum terhadap Pejuang Lingkungan Hidup yang diinisiasi oleh masyarakat sipil. Peraturan ini diharapkan dapat menjadi jawaban bagi perlindungan terhadap pembela hak asasi di sektor lingkungan. Peraturan tersebut perlu mengatur mekanisme pencegahan, penanganan perlindungan, perlindungan dalam keadaan darurat, mekanisme koordinasi antar-lembaga, hingga pendanaan perlindungan dari negara.
Kedua, pengaturan perlindungan bagi pembela hak asasi secara umum perlu digagas dalam peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa setiap orang berhak melakukan aktivitas dalam upaya perlindungan, penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan hak asasi, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atau dalam suatu organisasi. Deklarasi ini juga menyatakan bahwa negara bertanggung jawab dan bertugas untuk melindungi, memajukan, dan melaksanakan hak asasi manusia.
Ketiga, perubahan sistem hukum yang melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia. Teori sistem hukum Lawrence Meir Friedman memuat tiga unsur, yaitu substansi, struktur, dan budaya. Substansi hukum adalah mengenai bisa atau tidaknya suatu hukum dilaksanakan yang harus dikondisikan dengan dinamika kebutuhan masyarakat serta mencakup hukum yang hidup. Struktur hukum membicarakan soal lembaga penegak hukum yang berfungsi dengan baik, kredibel, kompeten, dan berintegritas. Adapun budaya hukum adalah proses meningkatkan kesadaran masyarakat akan hukum yang menjadi indikator berfungsinya hukum.
Penulis: Julio Achmadi Konsultan di Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
Tulisan ini sudah pernah dimuat dalam kolom Tempo
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.