Pasca kebijakan otonomi, banyak pemerintah daerah baru terbentuk dengan tujuan utama mendekatkan pelayanan publik dan melindungi warganya. Bagi daerah dengan sumber daya dan dana besar, amanat tersebut tidak terlalu sulit untuk diwujudkan. Sementara bagi daerah dengan fiskal pas-pasan, ada banyak kendala.
Tapi ada yang berbeda dari kinerja pemerintah Kabupaten Bone Bolango. Di sana, penulis menemukan anomali. Dengan dana APBD yang pertahun hanya sekitar Rp. 1 triliun dan masuk kategori fiskal rendah, salah satu kabupaten di Gorontalo tersebut mampu mengoptimalkan anggarannya untuk kepentingan publik.
Anggaran Pro-Publik
Anomali tersebut yang menjadikan Kabupaten Bone Bolango jadi salah satu daerah terpilih saat menentukan wilayah pilot untuk penelitian Indonesia Governance Index (IGI), kerjasama KEMITRAAN dan Dirjen Otda Kemendagri. Tim tertantang untuk membuktikan apakah efisien dan efektifnya pengelolaan anggaran kabupaten yang juga kerap disebut dengan Bonebol ini dampaknya positif untuk masyarakat, atau justru sebaliknya.
Selain anggaran, sebagian besar (sekitar 70 persen) wilayahnya merupakan hutan yang kewenangan kelolanya ada pada pemerintah pusat dan provinsi. Kondisi ini jelas menjadikan daerah tidak dapat secara optimal memanfaatkan potensi yang ada untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
Menyadari keterbatasan yang dimiliki, pemda melakukan serangkaian kebijakan, salah satu yang paling mendasar adalah mengalokasikan 61 persen dari total anggaran daerah untuk kepentingan publik, sisanya baru untuk belanja pegawai. Pada sisi lain, kebijakan ini menyebabkan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) di Bonebol menjadi salah satu yang terendah.
Bermodal separuh lebih anggaran daerah, pemda fokus melakukan pembenahan pada urusan wajib seperti pendidikan, kesehatan dan penurunan kemiskinan. Kebijakan ini sejalan dengan tiga dimensi dasar pembentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yakni pengetahuan, standar hidup layak dan umur panjang, serta hidup sehat.
Dalam sebuah diskusi yang difasilitasi oleh penulis, salah seorang akademisi universitas Negeri Gorontalo menyebut, Bupati Bonebol memiliki perhatian terhadap pendidikan. Ini dibuktikan dengan penyediaan sarana dan prasarana (sekolah SD dan SMP) beserta tenaga pengajar hingga wilayah terluar kabupaten yang aksesnya masih terbatas.
Pada diskusi terpisah, perwakilan dinas pendidikan menyebut fokus lain dinasnya adalah pemenuhan tenaga pengajar. Kekurangan guru ditutup dengan pengadaan lebih dari 500 tenaga pengajar kontrak. Tidak hanya berkaitan dengan kewenangannya, dinas juga mengalokasikan beasiswa untuk melanjutkan ke pendidikan lanjutan, dari mulai SMK hingga universitas dan sudah berlangsung selama delapan tahun. Prioritas jurusan yang disasar adalah sektor pariwisata, sebagai bagian dari dukungan untuk menyiapkan pembangunan sektor ekowisata yang sedang dikembangkan daerah.
Pada sektor penurunan kemiskinan, upaya terus dilakukan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin yang saat ini jumlahnya masih berada di atas rata-rata nasional, sekitar 15 persen. Walaupun di atas rata-rata, namun jumlah tersebut menjadi yang terendah di wilayah Provinsi Gorontalo.
Anggaran untuk penurunan kemiskinan jadi salah satu yang terbesar di antara program lain, namun angka penurunan kemiskinan yang berhasil ditekan tidak signifikan. Saat diskusi, teridentifikasi adanya gap antara pelaksanaan program dan saat dilakukannya survei nasional (Susenas) oleh BPS. Teknisnya begini, survei biasanya dilakukan pada bulan maret, sementara anggaran untuk program-program terkait belum dapat dicairkan. Gap tersebut jadi satu dari sekian kendala yang dihadapi daerah dalam menurunkan angka kemiskinan.
Pandemi dan Konsistensi
Hal lain, COVID-19 berimplikasi pada menurunnya pendapatan daerah yang tumpuan utamanya ada pada sektor pariwisata dengan slogan one visit seven destinations, dari mulai cagar budaya, hiu paus, air terjun hingga hutan.
Pandemi juga membuat jumlah pengangguran dan pekerja informal melonjak, karena sebagian di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Melihat jumlah pekerja informal yang meningkat akibat pandemi, Pemda menambah alokasi anggaran untuk iuran kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Dari 20.000 pekerja informal atau bukan penerima upah di tahun 2020 menjadi 30.000 pekerja informal di tahun 2021.
Penulis melihat skema BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja rentan merupakan sebuah inovasi luar biasa. Saat mayoritas daerah tidak melindungi pekerja rentannya, dan bahkan regulasi nasional belum mengatur, kabupaten yang memiliki dana terbatas justru telah melakukan perlindungan terhadap pekerja individu, seperti petani, nelayan, tukang bangunan, pengemudi becak motor, dan sejenisnya sejak tahun 2018.
Penulis juga menemukan fakta bahwa alokasi anggaran yang digunakan untuk bayar iuran BPJS Ketenagakerjaan adalah dana santunan duka, yang selama ini rutin dialokasikan untuk keluarga pekerja yang meninggal. Namun menurut Kepala Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan Tenaga Kerja Bonebol anggaran tersebut tidak optimal dan kurang berdampak pada keluarga yang ditinggalkan.
Dengan adanya BPJS, keluarga pekerja rentan yang ditinggalkan tidak hanya mendapat santunan Rp. 2 juta, melainkan Rp. 42 juta. Skema tersebut juga melindungi pekerja saat mengalami kecelakaan, karena ada dua jenis iuran yang dibayarkan tiap bulan, yakni jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian.
Hingga saat ini, seluruh pekerja (formal maupun informal) yang terlindungi skema BPJS Ketenagakerjaan sebesar 78,2 persen. Dengan keluarnya Permendagri No. 27 Tahun 2021, tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2022 yang memasukkan kriteria bukan penerima upah (informal) sebagai penerima jaminan sosial, Pemda Bonebol berpeluang menjadi daerah yang paling awal melindungi seluruh pekerjanya tanpa terkecuali.
Di sektor kesehatan, universal health coverage telah terpenuhi oleh Kabupaten selama tiga tahun berturut-turut. Jumlah warga yang terlindungi oleh BPJS Kesehatan hingga saat ini sebesar 95 persen.
Pada sisi lain, pandemi tidak menghentikan inovasi dalam upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan pemerintah. Tahun lalu, mereka berhasil membangun Mal Pelayanan Publik (MPP) yang mengintegrasikan kurang lebih 260 perizinan lintas unit dan juga instansi samping, seperti pelayanan kepolisian, kejaksaan, pajak dan lain-lain.
Istimewanya, anggaran untuk membangun kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) bersumber dari Dana Insentif Daerah (DID) yang diperoleh sebagai reward karena nilai Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (SAKIP) tetap baik. Untuk sampai pada tahap itu, prosesnya cukup panjang dan butuh kepemimpinan yang memiliki komitmen tinggi terhadap gerakan anti korupsi. Karena sistem yang terintegrasi (perencanaan, penganggaran dan pelaporan kinerja yang selaras dengan pelaksanaan akuntabilitas keuangan) akan membuat peluang oknum pejabat untuk menyelewengkan anggaran tertutup.
Tantangan Ke Depan
Selain kinerja luar biasa, penulis juga menemukan tantangan yang perlu segera diselesaikan oleh pemerintahan Bonebol. Terdapat tiga tantangan utama, dua berkaitan dengan keberadaan hutan, yakni bagaimana memaksimalkan pemanfaatan hutan secara legal untuk kesejahteraan warga dan mendapatkan keuntungan dari proses penambangan emas dan batu hitam/uranium, serta optimalisasi peran pemerintah desa dalam mendukung pembangunan daerah.
Saat penulis bertanya kepada peserta diskusi (yang terdiri dari perwakilan masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi) seputar isu yang menjadi perhatian publik selama dua bulan terakhir, mereka menjawab penambangan emas dan batu hitam di wilayah konsesi.
Menurut mereka itu cenderung merugikan karena prosesnya tidak berkontribusi terhadap pendapatan daerah, sementara mereka memanfaatkan infrastruktur seperti jalan dan jembatan. Pada sisi lain, kontrak karya penambangan emas berjalan lambat dan tidak menimbulkan dampak ekonomi signifikan bagi warga sekitar.
Penambangan juga mengancam lingkungan dan berimplikasi pada banyak hal; habisnya sumber air bersih yang menjadi tumpuan warga Bonebol dan dua kabupaten serta satu kota yang berada di sekitarnya. Potensi banjir dan longsor juga semakin besar seiring dampak dari kerusakan hutan. Kendati tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan proses penambangan dengan segala dampak turunannya, namun daerah dapat mengajukan usulan kepada pemerintah pusat dan provinsi agar hutan di sekitar Bonebol tetap lestari.
Dalam konteks pemanfaatan wilayah hutan bagi warga, kebijakan Perhutanan Sosial (PS) menjadi alternatif yang dapat dikedepankan. Studi deforestasi yang dilakukan KEMITRAAN (2020) menunjukkan skema PS berbanding lurus dengan kelestarian hutan, karena kecenderungannya warga hanya akan memanfaatkan lahan di bawah tegakkan untuk pertanian maupun perkebunan.
Saat ini, banyak kelompok pengelola hutan di Bonebol yang telah mendapatkan persetujuan PS melalui skema hutan produksi. Sebagai daerah yang mengedepankan pelayanan, sudah sewajarnya jika pemerintahnya mau lebih optimal lagi dalam melakukan pendampingan agar masyarakat lebih optimal memanfaatkan hutan di satu sisi, dan tetap melestarikan hutan pada sisi lainnya.
Pada diskusi yang sama, salah satu narasumber juga menyampaikan pentingnya keberpihakan pemda terhadap desa. Keberadaan dana desa menjadi salah satu modal untuk membangun sesuai dengan kebutuhan warga. Namun demikian, implementasi pembangunan di desa membutuhkan kewenangan yang jelas antara kabupaten dan desa, dan ini juga menjadi amanat UU Desa yang harus ditunaikan oleh pemerintah daerah.
Bupati merupakan figur yang sangat memahami fungsi otonomi. Mengutip sambutan di laman resmi pemda, beliau menyebut bahwa otonomi adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membangun dan mengurus pemerintahan sendiri, sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Oleh karenanya, sudah saatnya spirit otonomi juga diberikan oleh Bupati dan parlemen kepada sekitar 160 desa melalui Perda kewenangan desa.
Setelah mengenal dan melihat tata kelola Pemda Bone Bolango, penulis berkesimpulan bahwa selalu ada peluang bagi pemerintah untuk melakukan segala daya dan upaya demi kesejahteraan publik. Kabupaten Bone Bolango, satu dari sekian daerah pemekaran pasca reformasi yang sejauh ini tetap menjaga spirit otonomi, yakni mendekatkan pelayanan dan perlindungan kepada warganya.
Ditulis oleh: Arif Nurdiansah. Penulis Bekerja di Partnership for Governance Reform (KEMITRAAN).
Artikel ini adalah opini penulis. Artikel ini pernah tayang di Kumparan.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.