Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis pernyataan pada bulan Maret 2021 bahwa penurunan deforestasi sepanjang tahun 2019-2020 menjadi terendah dalam sejarah. KLHK mencatat Indonesia berhasil menurunkan laju deforestasi hingga 75,03 persen dengan cakupan 115,46 ribu hektar, dibanding periode sebelumnya pada 2018-2019 sebesar 462,46 ribu hektar.
Fenomena penurunan deforestasi mulai terjadi sejak tahun 2016, meskipun dengan besaran angka yang berbeda-beda. Studi yang dilakukan KEMITRAAN dan Global Forest Watch menunjukkan beberapa faktor penyebabnya menurunnya angka deforestasi.
Hery Sulistyo, peneliti KEMITRAAN dalam talkshow Kita Jaga Hutan, Hutan Jaga Kita yang dilaksanakan bertepatan dengan Hari Hutan Indonesia tanggal 7 Agustus 2021 menyebut terdapat dua faktor utama turunnya angka deforestasi, yakni kebijakan dan penagakan hukum. “Dengan penegakan hukum yang masif dan anggaran hukum yang kuat dalam sektor kehutanan itu juga mempengaruhi penurunan deforestasi,” jelasnya.
Hery juga menyebut revisi UU Pemerintah Daerah yang membatasi pengaturan sektor kehutanan hanya sampai tingkat provinsi turut berpengaruh menjaga hutan. “Dinamika sosial dan ekonomi politik dipengaruhi oleh kebijakan terbaru yang membatasi peran pemerintah daerah. Jadi tidak ada lagi bupati yang menjual daerahnya (hutan) menjadi kawasan perkebunan atau pertambangan,” ungkap Hery.
Hery juga mengungkapkan adanya fenomena menjelang pemilihan presiden, bupati, gubernur dibarengi juga dengan tren kenaikan harga komoditas khususnya minyak kelapa sawit (CPO) dan batubara. Tren ini menurut Hery mirip dengan tingkat deforestasi. Harga batubara dan CPO di dunia sedang naik, jadi terdapat ekspansi kelapa sawit dan pertambangan batu bara. Seringnya saat sudah produksi dan sudah ekspansi, harga mengalami penurunan. Sehingga fungsi lahan dari deforestasi di Indonesia bersifat reaktif terhadap saja pada pasar CPO. Padahal ini butuh proses dan hasilnya kontribusi tidak maksimal.
Namun demikian, dalam talkshow ini Hery juga menjelaskan adanya potensi Dutch Disease dari praktik deforestasi selama ini, yakni fenomena ekonomi ketika fokus eksploitasi sumber daya alam melupakan penguatan di sektor lainnya. Minimnya alternatif selain sektor SDA berpotensi mengancam tren penurunan deforestasi di Indonesia.
“Pulau Kalimantan terus menerus dieksploitasi, namun belum memiliki alternatif selain sektor berbasis lahan. Belum tersedianya sektor alternatif, mendorong deforestasi yang bertujuan untuk mengonversi lahan hutan untuk peningkatan produktivitas sektor berbasis lahan akan terus dilakukan,” jelas Hery.
Contoh yang sama juga terjadi di Papua. Provinsi di ujung timur Indonesia ini cenderung dieksploitasi dan juga belum memiliki alternatif selain sektor berbasis lahan. Nasib sedikit berbeda menurut Hery dialami provinsi tetangga, Papua Barat yang telah memiliki sektor alternatif selain lahan, yakni pariwisata maupun pengembangan industri (industri semen, serta sejumlah industri pengolahan di Sorong) yang telah ditetapkan arelanya.
Selain Dutch Disease, Hery juga menyebut situasi pandemi COVID-19 dapat menjadi faktor lain. “Indonesia butuh pemulihan pertumbuhan ekonomi yang cepat (pasca pandemi), sementara pertanian merupakan satu-satunya sektor yang tumbuh positif. Ditambah lagi ada godaan dari harga batu bara dan CPO yang naik, sehingga bisa jadi jalan pintas menaikkan ekonomi negara.” jelas Hery.
Dalam talkshow ini, Hery juga mengingatkan pada dasarnya Indonesia memilih strategi menyeimbangkan pengelolaan ekonomi dengan pelestarian lingkungan dengan strategi rendah karbon yang menurutnya pilihan yang moderat. “Dalam hal deforestasi, pemerintah memilih net zero deforestation, yaitu strategi ketika deforestasi terjadi di suatu tempat maka kita akan reforestasi di tempat lain.” Tutupnya.
Ikuti selengkapnya talkshow Kita Jaga Hutan, Hutan Jaga Kita di sini.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.