Beranda / Press Release

Pernyataan Bersama Kaukus Perempuan Pembela HAM: Tidak Ada Negara Demokratis Tanpa Perlindungan pada Pembela HAM Perempuan

KEMITRAAN bersama Komnas Perempuan menggelar diskusi publik dalam memperingati Hari Perempuan Pembela HAM Internasional di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu (29/11/2023)

Tagar Indonesia sedang tidak baik-baik saja semakin menguat dalam gerakan masyarakat sipil sebagai simbol perlawanan atas menurunnya dan upaya pelemahan demokrasi di Indonesia, di mana makin tinggi represi terhadap kebebasan sipil dalam menyampaikan aspirasi. Berbagai kasus serangan bahkan kriminalisasi menimpa para Pembela HAM ketika melakukan tindakan untuk mempertahankan haknya ataupun ketika melakukan pendampingan kepada masyarakat.

Laporan Freedom House menunjukan penurunan skor kebebasan di Indonesia yang terus menurun setiap tahunnya. Pada tahun 2017, Indonesia mendapatkan skor sebesar 65/100, sedangkan pada tahun 2023, skor yang diperoleh Indonesia hanya mencapai 58/100. Penurunan skor kebebasan sipil menjadi penyumbang besar turunnya skor Indonesia di tahun 2023 yang hanya mendapatkan nilai 28/60.

Kriminalisasi yang menimpa Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dari KontraS adalah contoh nyata pembungkaman suara kritis melalui jerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Informasi (UU ITE).
ELSAM mencatat peningkatan lebih dari dua kali lipat serangan terhadap Pembela HAM sektor lingkungan selama kurun waktu 2019 hingga 2020, dari 27 menjadi 60 kasus. Berdasarkan pemantauan
SAFEnet, sepanjang 2021 terdapat setidaknya 193 insiden serangan digital di mana 58,95% korbannya
adalah kelompok kritis seperti aktivis, jurnalis, mahasiswa, serta organisasi masyarakat sipil.

Sementara itu pada tahun 2022 jumlah korban serangan digital meningkat pesat menjadi 326 orang, di mana 42,81% masih didominasi oleh empat kelompok kritis tersebut. WALHI juga mencatat kurun waktu
2014-2023 terdapat korban kekerasan dan kriminalisasi sebanyak 827 orang, diantaranya 19 orang
adalah perempuan. Kajian Komnas Perempuan, Perempuan Pembela HAM (PPHAM) mendapat serangan khas yang ditujukan pada integritas diri sebagai perempuan, seperti serangan seksual, serangan pada peran gendernya, pembunuhan karakter dengan stereotip, serta diskriminasi/pengucilan dan politisasi
identitas perempuan.

Dalam Kajian Cepat Situasi PPHAM tahun 2021,iv Komnas Perempuan menyatakan bahwa secara umum Pembela HAM mengalami serangan, intimidasi, atau ancaman seperti (1) kekerasan dan ancaman kekerasan fisik; (2) kekerasan/intimidasi psikis; (3) pembunuhan karakter, misalnya dianggap sebagai ‘provokator’, ‘penghianat negara’, ‘separatis; (4) dijerat secara hukum oleh pelaku ataupun aparat; (5) pengucilan dan upaya pembungkaman; dan (6) penghancuran sumber penghidupan. Bahkan tidak jarang pembungkaman terhadap Perempuan Pembela HAM dilakukan dengan mengintimidasi keluarganya (suami atau anaknya).

“Sejak 20 tahun lalu, ketika saya mulai aktif melakukan advokasi kasus tambang di Sulawesi Utara
sampai hari ini, situasi perlindungan pada Pembela HAM masih sangat minim, bahkan serangannya
makin beragam khususnya melalui serangan digital, yang terjadi pada saya misalnya, HP saya dihacked
dan tidak bisa digunakan lagi,” kata Jull Takaliuang Perempuan Pembela HAM dan Koordinator Save
Sangihe Island.

Disahkannya KUHP baru dan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, ditenggarai berpotensi
meningkatkan kriminalisasi terhadap Pembela HAM.

“Selain itu, revisi UU ITE, yang diharapkan dapat merespon berbagai permasalahan yang mengakibatkan kriminalisasi bagi Pembela HAM, ditengarai tidak akan banyak mengubah keadaan. Bahkan revisi tersebut, yang dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan publik, semakin membatasi kebebasan berekspresi dengan memberikan diskresi lebih luas kepada pemerintah untuk memblokir akses internet tanpa akuntabilitas yang jelas,” ujar Rifqi S. Assegaf, Direktur Democratic Justice Governance Reform KEMITRAAN.

Meskipun demikian terdapat beberapa peraturan yang berpeluang untuk melindungi PPHAM
misalnya Pasal 66 UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
mengatur Anti Strategic Lawsuits Against Public Participation (Anti SLAPP) serta UU No.12 tahun 2022
tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.v Bahkan pelindungan Pembela HAM Lingkungan juga
tertuang pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 tahun 2023 tentang Pelindungan Hukum
terhadap Pejuang Hak Atas Lingkungan hidup dan Pedoman Kejaksaan No. 8 Tahun 2022 tentang
Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

Selama 25 tahun reformasi, ternyata belum memberikan harapan baik untuk penyelesaian kasus HAM dan pelindungan pada Pembela HAM, terlebih pada Perempuan Pembela HAM. Upaya menuntut kebenaran dan keadilan, acap kali menghadapi upaya impunitas yang dipertontonkan oleh rezim yang berkuasa, yang lebih memilih kalkulasi politik dan kekuasaan, daripada penegakan hukum.

Ibu Sumarsih penggerak aksi Kamisan berkata, ”Sudah lebih dari 796 kali aksi Kamisan, mengetuk
pintu istana, agar negara hadir dan berani menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, tetapi hal tersebut
belum dipenuhi. Sebagai ibu dan Perempuan Pembela HAM serangan atas perjuangan kami tidak hanya
stigma karena kami perempuan, tetapi juga anggapan bahwa advokasi kami adalah ditunggangi
kepentingan pihak tertentu. Jika kasus HAM masa lalu saja negara abai mengusut dan
menyelesaikannya, bagaimana bisa berharap kasus HAM lain akan dapat keadilan?”

Untuk itu, Kaukus Perempuan Pembela HAM dalam rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (16 HAKtP) dan peringatan Hari Perempuan Pembela HAM Internasional 29 November
2023, menyerukan kepada pemerintah untuk:

  1. Secara serius memenuhi tanggung jawabnya dalam menjamin HAM dan melindungi Pembela HAM
    dan/atau PPHAM lewat penyusunan peraturan perundang-undangan, pelaksanakaan
    pembangunan, investasi, dan penegakan hukum yang berbasis HAM.
  2. Membangun mekanisme pelindungan Pembela HAM yang komprehensif, inklusif, dan berperspektif
    gender.
  3. Melakukan revisi/amandemen UU HAM No. 39 tahun 1999 dengan memasukkan pasal pelindungan
    pada Pembela HAM dan memperkuat kewenangan lembaga HAM.
  4. Mendesak pemerintah dan DPR membuka dokumen revisi kedua RUU ITE secara transparan dan
    melibatkan partisipasi masyarakat, serta menunda pengesahan sampai seluruh pasal bermasalah
    yang selama ini digunakan untuk mengkriminaliasi dan membungkam PHAM dan PPHAM, serta
    beberapa usulan pasal baru, dibahas secara tuntas dan tidak lagi berpotensi melanggar hak asasi
    manusia. Pasal-pasal tersebut diantaranya Pasal 27 ayat 1 jo Pasal 45 ayat 3, Pasal 27 ayat 3 jo Pasal
    45 ayat 3, Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45A ayat 2, Pasal 29 jo Pasal 45B, Pasal 36 jo Pasal 51 ayat 2, Pasal
    40 ayat 2a dan 2b, Pasal 43 ayat 3 dan 6.
  5. Membuat peraturan operasional atas pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
    Perlindungan Lingkungan Hidup yang mengatur terkait Anti Strategic Lawsuit Against Public
    Participation (Anti SLAPP) dengan proses partisipasi yang bermakna dan memuat substansi yang
    berkeadilan gender. Dalam konteks saat ini, khususnya menjamin perlindungan hukum dan
    membebaskan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dari tuntutan pidana sebagai penerapan
    kebijakan Anti SLAPP.
  6. Memasukkan pelindungan Pembela HAM dan PPHAM sebagai bagian dari fokus pembangunan
    dalam RPJPN 2025-2045 hingga RPJMN 2025 – 2029.
  7. Reformasi sistem hukum dan lembaga hukum serta peningkatan kapasitas terkait HAM bagi
    lembaga dan aparatur negara, termasuk penghentian penggunaan kekerasan dan kriminalisasi
    kepada Pembela HAM dan PPHAM oleh aparat penegak hukum.