Ditulis oleh FITRIYANI ZAMZAMI/ Republik
Pada Juli lalu, warga komunitas adat Rendu punya hajatan. Para pria suku tersebut mengenakan sarung tenun khas setempat, biasanya dengan corak warna hitam dan kuning. Pada malam hari, mereka menginap di bebukitan yang tersebar di wilayah dataran tinggi Kabupaten Nagekeo.
Setelah itu, mereka kemudian menuju ke wilayah perburuan. Mereka melakukan ritual pascapanen yang dalam bahasa setempat disebut Ndai. Selama tiga hari, mereka memburu babi hutan, rusa, babi landak, dan hewan-hewan buruan lainnya.
Tahun ini, hasilnya sedikit. Jauh berkurang dibandingkan tiga tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya. “Mungkin ini ritual terakhir kami. Tahun depan sudah tidak bisa lagi,” ujar Vincensius Jawa, seorang anggota suku Rendu ketika ditemui Republika bersama rombongan jurnalis yang dibawa KEMITRAAN-Partnership for Governance Reform ke desa tersebut Agustus lalu. Bagaimana pasalnya?
Komunitas adat Rendu tinggal di Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, NTT. Jarak antara pusat pemerintahan Kabupaten Nagekeo ke Kampung Rendu kurang lebih sekitar sejam perjalanan darat.
Mereka tinggal di sejumlah kampung, yakni Rendu Butowe, Ulupulu, Labolewa serta Rendu Ola yang merupakan kampung tertua. Saat ini, sekitar 800 hektare wilayah tersebut telah dipatok masuk dalam proyek Waduk Mbay-Lambo. Wilayah perburuan suku Rendu masuk dalam cakupan tersebut. Ianya adalah hamparan bumi yang istimewa. Padang asri nan luas yang dikelilingi bebukitan menjulang.
Akibat dimulainya pembangunan waduk, mereka terpaksa mencari lokasi berburu yang baru. Ini bukan perkara mudah. Antonius Thakemue (68 tahun) perwakilan Woi Nakaghupu dari Gaja, subsuku Rendu, menuturkan para tetua adat harus membuat dulu kutika dari rerumputan dan kayu. Alat itu untuk mencari wilayah penginapan sebelum berburu yang direstui leluhur.
Setelah ditemukan, wilayah penginapan akan ditandai dengan darah ayam. Setelah menginap, para pria suku Rendu kemudian berburu. Dulu, binatang-binatang biasa digiring ke arah sungai di lembah. Saat ini, lembah tersebut sudah digarap untuk pembuatan waduk.
“Jadi hasil berburunya sedikit sekali,” ujar Antonius Thakemue. “Banyak tempat berburu sudah hancur.”
Tak hanya ritual Ndai yang terancam oleh pembangunan waduk. Wilayah waduk juga merenggut tanah sakral tempat suku Rendu biasa melakukan ritual menjelang masa tanam. Bila musim hujan tak kunjung datang sementara waktu tanam kian dekat, warga biasanya mencari jika ada laku yang melanggar tabu. Saat sudah ditemukan, mantra-mantra adat akan dibacakan di wilayah ritual itu untuk meminta pengampunan Yang Kuasa sekaligus memohon diturunkannya hujan.
Ada lagi ritual mandi di kali yang harus dilakukan seorang ayah yang putrinya beranjak dewasa dan masuk waktu menikah. Dalam ritual bernama Tau Ae itu, sang ayah akan mandi di kali mengenakan sarung tenun yang kemudian dilarung sebagai simbol pembersihan diri. Kali yang biasa digunakan untuk menjalankan ritual itu juga terdampak pembangunan waduk. Lokasinya terletak tak jauh dari titik nol waduk, tempat yang nantinya akan digenangi air.
Dalam ritual itu digunakan anyaman-anyaman ritual seperti mathatata. Bahan-bahan untuk membuat anyaman tersebut yang sebagian terbuat dari daun pohon lontar bakal kian sukar dicari karena lokasi tumbuhnya juga terendam.
“Jadi semua tradisi kami terancam hilang,” kata Vincensius Jawa. Pria setempat ini pulang jauh-jauh dari perantauan di Jawa Timur untuk menengok tanah adat yang tak lama lagi akan menjadi bagian pembangunan waduk.
Pembangunan Waduk Mbay-Lambo disertai dengan “ganti untung” untuk tanah dan lahan yang diserobot dari masyarakat adat. Ini hal yang asing juga bagi suku-suku tempatan. Mereka sebelumnya tak kenal jual beli tanah.
“Dari zaman nenek moyang kami belum pernah pindah,” kata Mateus Phui (62 tahun), kepala Woi Dhirikeo dari subsuku Redu, Suku Rendu. Tanah dan lahan biasa diberikan begitu saja pada ahli waris atau menantu-menantu yang datang. Jika ada tanah yang tak digarap, anggota suku lain juga dibebaskan melakukan kegiatan berkebun dan beternak di situ.
Nantinya jika waduk berjalan, ia bakal terpaksa pindah ke wilayah relokasi yang baru. Tanah yang diwarisi dari leluhur ia tinggalkan. Mateus Phui tak bisa menahan emosinya saat ditanyai apa yang akan ia lakukan saat waktu kepindahan itu tiba.
“Saya akan bilang ‘nenek moyang jangan marah, ini tanah saya tidak jual’,” ujarnya berkaca-kaca. Ia mengatakan akan mengambil sedikit demi sedikit tanah dari lahan miliknya yang tergusur dan membawa ke tempat yang baru sebagai kenang-kenangan.
Hermina Mawa, seorang ibu dua anak dari Desa Rendubutowe juga terisak ditanyai soal tanahnya yang masuk wilayah yang digenangi air. Perempuan suku Redu itu selama ini sangat menggantungkan hidup pada tanah adat yang ia pakai berkebun dan beternak.
Sejak kedua anaknya, satu putra dan satu putri masih kecil, sang suami sudah berpulang. Jadilah Mama Mince, panggilan akrabnya, banting tulang sendirian menghidupi mereka. Ia menanam jambu mete dan kemiri di lahan adatnya, kemudian beternak sapi yang mencari makan di padang luasnya, serta menenun agar-anak-anaknya bisa bersekolah.
Kedua anaknya semua lulus sekolah menengah atas dari hasil jerih payah itu. Yang perempuan sedang mengabdi di Filipina sebagai suster di salah satu ordo gereja Katolik di sana.
Mama Mince ingin saat mereka pulang, ada yang bisa ia wariskan. “Kalau tanah saya ini diambil saya bisa apa lagi,” kata dia sambil menangis. Saat ditemui Republika, ia belum mengambil uang ganti untung sepeserpun. Adalah satu hal bahwa uang tersebut ia nilai tak adil karena tak menghitung tanaman tumbuh, kuburan, dan nilai tambah lainnya dari lahan yang direnggut. Hal lain, Mama Mince berat melepas tanah warisan nenek moyangnya.
Ia termasuk bagian dari para perempuan adat yang melakukan penolakan terhadap pembangunan waduk yang mulai digencarkan sosialisasinya sejak 2021 lalu.
Wacana pembangunan Waduk Mbay-Lambo ini sudah sejak 2001. Kala itu, nama resmi proyeknya adalah Waduk Mbay. Penolakan masyarakat adat yang terus menerus membuat rencana itu sempat terbengkalai. Pada era Presiden Joko Widodo, rencana itu kembali digulirkan.
Penolakan saat itu jadi bentrokan fisik pada 2022. Kala itu, terjadi bentrok antara kelompok penerima waduk yang hendak melakukan ritual adat pemberkatan dengan kelompok penolak. Ratusan aparat kepolisian turun ke lapangan saat itu. Mama Mince salah satu yang berdiri tegak mengadang mereka bersama sekitar 200 perempuan adat lainnya.
Seiring waktu, perlawanan itu tak mempan. Pembangunan waduk tetap berjalan meski jadwalnya molor. Ganti rugi dibayarkan meski warga merasa jumlahnya tak adil. Yang tak bisa diganti adalah adat istiadat yang terkikis. Yang masih dipusingkan warga juga adalah bagaimana mereka harus mencari nafkah nanti setelah lahan tak ada lagi.
Atas hal ini, Sekretaris Daerah Kabupaten Nagekeo Lukas Mere memberi jawaban singkat. ‘Mereka bisa transmigrasi,” kata dia saat ditemui di Kantor Bupati Nagekeo di Mbay, sekitar 30 menit perjalanan dari Rendubutowe. Terlepas dari penolakan, ia berkeras bahwa pembangunan waduk adalah hal yang positif. “Air itu sumber kehidupan, masak ada yang menolak air!?” kata dia.
Ia juga memberikan solusi lain yang sudah diketahui warga di dataran tinggi dan membingungkan mereka. “Mereka bisa alih profesi dari petani menjadi nelayan,” kata Sekda Nagekeo.
Sumber: Republik
Link: https://www.republika.id/posts/54638/%e2%80%98nenek-moyang-jangan-marah-tanah-ini-tidak-saya-jual%e2%80%99
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.