Proyek Bendungan Mbay Lambo di Nagekeo, NTT, menghadirkan sederet masalah. Konflik lahan muncul, relasi sosial retak.
Oleh FRANSISKUS PATI HERIN
Sebanyak 36 orang meloncat dari atas truk. Mereka membawa parang, tombak, dan potongan kayu. Ancaman, umpatan, dan makian mereka lontarkan kepada Daniel Dhima (59), Ketua Suku Nakabani, yang sedang memasang pagar pembatas lahan, suatu siang pada Agustus 2024.
Orang-orang itu lalu hendak menyerang Daniel, tokoh adat yang disegani dan dihormati di Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Daniel memimpin satu dari 17 suku yang sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari tatanan adat kampung tersebut.
Beruntung kontak fisik berhasil dicegah warga sekitar. Daniel selamat, tetapi perasannya terluka karena dicaci-maki oleh anak muda yang masih ingusan. ”Saya selamat, tapi hati saya sangat terluka. Saya bahkan dimaki-maki oleh anak kecil. Mereka buat saya seperti tidak punya lagi harga diri,” kata Daniel saat ditemui pada Rabu (21/8/2024).
Daniel menduga, serangan itu terjadi lantaran dirinya memagar lahan yang sedang diincar oknum tertentu. Padahal, lahan itu milik keluarganya dan hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya. ”Mereka mau rampas lahan saya karena lahan mereka sudah diambil pemerintah untuk bangun bendungan,” tuturnya.
Selama beberapa waktu terakhir, tanah milik banyak warga Desa Ulupulu memang terkena pembebasan lahan untuk pembangunan Bendungan Mbay Lambo. Selain Ulupulu, dua desa lain yang juga terdampak adalah Labolewa dan Rendubutowe. Lahan yang sudah dibebaskan sebanyak 555 bidang dengan total luas 496,14 hektar.
Sesudah adanya proyek itu, Daniel mengaku hidupnya kini tidak lagi aman. Keselamatannya sewaktu-waktu terancam. Ia dan keluarga dikucilkan. Aliran air ke rumah mereka diputus.
Padahal, di rumah itu ada anak balita dan seorang anak penyandang disabilitas. ”Sangat menderita. Dulu sebelum ada bendungan, kami hidup dengan damai,” kata Daniel.
Kepala Desa Ulupulu Yohanes B Jawa mengakui, kehadiran proyek bendungan merusak relasi sosial antarwarga, termasuk di antara anggota keluarga kandung. Mereka saling klaim kepemilikan lahan yang oleh pemerintah hanya dihargai Rp 30.500 per meter persegi.
Jawa pun sering mendapat laporan pengaduan terkait masalah tersebut. Kepada para pengadu, dia selalu menyarankan agar mereka menyelesaikan persoalan itu secara kekeluargaan. Namun, saran itu tidak dituruti.
”Saya jadi pusing urus hal-hal seperti ini. Memang benar, uang bisa mengubah banyak hal, termasuk karakter orang. Saya sangat menyesal dengan kondisi ini,” ucapnya.
Saat pertama kali diwacanakan pada tahun 2001, masyarakat setempat awalnya menolak rencana pembangunan Bendungan Mbay Lambo. Pada tahun 2015, wacana pembangunan bendungan itu muncul lagi. Bendungan tersebut bahkan masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya agar proyek yang menghabiskan anggaran sekitar Rp 1,4 triliun tersebut bisa dijalankan. Pembangunan bendungan yang dimulai tahun 2021 itu ditargetkan selesai pada akhir 2024.
“Dulu sebelum ada bendungan, kami hidup dengan damai.”
Gejolak sosial juga terjadi di Desa Rendubutowe. Salah seorang warga, Adityanto Weo (30), menuturkan, sejak adanya proyek bendungan, muncul kelompok warga yang pro dan kontra. Weo dan keluarganya mengaku termasuk kelompok kontra pembangunan bendungan.
Namun, keluarga besar suami dari adik kandung Weo ternyata merupakan kelompok pro bendungan. Konflik di antara keluarga itu pun tak terhindarkan.
”Suatu waktu, kami kasih beras untuk saudari kami, tapi keluarga besar suaminya sampai tidak mau makan. Ada suami serta bapak dan mama mantu dari adik saya. Terlalu dalam konflik ini,” ujarnya.
Kepala Desa Rendubutowe Yeremias Lele mengatakan, kehadiran Bendungan Mbay Lambo lebih banyak membawa masalah bagi masyarakat di tiga desa. Konflik sosial telah merusak relasi dan tatanan budaya yang dijaga selama ini. Untuk memulihkan relasi sosial di masyarakat, butuh waktu lama dan proses panjang.
Padahal, hubungan antarwarga di desa-desa itu sebelumnya sangat baik. Dalam kultur masyarakat setempat, relasi kekeluargaan itu sering diucapkan dalam frasa, seperti Kae-Azi atau kakak-adik, Ame-Ana atau bapak-anak, atau Weta-Nara atau saudara-saudari.
”Sebenarnya kami tidak menginginkan masalah ini terjadi. Semua sudah telanjur dan kami sangat menyesal,” kata Lele.
Lele pun mempertanyakan manfaat bendungan itu bagi masyarakat di tiga desa terdampak. Selama ini, pemerintah hanya menyebut bendungan itu untuk pertanian di daerah persawahan Mbay.
Padahal, tiga desa tersebut berada di ketinggian dan tak punya lahan sawah. Selama ini, masyarakat mengandalkan sistem tadah hujan untuk pertanian.
Setelah pemerintah membebaskan lahan masyarakat untuk pembangunan Bendungan Mbay Lambo, konflik lahan pun bermunculan. Sebagian konflik itu melibatkan warga yang masih memiliki hubungan keluarga, tetapi ada juga konflik antarsuku dan antarkampung. Mereka saling menggugat dengan melapor ke pemerintah desa, polisi, hingga kantor pertanahan.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Nagekeo Yohanis Frederik Malelak mengatakan, saat hendak membayar ganti rugi lahan yang dibebaskan untuk Bendungan Mbay Lambo, pihaknya menerima sejumlah gugatan. Satu bidang tanah, misalnya, bisa diklaim oleh lebih dari satu orang. Akibatnya, pembayaran ganti rugi pun terkendala.
Yohanis pun mempersilakan mereka yang berperkara untuk menempuh jalur hukum di pengadilan sampai ada keputusan berkekuatan hukum tetap. Selama proses hukum berlangsung, uang ganti rugi akan dititipkan di pengadilan untuk nantinya diberikan kepada pihak yang menang.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Nagekeo Lukas Mere tampak santai menanggapi konflik akibat hilangnya lahan masyarakat itu. ”Tinggal transmigrasi saja,” katanya dengan enteng saat ditanya masalah itu. Ketika ditanya lebih lanjut mengenai rencana transmigrasi itu, dia mengatakan, ”Masih sedang dipikirkan.”
Sebagian masyarakat terdampak pembangunan Bendungan Mbay Lambo kini didampingi oleh Kemitraan Partnership for Governance Reform berkolaborasi dengan Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dalam program Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi. Lewat program itu, mereka memperjuangkan pemenuhan hak masyarakat adat.
Rakhmat Nur Hakim, Communication Manager Kemitraan Partnership for Governance Reform, mengatakan, selain pendataan terhadap masalah ganti rugi, pihaknya juga memfasilitasi pendampingan untuk bantuan hukum serta pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat adat. Ia menilai, setelah pembangunan bendungan itu, banyak persoalan bakal muncul, misalnya kemiskinan.
Oleh karena itu, pemerintah pun tak boleh tinggal diam. Selain membebaskan lahan dan membangun bendungan, pemerintah harus mengantisipasi berbagai masalah yang muncul agar konflik sosial tak terus membesar.
Editor: HARIS FIRDAUS
Sumber berita: Kompas.id
https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/08/29/konflik-bendungan-mbay-lambo-ketua-suku-pun-dicaci-maki-bocah-ingusan-
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.