Ditulis oleh: Fransiskus Pati Herin, Kompas.id
Rendubutowe, nama sebuah kampung di Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, belakangan ramai dibicarakan. Itu lantaran perlawanan masyarakat adat setempat terhadap pembangunan Bendungan Mbay Lambo. Proyek bendungan terbesar di NTT dengan nilai Rp 1,4 triliun itu menggunakan lahan warga seluas 496,14 hektar. Tak hanya lahan kosong. Ada kebun, tanaman umur panjang, rumah, makam, dan tempat dilakukannya upacara adat secara turun-temurun.
Di bawah tekanan dan intimidasi, warga menyerahkan lahan mereka kepada pemerintah. Kini, hari-hari hidup mereka penuh dengan kecemasan dan ketidakpastian. Mereka telah kehilangan banyak hal. Banyak harapan yang disampaikan terkait ketidakadilan yang dialami masyarakat seperti tanah adat mereka yang dihargai sangat murah oleh pemerintah.
Di sana juga terekam banyak cerita inspiratif. Semangat gotong royong, para perempuan yang menenun demi menyambung hidup, juga kesakralan doa adat yang terus dirawat. Rendubutowe sangat berkesan.
Editor: Yuniadhi Agung
Sumber: Kompas.id
https://www.kompas.id/baca/foto/2024/09/06/masyarakat-adat-rendubutowe
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.