Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa ini sangat tepat menggambarkan masyarakat adat di Indonesia.
Sering disebut dalam obrolan, ditulis dalam laporan, dan dipidatokan oleh pejabat dan politisi, juga diadvokasi oleh para aktivis. Namun sekalipun begitu, masih banyak mitos, stigma dan prasangka yang melingkupi masyarakat adat. Sekian lama terjadi upaya menyangkal kemajemukan Indonesia. jika kita jujur pada diri sendiri dan peduli, sebenarnya masih banyak kelompok masyarakat adat yang mengalami diskriminasi dan menerima stigma negatif.
Stigma yang identik dengan masyarakat adat tersebut adalah orang gunung, orang laut, orang hutan, atau orang dusun — yang semuanya berkonotasi merendahkan. Juga dianggap kotor, kumal, kucel, malas, bodoh, lugu, bau, bawa penyakit, sampah masyarakat, tak terpelajar, terbelakang, kampungan, kasar, primitif, penganut ilmu hitam, percaya klenik, dan semacamnya yang menyebabkan mereka tidak diterima secara wajar dalam pergaulan sosial. Mereka hidup mengelompok, tersekat oleh batas geografis yang mengisolasi mereka, maupun terhalang garis imajiner akibat sekat-sekat sosial yang membuat mereka berbeda dengan kelompok lainnya.
Koalisi masyarakat madani, yang telah sepuluh tahun ini mendorong Rancangan undang-undang Masyarakat adat, menengarai setidaknya ada enam hak masyarakat adat yang terus-menerus dilanggar. Hak-hak tersebut tidak dapat dipisahkan dan melekat satu sama lain, serta harus diakui untuk pencapaian kemanusiaan hakiki bagi masyarakat adat. hak-hak itu termasuk, namun tak terbatas pada: hak atas Budaya Spiritual; hak Perempuan adat; hak anak dan Pemuda adat; hak atas lingkungan hidup; hak atas Persetujuan Bebas tanpa Paksaan, Didahulukan dan Diinformasikan (Free, Prior, and Informed Consent, disingkat FPIc), dan hak atas ulayat adat.
Baca buku utuhnya dengan mengunduh buku Inklusi Sosial di sini.