
YOGYAKARTA – Kelompok pengrajin batik ekologis dampingan KEMITRAAN turut meramaikan gelaran Jogja Fashion Week yang berlangsung di Jogja Expo Center, Bantul, DI Yogyakarta. Acara tersebut berlangsung pada 7 – 10 Agustus 2025. Yang membedakan stan batik KEMITRAAN dengan stan batik lainnya terletak pada pewarna dipakai. Kelompok pengrajin batik ekologis dampingan KEMITRAAN menggunakan bahan pewarna alami seperti secang, indigo, dan daun ketapang.
Kelompok batik ekologis ini didirikan atas inisiatif 40 pengrajin batik di Kota Pekalongan didukung oleh KEMITRAAN dan Pemerintah Kota Pekalongan. Kota Pekalongan memang dijuluki kota batik. Hampir 40 persen perekonomian Kota Pekalongan ditopang oleh batik. Pun 70 persen peredaran batik nasional berasal dari Kota Pekalongan.
Namun sayang, tingginya pertumbuhan industri batik tidak diiringi dengan kapasitas pengolahan limbah yang mumpuni. Akibatnya limbah pewarna batik yang menggunakan bahan kimia mencemari sungai-sungai di Kota Pekalongan. Untuk itulah KEMITRAAN lewat dukungan Adaptation Fund menginisiasi program adaptasi perubahan iklim yang salah satunya dengan membentuk kelompok pembatik yang menggunakan pewarna alami dalam proses produksinya.
Senior Program Manager Climate Resilience and Finance Governance KEMITRAAN Abimanyu Sasongko Aji mengatakan batik pewarna alami menjadi solusi di tengah tantangan krisis iklim dan lingkungan. Sungai-sungai dan air tanah yang tercemar di Kota Pekalongan sudah sangat memprihatinkan. Oleh karena itu batik pewarna alami menjadi jawaban di tengah tantangan tersebut.
“Kita sama-sama sadari batik merupakan tradisi yang harus kita jaga dan bahkan menjadi sumber perekonomian bagi masyarakat. Nah, batik pewarna alami ini menjadikan industri batik menjadi lebih sustainable secara ekonomi dan lingkungan,” ujar Aji dalam talkshow di sela-sela pameran Jogja Fashion Week.
Ia mengatakan batik pewarna alami juga memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan batik pewarna sintetis karena memiliki warna yang lebih natural dan hangat. Selain itu batik pewarna alami menjadi lebih unik warnanya karena sulit ditiru secara massal. Kemudian, karena prosesnya yang manual, batik pewarna alami pun lebih eksklusif dan premium sehingga bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi. Dengan demikian batik pewarna alami memiliki pangsa pasar yang juga besar dan bahkan bisa menembus pasar internasional.
“Apa lagi sekarang pasar internasional makin punya kepedulian dan kesadaran terkait produk yang ramah lingkungan. Gen Z pun sekarang juga makin peduli dengan isu lingkungan. Jadi batik pewarna alami ini peluangnya sangat bagus dan menjanjikan,” tutur Aji.
Nurita, salah satu pengrajin dampingan KEMITRAAN pun membuktikan sendiri tingginya peluang ekonomi batik pewarna alami. Di hari pertama, dagangannya laku sebanyak 15 produk. Tentunya dengan harga yang lebih tinggi disbanding produk batik biasa yang menggunakan warna sintetis.
“Kalau untuk di pameran dan hari pertama sudah laku segitu (15) sudah bagus itu. Kan masih ada hari-hari berikutnya dan biasanya di weekend pengunjung lebih banyak,” ujar Nurita.
Ia sangat bersyukur bisa ikut dalam kelompok pengrajin batik pewarna alami yang didampingi KEMITRAAN. Sebab saat ini ia memiliki peluang ekonomi baru untuk masuk ke pasar baik yang lebih eksklusif lewat penjualan batik pewarna alami.
Adapun KEMITRAAN berkomitmen melanjutkan pendampingan teknis dan pemasaran guna memastikan keberlanjutan model bisnis ini. Fokus ke depan adalah penguatan rantai pasok bahan baku alam dan perluasan jejaring pemasaran global—langkah strategis untuk menjadikan batik sebagai pemimpin sustainable fashion di Kota Pekalongan.
“Saya bersyukur bisa bergabung. Selama satu tahun terakhir ini benar-benar belajar banyak soal pembuatan batik pewarna alami. Ke depan kami akan terus mengupayakan keberlanjutan batik pewarna alami ini,” ujar Nurita.