Mengendarai sebuah mobil Avanza, Muhammad Rusli membawa kami ke titik terjauh yang bisa dicapai kendaraan, sebelum memasuki kawasan hutan yang oleh warga disebut laweri. Selebihnya kami harus berjalan kaki dengan jalur mendaki dan basah oleh hujan.
Di sekeliling adalah kebun cengkeh bercampur dengan pohon aren. Seorang ibu melintas membawa peralatan petik tersenyum menyapa. Di kejauhan terlihat pegunungan yang terselimut kabut. Tanah-tanah masih basah dan hujan akan segera turun.
Di sebuah gubuk milik kepala dusun setempat, kami akhirnya berhenti untuk beristirahat. Hutan laweri masih jauh masuk ke dalam..
Perjalanan kami hari itu adalah untuk merekam perjalanan Kelompok Tani Hutan (KTH) Barugae di Desa Saohiring, Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Kelompok ini terbilang sukses dalam pengelolaan hutan meski baru berjalan tiga tahun. Beragam usaha telah dibentuk, lahan-lahan yang dikelola telah banyak dinikmati hasilnya oleh para anggota.
KTH Barugae mendapat izin perhutanan sosial melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) sejak 2019, yang dibentuk setahun sebelumnya dengan anggota 80 orang. Luas hutan yang dikelola adalah 90 hektar. Hutan laweri sendiri mulai dikelola warga sejak era 1970-an, namun kemudian harus ditinggalkan warga, terusir karena klaim hutan produksi dari negara.
“Sejak tahun 1970-an memang orang tua kami sudah membuka kebun untuk tanaman jagung, kakao, cengkeh dan aren. Namun kemudian terpaksa harus ditinggalkan atau dikelola secara sembunyi-sembunyi karena dilarang petugas kehutanan,” kata Rusli, yang merupakan Ketua Kelompok Barugae, awal September 2022 lalu.
Di tahun 2017, pernah ada seorang warga bernama Haddang mencoba membuka lahan dengan menebang beberapa kebun, namun akhirnya harus berurusan dengan aparat keamanan.
Kondisi ketidaknyamanan mengelola kebun di dalam kawasan hutan bertahun-tahun berakhir ketika muncul tawaran pengelolaan hutan melalui perhutanan sosial dengan skema hutan kemasyarakatan (HKm). Pemerintah desa kemudian mengidentifikasi warganya yang telah berkebun di kawasan hutan tersebut, yang kemudian terkumpul 80 orang.
“Lahan dibagi secara adil ke para anggota secara kotak-kotak, masing-masing ada batasnya sesuai dengan lahan yang dulunya menjadi wilayah garapan mereka,” jelas Rusli.
Hak kelola ini bersifat warisan berdasarkan garis keturunan. Beberapa anggota pemilik hak kelola adalah perempuan meskipun dalam pengelolaannya dilakukan oleh suami mereka.
“Kalau yang anggota perempuan itu karena berdasar warisan orang tua mereka yang penduduk asli di sini. Suami mereka adalah pendatang dari daerah lain yang tak diberi hak kepemilikan, kalau atas nama suami takutnya malah nanti disalahgunakan.”
Warga umumnya berkebun cengkeh yang dianggap bernilai ekonomi tinggi dan memang sudah tersedia sejak dulu. Kondisi lahan yang subur membuat cengkeh tumbuh subur dan hanya butuh sedikit pupuk untuk membantu kesuburan.
Dari cengkeh ini petani memperoleh hasil panen sekitar 300 kg cengkeh basah per musim. Saat ini harganya Rp 38 ribu/kg, sedikit lebih rendah dibanding bulan sebelumnya seharga Rp 40 ribu/kg. Namun lebih tinggi dibanding tahun lalu yang pernah mencapai harga terendah Rp 27 ribu.
Hanya saja, meskipun selama ini produksi cengkeh stabil, namun tanaman ini sangat tergantung pada cuaca.
“Kalau bulan begini semestinya musim kemarau justru malah hujan, pengaruhnya pada rendemen cengkehnya tinggi, bisa mencapai 3,1. Kalau musim kemarau hanya 2,8 saja. Ini sangat berpengaruh pada nilai jual.”
Cengkeh juga butuh waktu untuk pengeringan hingga 3 hari dengan kondisi terik matahari, tak bisa disimpan dalam kondisi basah dan hanya tahan seminggu. Makanya petani banyak menjual dalam kondisi basah meski harga jualnya lebih rendah. Panennya pun lebih rumit karena harus dipanjat dengan tangga. Kondisi ini membuat petani berpikir untuk mencari komoditas lain yang cocok untuk dikembangkan.
“Kalau sekarang ini kami coba tanam pala, yang sudah kami coba tanam sejak empat tahun lalu dan sudah ada hasil. Kelebihan pala karena selain memang cocok tumbuh di sini, juga karena bisa panen setiap saat dan panennya lebih mudah, tak harus dipanjat, tapi jatuh sendiri dari pohon. Jadi tinggal dipungut.”
Pala juga dimudah dipasarkan dengan harga Rp 70 ribu per kg. Seperti halnya cengkeh, setahun mereka bisa produksi hingga 300 kg. Pala juga dinilai tak begitu terganggu produksinya karena perubahan cuaca yang ekstrem.
Pemerintah sendiri melalui Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) telah memberi bantuan bibit pala, dan bibit lain seperti rambutan dan mahoni. Semua bibit ini kemudian ditanam di lahan yang sama melalui sistem agroforestri.
“Karena lahannya sempit makanya kami jadikan sebagai kebun campur, hasilnya lebih menjanjikan.”
Menurut Rusli, kehadiran HKm ini berperan besar dalam menyejahterakan warga, khususnya anggota kelompok. Dengan adanya kebebasan berkebun di dalam kawasan hutan, produktivitas mereka pun meningkat.
“Boleh dikata sebagian besar anggota hidupnya jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Tak perlu takut dan sembunyi-sembunyi lagi. Kehidupan ekonomi kami bisa lebih terjamin.”
Selain cengkeh, sebagian besar anggota kelompok adalah penyadap dan pembuat gula aren. Pohon aren memang banyak tumbuh di hutan tersebut. Karena potensi inilah kemudian sehingga salah satu kelompok usaha perhutanan sosial yang dibentuk jenis usahanya adalah gula aren. Kalau dulunya mereka produksi gula batok, kini mereka mencoba produksi gula semut dan gula cair.
Produksi gula semut dan cair ini adalah salah satu upaya pemberdayaan yang dilakukan oleh Program KEMITRAAN (Partnership for Governance Reform) atas dukungan Ford Foundation dan Kementerian Dalam Negeri.
“Untuk KTH Barugae di Desa Saohiring ini kami bantu dengan pelatihan pembuatan gula semut dan bantuan peralatan produksi, termasuk pengemasannya,” ungkap Gladi Hardiyanto, Project Manager CBFM-KEMITRAAN.
Sumber: Mongabay Indonesia