Beranda / Publication

Peringatan Hari Perempuan Pembela HAM: Meneguhkan Solidaritas dan Gerakan Perempuan di ASEAN

JAKARTA – Koalisi Perempuan Pembela HAM (PPHAM) menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Perempuan Pembela HAM: Meneguhkan Solidaritas dan Gerakan Perempuan di ASEAN” dalam rangka Peringatan Hari Perempuan Pembela HAM (PPHAM) Internasional 2024 yang diperingati setiap tanggal 29 November. Kegiatan yang dihadiri oleh sekitar 200 peserta, baik secara luring dan daring ini menghadirkan empat narasumber penting dari kawasan Asia Tenggara yakni, Prof.Nymia Pimentel (Philipines Alliance Human Rights Advocate), Shivani Verma (OHCHR), Piyanut Kotsan (Amnesty Internasional Thailand), dan Theresia Iswarini (Komnas Perempuan). Acara berlangsung di Hotel Grandhika Iskandarsyah, Jakarta, Kamis (28/11/2024).

Diskusi tersebut menyoroti isu kekerasan terhadap Pembela HAM, termasuk Perempuan Pembela HAM (PPHAM) di Asia Tenggara. Analisis Bersama Forum Asia dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) tentang Situasi Pembela HAM di Asia, misalnya, mencatat terdapat 606 kasus kekerasan terhadap PHAM di Asia Tenggara selama kurun waktu 1 Januari 2022 – 30 Juni 2023. Dari angka tersebut, 33 dialami PPHAM. 

Dalam diskusi tersebut Direktur Eksekutif KEMITRAAN Laode M. Syarif menggarisbawahi posisi Pembela HAM yang semakin rentan dengan perubahan situasi politik dan kepemimpinan di berbagai negara Asia Tenggara yang semakin represif. Hal itu diperburuk dengan kembalinya kekuasaan rezim masa lalu yang sarat dengan kasus pelanggaran HAM dan anti demokrasi, seperti yang terjadi di Filipina . 

“Kekerasan aparat terhadap Pembela HAM, Aktivis Perempuan, Aktivis Lingkungan itu selalu ada, apalagi jika secara kebijakan belum ada perlindungan hukum pada pembela HAM,” ujar dia.

Kondisi yang tidak baik-baik saja bagi PPHAM juga diamini oleh Ketua Komnas Perempuan. Ia mengatakan ancaman atau bahkan serangan terhadap PPHAM dari aktor negara dan nonnegara menunjukkan keberadaan PPHAM yang belum diakui. Semestinya negara mengakui eksistensi dan melindung kerja-kerja advokasi PPHAM dengan memberikan regulasi pelindung dalam bentun peraturan perundang-undangan.

“Ancaman terhadap PPHAM yang berasal dari dari Aktor Negara maupun non-negara ini terjadi dalam berbagai ruangnya, sehingga penting mengakui keberanian dan juga kegigihan PPHAM dengan disertai upaya kolektif untuk mendukung dan memberikan perlindungan yang lebih baik,” ujar Andy Yentriyani.

Kondisi buruk bagi Pembela HAM, termasuk PPHAM, memang tergambar dalam penelitian Catatan Kelabu Pelindungan Terhadap Pembela HAM 2014-2024 yang disusun oleh KEMITRAAN dan Kaukus Perempuan Pembela HAM. Penelitian ini menemukan bahwa ancaman dan serangan terhadap PPHAM kerap berkaitan dengan identitas gendernya, seperti: (1) teror atau intimidasi bernuansa seksual; (2) serangan menyasar peran ganda perempuan sebagai ibu atau istri dan Pembela HAM; (3) pembunuhan karakter merujuk stereotip tentang sosok dan peran perempuan yang ideal vs perempuan tak bermoral; (4) pengikisan kredibilitas atas dasar status perkawinan; (5) penolakan atas dasar moralitas, agama, budaya, adat dan nama baik keluarga; (6) diskriminasi berbasis gender dan seksualitas; dan (7) eksploitasi dan politisasi identitas perempuan. Akibatnya, Kondisi PPHAM pun dianggap lebih rentan karena adanya kerentanan khusus terkait gendernya. Mereka kerap diserang berdasarkan tubuh dan seksualitas perempuan yang menjadi peniliaian utama perempuan di masyarakat patriarkis, serta diserang pula dengan dasar stereotype dan peran gendernya. 

Kekerasan, misalnya dalam bentuk kekerasan seksual, terjadi pula di kalangan jurnalis. Dalam testimoni Satgas Kekerasan Seksual AJI Indonesia Ira Rahmawati mengungkapkan hasil riset AJI Indonesia tahun 2023 yang menunjukkan bahwa jurnalis perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual di dunia kerja. Dari 852 jurnalis perempuan di 34 Provinsi di Indonesia sebanyak 82,6% diantaranya mengaku pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karir mereka sebagai jurnalis.”

Kondisi Pembela HAM dan PPHAM di ASEAN

Di tengah tren dominasi kepemimpinan militer dan otoritarian, serta menguatnya oligarki di kawasan ASEAN, ancaman terhadap Pembela HAM dikhawatirkan akan terus meningkat. Pola-pola lama yang pernah terjadi di masa lalu dikhawatirkan akan terulang kembali.

Di Indonesia, kembalinya perluasan kewenangan aparat bersenjata (militer dan kepolisian) di dalam pemerintahan sipil seperti pada masa Orde Baru berpotensi menjadi ancaman serius terhadap pembela HAM, terutama yang berada di wilayah rawan berkonflik. Keterlibatan militer dalam proyek Food Estate di Merauke, Papua misalnya, berpotensi memperluas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia serta kekerasan dan kesewenang-wenangan aparat di lapangan yang berhadapan dengan masyarakat sipil.

“Dengan pendekatan militer yang begitu masif akhirnya masyarakat sipil takut. Kehadiran militer membungkam suara masyarakat untuk bersuara tentang ketidakadilan yang sedang terjadi di Maybrat dan bentuk kekerasan lain,” ujar Lani Faan dari ELSHAM Papua saat memberikan testimoninya.

Di Filipina pada era Duterte dan Marcos Jr, atas nama perang melawan teror yang disponsori negara, mereka melakukan kampanye dan operasi militer yang berkelanjutan di wilayah yang disinyalir dikuasai oleh teroris. Operasi militer dan serangan psikologis baik fitnah, ancaman, pelecehan dan menebar ketakutan dilakukan. Termasuk dengan penempatan militer bersenjata serta disahkannya UU tindakan represif larangan unjuk rasa. Bahkan atas nama perang melawan narkoba, Durerte membentuk pasukan khusus yang memiliki kewenangan membunuh langsung warganya yang diduga bagian dari jaringan narkoba. Puluhan ribu orang dibunuh, tanpa proses hukum. 

“Ketika hak-haknya dilanggar, perempuan akan melakukan aksi, mereka akan mengekspresikannya melalui kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai. Namun aparat negara akan masuk dan menghalangi mereka untuk menunaikan hak sipil politiknya” ujar Nymia Pimentel-Simbulan.

Salah satu benang merah dari diskusi ini adalah pentingnya masyarakat sipil untuk terus mendorong kebijakan yang berpihak pada perempuan dan Pembela HAM. Sulit untuk mengharapkan pada pemerintahan yang memiliki agendanya sendiri yang bersinggungan dengan kepentingan rakyatnya atau bahkan bertentangan dengan kehendak rakyat.

Oleh karena itu dalam rangka menyikapi buruknya situasi yang terjadi, Koalisi PPHAM menyerukan:

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam visi misinya (Asta Cita) pada poin satu  dan empat menyebutkan komitmen pada penegakan HAM dan Kesetaraan Gender. Hal ini harus dapat dibuktikan dengan program dan kebijakan dan kegiatan yang mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, masa kini dan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM dan pembela HAM.

Serangan dan kekerasan pada PPHAM lintas sektor di berbagai negara khususnya ASEAN memiliki kemiripan.  Oleh karenanya pentingnya adanya konsolidasi jaringan termasuk solidaritas aksi dan advokasi bersama dan  bertukar pengetahuan, dan berbagi sumber daya.

Perlunya memperkuat mekanisme kedaruratan yang keberlanjutan dengan meningkatkan kapasitas PPHAM, khususnya terkait dengan Digital Security. 

Kementerian Hak Asasi Manusia yang baru dibentuk harus meningkatkan skala mekanisme pelindungan untuk PPHAM dan keluarganya secara nasional dengan mencontoh keberhasilan Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI dan LPSK di beberapa kasus.

Koordinasi dan kerjasama yang solid  antar lembaga HAM seperti Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI dan LPSK  penting untuk mekanisme pelindungan pada PPHAM dan keluarganya dan membuat laporan bersama atas situasi pembela HAM, perlindungan dan  tantangan serta kendala dalam upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM.

2016

Pada bulan Maret 2016, KEMITRAAN menerima akreditasi internasional dari Adaptation Fund. Dewan Adaptation Fund, dalam pertemuannya yang ke-27, memutuskan untuk mengakreditasi KEMITRAAN sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Adaptation Fund. KEMITRAAN menjadi lembaga pertama dan satu-satunya lembaga Indonesia yang terakreditasi sebagai NIE Adaptation Fund di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

 

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

 

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

2000-2003

KEMITRAAN memainkan peran krusial dalam mendukung pengembangan undang-undang untuk membentuk KPK. Hal ini diikuti dengan langkah mendukung Pemerintah dan DPR dalam memilih calon komisioner yang kompeten dan juga mendukung kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara kritis proses seleksinya. Setelah komisioner ditunjuk, mereka meminta KEMITRAAN untuk membantu mendesain kelembagaan dan rekrutmen awal KPK, serta memainkan peran sebagai koordinator donor. Sangat jelas bahwa KEMITRAAN memainkan peran kunci dalam mendukung KPK untuk mengembangkan kapasitas dan strategi yang diperlukan agar dapat bekerja seefektif mungkin.

2003

Pada tahun 2003, KEMITRAAN menjadi badan hukum yang independen yang terdaftar sebagai Persekutuan Perdata Nirlaba. Pada saat itu, KEMITRAAN masih menjadi program yang dikelola oleh UNDP hingga akhir tahun 2009. Sejak awal tahun 2010, KEMITRAAN mengambil alih tanggung jawab dan akuntabilitas penuh atas program-program dan perkembangannya.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.