Satu bulan belakangan, publik disuguhi setidaknya dua berita yang mengusik rasa keadilan. Pertama, pemberian Pembebasan Bersyarat (PB) bagi mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Kedua, tidak ditahannya Putri Chandrawati, istri Ferdy Sambo, yang diduga, bersama pihak lain, melakukan pembunuhan berencana.
Mantan Jaksa Pinangki adalah terpidana kasus suap dan pencucian uang dengan nilai sekitar USD 875,000, untuk mengurus fatwa bebas Djoko Tjandra. Oleh kejaksaan, ia hanya dituntut 4 tahun penjara. Hati publik terobati karena oleh Pengadilan korupsi tingkat pertama, Pinangki dijatuhi hukuman penjara 10 tahun, Enam tahun lebih berat dari tuntutan jaksa. Masalahnya, hukuman tersebut kemudian ‘didiskon’ oleh pengadilan tingkat banding, menjadi ‘hanya’ 4 tahun. Pertimbangan majelis hakim adalah karena Pinangki sudah dihentikan sebagai Jaksa, mengaku bersalah dan menyesal, dan bahwa ia adalah perempuan (yang perlu mendapat perlindungan) dan masih memiliki anak balita.
Rasa keadilan masyarakat makin terusik karena baru menjalani sebagian hukumannya (Pinangki ditahan pada bulan Agustus 2020), ia mendapatkan pembebasan bersyarat sehingga dapat melenggang dari penjara. Meski ia dibebani kewajiban wajib lapor. Cepatnya pemberian PB ini dikarenakan sejak diterbitkannya Undang-undang Pemasyarakatan hasil amandemen (UU No. 22 Tahun 2022), syarat mendapatkan PB bagi koruptor dipermudah.
Problem penanganan kasus Pinangki bukan (saja) pada pendeknya hukuman penjara, alasan peringan hukuman, atau tidak diajukannya banding oleh Jaksa, namun juga (terutama) karena perbedaan perlakuan (unfair treatment). Tidak pernah publik mendengar adanya diskon hukuman begitu besar, dengan pertimbangan memperingan hukuman seperti di atas.
Sangat jarang pula kita mendengar jaksa pasrah menerima hukuman yang jauh di bawah tuntutan mereka (tidak mengajukan banding), jika terdakwanya bukan dari kalangan sendiri. Benar bahwa prisipnya, semua narapidana yang memenuhi syarat (terutama berkelakuan baik selama di penjara) berhak mendapatkan remisi dan PB. Namun praktiknya, butuh uang agar remisi dan terutama permohonan PB -ya disetujui. Karenanya, narapidana ‘kelas bawah’ tidak mudah mendapatkannya.
Masalah diskriminasi dan unfair treatment ini pula yang membuat publik meradang pada kasus Putri Chandrawati. Kebanyakan orang mungkin tidak mempermasalahkan jika ia tidak ditahan, baik karena masih punya anak balita, atau karena penahanannya dianggap tidak perlu (karena memang penahanan bukanlah keharusan). Masalahnya, ada banyak sekali kisah bagaimana ibu dengan anak balita, segera ditahan oleh penyidik (termasuk dihukum tanpa peringanan oleh hakim).
Seperti yang dimuat di Kompas.com tentang beragam kisah ibu memiliki anak balita yang tetap ditahan oleh penyidik atau jaksa, meski telah meminta keringanan. Bahkan sebagian anak-anak mereka terpaksa ikut mendekam di penjara karena tidak ada pilihan lain karena pihak yang dapat mengurus. Dalam salah satu kisah tersebut, seorang ibu bersama ketiga anak balita kembarnya yang harus mendekam di tahanan karena kasus penipuan percaloan masuk PNS. Ibu ini tetap ditahan meski telah mengupayakan restorative justice dengan korban dan agar tidak dilakukan penahanan. Dalam kasus Putri Chandrawati, sebenarnya alasan penyidik untuk melakukan penahanan, meski yang bersangkutan memiliki anak balita, menjadi krusial karena ada kemungkinan besar yang bersangkutan dapat menghilangkan barang bukti. Indikasi ini sudah terlihat dari upaya awal Putri dan suami merekayasa bukti-bukti kasus pembunuhan tersebut.
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Hukum yang berlaku seperti tidak bisa memberi keadilan, kepastian dan kemanfaatan karena hukum tersebut tidak benar-benar ditegakkan. Kasus Putri dan Pinangki jelas-jelas melukai keadilan, menunjukkan ketidakpastian hukum, sekaligus tidak memberikan manfaat, khususnya bagi masyarakat.
Seharusnya agar hukum menjadi adil, para penegak hukum dalam mengambil keputusan tidak sekadar berpegang pada pasal dalam Undang-Undang sebagai produk hukum tetapi juga memiliki nurani mempertimbangkan keadaan masyarakat saat itu. Bahkan Jaksa Agung Prof Dr Burhanuddin, SH, MM, MH menekankan bahwa kemanfaatan hukum dan kepastian hukum yang dilandasi hati nurani akan mewujudkan keadilan hukum secara paripurna. Ia menamakannya sebagai hukum berdasarkan hati nurani.
Kemudian pertanyaannya, seperti apa hati nurani para penegak hukum di negara kita? Apakah berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan? Atau berdasarkan kepentingan lain di luar penegakan hukum?
Mari kita dorong penegakan hukum yang adil sehingga tidak ada lagi hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas dan lemas ke kawan.
Salam Perjuangan,
Laode M. Syarif
Artikel ini telah dimuat di Kabar KEMITRAAN edisi September 2022.
Berlangganan newsletter KEMITRAAN melalui tautan ini.