Kekerasan seksual pada anak kembali terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan. Setelah sebelumnya heboh pemberitaan dengan kasus pengasuh rumah pendidikan agama di Cibiru Bandung, Jawa Barat yang pada akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat, kejadian serupa kembali terjadi di Jombang Jawa Timur. Membawa nama lembaga pendidikan keagamaan, seringkali membuat upaya penyidikan tidak berjalan dengan lancar. Dalih menjaga nama baik lembaga keagamaan kerap melanggengkan kekerasan seksual di lingkungan tersebut.
Kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan di Jombang ini pernah dilaporkan pada tahun 2020. Meski demikian kasus ini tidak kunjung ditindak lanjuti hingga membuat persoalan kian berlarut. Kejadian ini kembali berulang dengan doktrin manipulasi pelaku untuk kemudian menerima perlakukan tersebut dengan dalih ajaran agama.
“Vagina perempuan adalah jalan mulia, karena dari situlah pemimpin dilahirkan. Melakukan hubungan seksual adalah perbuatan mulia. Makanya vagina sampean jangan sampai dimasuki orang lain,” kata pelaku melalui penuturan salah satu korban seperti dikutip dari magdalene.co.
Kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan merupakan salah satu fenomena kekerasan seksual di Indonesia. Data Komnas Perempuan dari 2015-2020 menyebutkan bahwa pesantren menempati urutan kedua dalam hal kasus kekerasan seksual dalam periode waktu tersebut.
“Dilihat dalam laporan Komnas Perempuan per 27 Oktober 2021, sepanjang 2015-2020 ada sebanyak 51 aduan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang diterima Komnas Perempuan,” ujarnya.
Kondisi ini menjadikan lembaga pendidikan keagamaan tersebut belum menjadi tempat yang aman bagi anak, khususnya perempuan. Salah satu penyebabnya adalah budaya patriarki dan pemahaman mengenai posisi perempuan yang tidak memiliki hak tolak untuk memutuskan apapun terhadap otoritas tubuhnya karena dalih agama.
Sejumlah faktor lain yang turut melanggengkan hal ini adalah ketidaktahuan dari para santri bahwa tindak pelecehan dan kekerasan seksual yang dialaminya termasuk kejahatan. Disisi lain adanya rasa takut dan tidak berani melakukan perlawanan. Lembaga pendidikan keagamaan mewajibkan para santri memiliki rasa hormat terhadap guru sesuai dengan kaidah agama.
Solusi Memutus Rantai Kekerasan Seksual
Perlu adanya revolusi dalam internal lembaga pendidikan keagamaan sebagai langkah preventif maupun kuratif untuk mengatasi persoalan kekerasan seksual pada anak. Langkah preventif dapat dilakukan dengan membangun perspektif para guru, wali, dan tenaga pendidik tentang perspektif keadilan gender dengan cara memberikan penyadaran berkesinambungan. Pemerintah melalui Kementerian Agama telah mengeluarkan Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019. Meski demikian substansi dari 9 bab dan 55 pasal di dalamnya lebih kepada aspek kelembagaan, belum secara khusus menyebutkan adanya jaminan perlindungan kepada santri. Melihat banyaknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren, maka perlu untuk mengkaji kembali Undang-Undang Pesantren agar dapat memberikan jaminan perlindungan dan keadilan bagi para santri.
Sementara langkah kuratif untuk memutus rantai kekerasan seksual bisa dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan lembaga pendampingan dan konseling yang bertujuan untuk memberikan ruang aman serta membantu para korban untuk memulihkan trauma yang dialaminya. Dalam internal pesantren sendiri perlu adanya satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan standar operasional prosedur yang jelas guna membantu mekanisme pelaporan kasus kekerasan di lingkungan pesantren.
Melihatnya maraknya kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama, Kementerian Agama tengah mempercepat proses penyiapan regulasi pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di Lembaga Pendidikan Keagamaan. Regulasi ini nantinya akan menjadi landasan semua pihak, baik pemerintah, pengelola lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk terlibat aktif dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di lembaga tersebut.
Di sisi lain, dengan disahkannya UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) merupakan hadiah bagi upaya perlindungan pada perempuan dan anak. UU TPKS menjadi wujud nyata negara hadir dalam mendukung penanganan dan pencegahan segala bentuk kekerasan seksual. UU ini melingkupi upaya perlindungan dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, termasuk pesantren tanpa terkecuali. Namun agar UU ini bisa diimplementasikan masih membutuhkan peraturan turunannya, yang mengatur lebih teknis, dari Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan menteri, dan seterusnya. Hingga saat ini, aturan teknis tersebut masih dalam proses perumusan.
Tentunya upaya penegakan hukum juga menjadi salah satu poin penting dalam penanganan kekerasan seksual pada anak. Selain UU TPKS, sebelumnya sudah ada Undang-Undang lain yang dapat digunakan sebagai landasan dalam mengatasi persoalan kekerasan seksual pada anak. Salah satunya adalah UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002. Meski demikian dalam praktiknya, kasus-kasus tersebut masih terjadi. Hal ini membuktikan tidak adanya efek jera bagi para pelaku dan membuat persoalan tersebut kembali berulang, bahkan di lingkungan pendidikan keagamaan.
Selain pemahaman terkait keadilan gender seperti disebut sebelumnya, pemahaman terkait hak dan perlindungan anak juga perlu dipahami dengan baik, terutama pihak-pihak yang banyak berinteraksi dengan anak, termasuk bagi satuan penegak hukum agar upaya penyidikan dapat lebih berperspektif korban selain budaya dan agama. Budaya “patuh” atau mengkultuskan para pemimpin agama dalam sejumlah kasus termasuk kasus kekerasan seksual di Jombang ini menjadi salah satu bukti dimana perspektif budaya dan agama menjadi penghambat dalam penegakan hukum.
Berkaitan dengan hal ini, Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli tahun ini mengangkat tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Tema ini menjadi pengingat bagi kita bahwa perlindungan anak merupakan tanggung jawab kita bersama untuk mendukung terciptanya generasi penerus bangsa yang sehat dan berdaya. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan, perlindungan dari diskriminasi, penelantaran, hingga kekerasan.
Kekerasan pada anak yang masih terjadi ini menjadi bukti belum terpenuhinya upaya perlindungan pada anak. Upaya mewujudkan revolusi kebijakan dalam internal lembaga pendidikan keagamaan menjadi langkah penting untuk melindungi anak dalam ranah lingkungan pendidikan. Anak-anak berhak mendapatkan lingkungan yang aman selama mereka tumbuh kembang dan beraktivitas, dan peran setiap kita sebagai orang dewasa menjadi penting dalam mewujudkan lingkungan yang aman bagi mereka.