Rilis Pers

Press Release – Buruknya Akuntabilitas Laporan Dana Kampanye: Problem Serius Pengaturan, Penegakan Aturan dan Komitmen para Capres-Cawapres

PENGANTAR

Pada hari Rabu, 17 Januari 2024, dalam acara yang diselenggarakan KPK dengan mengundang para calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) para pasangan calon (paslon) dengan semangat memaparkan komitmen mereka terhadap agenda-agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi. Hal yang sama dilakukan para paslon di forum-forum sebelumnya. Khusus terkait pemilu, seluruh paslon mengaku peduli pentingnya pemilu yang bersih dan transparan, dan memasukkan agenda tersebut dalam visi-misi dan program kerja mereka. [1]

Lain kata, lain perbuatan. Penelusuran berbagai pihak, termasuk KEMITRAAN, menunjukkan, tidak satupun calon yang melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye secara benar dan faktual. Masalah yang serupa ditemui terkait pelaporan calon anggota legislatif. Di sisi lain, PPATK menyatakan ada sekitar Rp 34.1 triyun melalui transaksi mencurigakan oleh sekitar 100 caleg dan Rp. 195 miliar dana asing yang  mengalir ke rekening puluhan parpol.

Publikasi dana kampanye, khususnya yang bersifat rinci (mencakup nama penyumbang dan nilai sumbangan) penting karena beberapa hal:

Pertama, memastikan pihak yang berwenang (misal Bawaslu) dan publik dapat memonitor pemenuhan pelaksanaan batas maksimum donasi kampanye (agar tidak ada satu calon yang mendapatkan keuntungan ‘ilegal’ dibanding calon lain serta mengindari adanya individu atau perusahaan yang dapat memberikan pengaruh berlebihan terhadap kampanye/proses politik pemilu);

Kedua, sarana bagi publik untuk menentukan calon yang akan dipilihnya, yakni dengan menghubungkan asosiasi dan potensi calon akan mengambil kebijakan atau tindakan dikemudian hari yang akan menguntungkan para penyumbang besar, baik langsung, para penyumbang besar.

Ketiga, memastikan pihak yang berwenang dan publik dapat memonitor bahwa setelah pemungutan suara, calon terpilih tidak memberikan perlakuan istimewa kepada penyumbang besar, baikdalam perizinan berusaha, pengadaan barang/jasa, atau dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kenbijakan dan peraturan.

Ketidakpatuhan (dan kejujuran) para calon untuk mempublikasikan data kampanye ini jelas membuat tujuan pembatasan dana kampanye dan publikasi dana kampanye menjadi kehilangan makna.

TEMUAN AWAL

1. Calon Tidak Menjalankan Kewajiban Pelaporan secara Jujur, Serius dan Tepat Waktu

Laporan Penerimaan Dana

Dalam penelusuran KEMITRAAN tanggal 15 Januari 2024 melalui portal KPU SIKADEKA, laporan jumlah dana kampanye yang diterima calon sejak 24 November 2023 hingga 15 Januari 2024 masing-masing sebagai berikut:

Tabel 1:

Laporan Capres terkait Penerimaan Dana Kampanye (SIKADEKA)

(SIKADEKA, 15 Januari 2024)

Pasangan CalonPenerimaan
Anies-IminRp 2.6 miliar
Prabowo-GibranRp. 33.4 miliar
Ganjar-MahfudRp 91.8 miliar

Data pemerimaan tersebut seharusnya sudah meliputi seluruh dana kampanye, baik sumbangan dalam bentuk uang, barang atau jasa (Pasal 9 Peraturan KPU No. 18/2023 tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum. Laporan jumlah penerimaan dana di atas diduga kuat sangat jauh dari yang sebenarnya mereka karena beberapa alasan.

Pertama, dalam pemilu sebelumnya, misal tahun 2019, total dana kampanye yang diklaim diterima oleh Jokowi dan Prabowo yang dilaporkan kepada KPU selama masa kampanye adalah Rp. 820 milyar (grafik 1).

Figur 1. Perbandingan Penerimaan Capres/Cawapres

Jika kita membandingkan data di atas dengan jumlah dana kampanye yang diklaim telah dikumpulkan para calon dan dilaporkan ke KPU di atas hingga tanggal 15 Januari 2024 (yakni kurang dari 1 bulan dari masa kampanye), maka, dengan asumsi tahun 2024 ini total jumlah penyumbang seluruh calon minimal sama dengan tahun 2019, maka setidaknya total penerimaan dana seluruh calon seharusnya sudah mencapai Rp. 505,3 milyar (lihat figur 2). Jadi ada kesenjangan sekitar Rp. 377 milyar antara pengalaman tahun 2019 dan 2024 (figur 2). Itupun jika kita berasumsi pada tahun 2019 seluruh kandidat melaporkan penerimaan dananya secara benar.

Figure 3. Perbandingan Dana Kampanye Penerimaan Capres/Cawapres tahun 2024 dengan tahun 2019

Kedua, biaya yang dikeluarkan mayoritas paslon, setidaknya untuk kampanye melalui sosial media dalam grup META saja (Tabel 2) melebihi jumlah dana diterima yang telah dilaporkan calon (Table 1 (lihat penjelasan lebih jauh dalam bagian selanjutnya)

Ketiga, secara kasat mata, mempertimbangkan jumlah dan cakupan kegiatan kampanye, serta alat peraga yang digunakan, tidak mungkin pengeluaran biaya-biaya tersebut (kecuali, mungkin untuk Paslon Ganjar-Mahfud), lebih rendah dari jumlah dana yang mereka terima. Bisa jadi bahwa sebagian pengeluaran tersebut langsung “dibayarkan” oleh para pendukung paslon dan tidak dilaporkan ke paslon/tim paslon sehingga sulit didata (misalnya dengan membuat dan memasang sendiri spanduk dukungan). Namun, sebagian (besar?) pengeluaran tersebut adalah sesuatu yang sangat wajar diketahui oleh paslon/tim.

Laporan Pengeluaran vs Realita

Jumlah laporan pengeluaran hingga tanggal 15 Januari 2024 pun masih relatif sangat kecil, sebagaimana terlihat dalam Tabel 2 di bawah.

Tabel 2:

Laporan Capres terkait Pengeluaran Dana Kampanye

(SIKADEKA, 15 Januari 2024)

Pasangan CalonPengeluaranKeterangan
Anies-IminRp. 145 jutaData portal SIKADEKA per tanggal 15 Januari 2024 (pukul 09.00), mencatat pengeluaran Anies-Imin sebesar Rp. 145 juta. Namun pada tanggal 17 Januari 2024, data tersebut berubah menjadi 0.
Prabowo-GibranRp. 28.8 miliarMayoritas pengeluaran terkait jasa (bukan uang)
Ganjar-MahfudRp. 0.001 miliar (Rp. 650,000)Pengeluaran ganjar terkait biaya administrasi bank

Di sisi lain, sebagaimana disinggung, para paslon telah melakukan berbagai kegiatan kampanye yang jelas mengeluarkan biaya.

Selain itu, berdasarkan data publik yang diperoleh KEMITRAAN dari grup sosial media Meta (yang mewadahi Facebook dan Instagram), selama periode 12 Oktober 2023 hingga 9 Januari 2024 saja, total belanja iklan di kedua media sosial tersebut dari seluruh paslon setidak-tidaknya adalah Rp 1,6 miliar.[2] Perincian pengeluaran biaya iklan dari akun resmi masing-masing paslon adalah sebagai berikut: Anies sebesar Rp 4 juta, Prabowo sebesar Rp 1,2 miliar dan Ganjar Rp 402 juta.

Selain biaya iklan yang dikeluarkan para calon pada akun resmi mereka, ada biaya iklan hampir sebesar Rp. 3 milyar yang dikeluarkan pihak-pihak lain yang mendukung/terasosiasi yang kampanye para paslon. Diduga kuat, seluruh biaya di atas (baik yang melalui akun resmi calon maupun ‘pendukungan’), tidak dilaporkan oleh para calon (dengan pengecualian, mungkin, Anies, yang melaporkan pengeluaran uang sebesar Rp. 145 juta).

2. Problem Publikasi Laporan Dana Kampanye

Masalah lain yang telah menjadi catatan adalah terkait transparansi publikasi laporan dana kampanye. Data yang dipublikasikan KPU, setidaknya hingga hari ini, hanyalah data berupa agregat dari data penyumbang (baik individu maupun perusahaan). Publik tidak mengetahui, misalnya, siapa saja yang memberi sumbangan dan berapa sumbangan yang diberikan.

Praktek ini berbeda dengan pada pemilu tahun 2019 dimana KPU mempublikasikan nama dan jumlah masing-masing penyumbang, meski dalam bentuk pdf/picture. Yang lebih memprihatinkan, Bawaslu, sebagai pihak yang memiliki tugas untuk mengawasi pemilu (termasuk untuk memastikan tidak ada sumbangan yang melebihi batas yang ditentukan), mengaku tidak diberikan akses oleh KPU untuk mendapat data rinci tersebut (Kompas, 17 Januari 2024).

KPU pernah menyatakan bahwa publikasi rinci data penyumbang kampanye melanggar hak privasi yang dijamin dalam UU Perlindungan Data Pribadi. Hal ini harus ditanyakan kepada KPU melihat pada landasan pemikiran mengapa UU Pemilu mewajibkan adanya informasi mengenai identitas penyumbang. Salah satunya untuk mencegah risiko aliran dana kampanye ilegal, termasuk sumber dana kampanye dan cara yang melanggar hukum. Di banyak negara yang menjungjung tinggi jaminan privasi, data pengumbang dikecualikan dari hak atas privasi.

Praktik di atas membuat tujuan penting kewajiban pelaporan dana kampanye (akuntabilitas pemenuhan batas maksimum sumbangan, mencegah calon terpilih memberikan perlakuan istimewa kepada penyumbang besar, serta membantu pemilih menentukan calon yang lebih sesuai) menjadi kehilangan makna.

SERUAN

  1. Menuntut para capres dan cawapres serta partai politik pendukungnya untuk secara sungguh-sungguh melaporkan seluruh penerimaan dan pengeluarannya sesuai ketentuan yang ada dan janji-janji politik mereka.
  2. Menuntut KPU untuk mempublikasikan secara rinci penerimaan dan pengeluaran calon presiden dan wakil presiden. Khusus penyumbang, wajib diumumkan rinci, setidaknya, nama danpenyumbang serta nilai sumbangannya.
  3. Menuntut BAWASLU lebih serius dalam memonitor kebenaran laporan penerimaan dan pengeluaran dan menegakkan hukum secara tegas dan konsisten, tanpa pandang bulu.
  4. Mendorong masyarakat untuk menjadikan kesungguhan para calon untuk mendorong pemilu yang bersih, berintegritas dan terbuka, yakni melalui pelaksanaan kewajiban pelaporan yang benar dan konsisten, sebagai salah satu ukuran dalam menentukan calon yang akan dipilih.
  5. Kedepannya, pemerintah, DPR dan KPU untuk memperkuat peratuan dan kebijakan terkait dana kampanye, antara lain agar:
  6. Mengatur kewajiban KPU untuk mempublikasikan secara rinci penerimaan dan pengeluaran calon. Khusus penyumbang, wajib diumumkan rinci nama dan  penyumbang serta nilai sumbangannya.
  7. Mengatur kewajiban bagi pihak-pihak yang umumnya menyediakan barang/jasa tertentu bagi pelaksanaan kampanye, misalnya media (seperti Google dan TikTok) mempublikasikan biaya iklan yang dikeluarkan calon di media mereka.
  8. Mengatur sanksi bagi calon presiden yang tidak melaporkan secara benar dan rutin.
  9. Memperjelas prosedur pengisian dan perubahan data, untuk memastikan akuntabilitas.

[1] Lihat visi misi Anies-Imin (hal 85), Prabowo-Ganjar (hal 66) dan Ganjar-Mahfud. Bahkan visi-misi Ganjar_Mahfud, yang dalam aspek ini paling komprehensif, mencanangkan program pemantauan penerapan aturan yang mewajibkan publikasi Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dan penguatan skema pembatasan sumbangan dan pengeluaran biaya kampanye secara rasional diikuti dengan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran batas biaya kampanye (hal 129 dan 135)

[2] Meta menyediakan akses publik untuk mengetahui biaya iklan yang dikeluarkan individu atau perusahaan. Namun kategori jenis iklan yang dipublikasikan relatif umum, misalnya “masalah sosial, pemilu atau politik” di Indonesia. Tidak ada yang spesifik mengenai pemilu.

2016

Pada bulan Maret 2016, KEMITRAAN menerima akreditasi internasional dari Adaptation Fund. Dewan Adaptation Fund, dalam pertemuannya yang ke-27, memutuskan untuk mengakreditasi KEMITRAAN sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Adaptation Fund. KEMITRAAN menjadi lembaga pertama dan satu-satunya lembaga Indonesia yang terakreditasi sebagai NIE Adaptation Fund di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

 

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

 

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

2000-2003

KEMITRAAN memainkan peran krusial dalam mendukung pengembangan undang-undang untuk membentuk KPK. Hal ini diikuti dengan langkah mendukung Pemerintah dan DPR dalam memilih calon komisioner yang kompeten dan juga mendukung kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara kritis proses seleksinya. Setelah komisioner ditunjuk, mereka meminta KEMITRAAN untuk membantu mendesain kelembagaan dan rekrutmen awal KPK, serta memainkan peran sebagai koordinator donor. Sangat jelas bahwa KEMITRAAN memainkan peran kunci dalam mendukung KPK untuk mengembangkan kapasitas dan strategi yang diperlukan agar dapat bekerja seefektif mungkin.

2003

Pada tahun 2003, KEMITRAAN menjadi badan hukum yang independen yang terdaftar sebagai Persekutuan Perdata Nirlaba. Pada saat itu, KEMITRAAN masih menjadi program yang dikelola oleh UNDP hingga akhir tahun 2009. Sejak awal tahun 2010, KEMITRAAN mengambil alih tanggung jawab dan akuntabilitas penuh atas program-program dan perkembangannya.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

This agreement was signed between Green Climate Fund (GCF) and PARTNERSHIP. This agreement formalizes KEMITRAAN’s accountability in implementing projects approved by the GCF.

For your information, the GCF is the world’s largest special fund that helps developing countries reduce greenhouse gas emissions and increase their ability to respond to climate change.

These funds were collected by the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) in 2010. The GCF has an important role in realizing the Paris Agreement, namely supporting the goal of keeping the average global temperature increase below 2 degrees Celsius.

2000-2003

KEMITRAAN played a crucial role in supporting the development of legislation to establish the KPK. This was followed by steps to support the Government and DPR in selecting competent commissioner candidates and also supporting civil society groups to critically monitor the selection process. After the commissioners were appointed, they asked KEMITRAAN to help with the institutional design and initial recruitment of the KPK, as well as play the role of donor coordinator. It is clear that KEMITRAAN plays a key role in supporting the Corruption Eradication Commission to develop the capacity and strategies needed to work as effectively as possible.

2016

In March 2016, KEMITRAAN received international accreditation from the Adaptation Fund. The Adaptation Fund Board, in its 27th meeting, decided to accredit KEMITRAAN as National Implementing Entity (NIE) from the Adaptation Fund. KEMITRAAN is the first and only Indonesian institution to be accredited as a NIE Adaptation Fund in Indonesia.

2003

In 2003, KEMITRAAN became an independent legal entity registered as a Non-Profit Civil Partnership. At that time, KEMITRAAN was still a program managed by UNDP until the end of 2009. Since the beginning of 2010, KEMITRAAN took over full responsibility and accountability for the programs and their development.

1999-2000

The Partnership for Governance Reform, or KEMITRAAN, was founded in 2000 following Indonesia’s first free and fair general election in 1999. This historic election is an important step in Indonesia’s efforts to move away from an authoritarian past towards a democratic future. PARTNERSHIP was established from a multi-donor trust fund and is managed by United Nations Development Programme (UNDP) with a mandate to advance governance reform in Indonesia