Beranda / Media Coverage

Regulasi Perlindungan Belum Optimal Berdampak Kekerasan pada Pembela HAM

ANTARA – Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif mengatakan bahwa kekerasan masih kerap terjadi pada pembela HAM karena regulasi pelindungan pembela HAM yang belum optimal.

“Kekerasan aparat terhadap pembela HAM, aktivis perempuan, aktivis lingkungan itu selalu ada, apalagi jika secara kebijakan belum ada perlindungan hukum bagi pembela HAM,” kata Laode M. Syarif dalam acara diskusi publik bertajuk “Perempuan Pembela HAM: Meneguhkan Solidaritas dan Gerakan Perempuan di ASEAN”, di Jakarta, Kamis.

Menurut Laode M Syarif, perlindungan terhadap pembela HAM, khususnya perempuan pembela HAM, masih rendah.

“Masih banyak orang yang dikriminalisasi, padahal mereka hanya memperjuangkan kehidupan-kehidupan mereka. Walaupun undang-undang menjamin, tapi implementasinya masih terlalu jauh,” kata mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.

Hal senada juga dikatakan oleh Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani. Ia mengatakan ancaman atau bahkan serangan terhadap perempuan pembela HAM dari aktor negara dan non-negara menunjukkan keberadaan perempuan pembela HAM yang belum diakui.

Padahal semestinya negara mengakui eksistensi dan melindungi kerja-kerja advokasi perempuan pembela HAM dengan memberikan regulasi pelindungan dalam membentuk peraturan perundang-undangan.

“Ancaman terhadap perempuan pembela HAM yang berasal dari aktor negara maupun non-negara ini terjadi dalam berbagai ruang, sehingga penting mengakui keberanian dan juga kegigihan perempuan pembela HAM dengan disertai upaya kolektif untuk mendukung dan memberikan perlindungan yang lebih baik,” ujar Andy Yentriyani.

Diskusi publik ini bertujuan untuk memetakan hambatan dan tantangan dalam advokasi kerja-kerja perempuan pembela HAM, sekaligus ingin memetakan solidaritas dan upaya-upaya yang bisa dibangun oleh para perempuan pembela HAM di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia.

Sumber: https://www.antaranews.com/berita/4499453/belum-ada-regulasi-perlindungan-berdampak-kekerasan-pada-pembela-ham

2016

Pada bulan Maret 2016, KEMITRAAN menerima akreditasi internasional dari Adaptation Fund. Dewan Adaptation Fund, dalam pertemuannya yang ke-27, memutuskan untuk mengakreditasi KEMITRAAN sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Adaptation Fund. KEMITRAAN menjadi lembaga pertama dan satu-satunya lembaga Indonesia yang terakreditasi sebagai NIE Adaptation Fund di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

 

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

 

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

2000-2003

KEMITRAAN memainkan peran krusial dalam mendukung pengembangan undang-undang untuk membentuk KPK. Hal ini diikuti dengan langkah mendukung Pemerintah dan DPR dalam memilih calon komisioner yang kompeten dan juga mendukung kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara kritis proses seleksinya. Setelah komisioner ditunjuk, mereka meminta KEMITRAAN untuk membantu mendesain kelembagaan dan rekrutmen awal KPK, serta memainkan peran sebagai koordinator donor. Sangat jelas bahwa KEMITRAAN memainkan peran kunci dalam mendukung KPK untuk mengembangkan kapasitas dan strategi yang diperlukan agar dapat bekerja seefektif mungkin.

2003

Pada tahun 2003, KEMITRAAN menjadi badan hukum yang independen yang terdaftar sebagai Persekutuan Perdata Nirlaba. Pada saat itu, KEMITRAAN masih menjadi program yang dikelola oleh UNDP hingga akhir tahun 2009. Sejak awal tahun 2010, KEMITRAAN mengambil alih tanggung jawab dan akuntabilitas penuh atas program-program dan perkembangannya.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.