Oleh FRANSISKUS PATI HERIN
Pemerintah menggusur lahan, kebun, dan rumah masyarakat adat. Ganti rugi tanah hanya Rp 30.500 per meter persegi.
Pembangunan Bendungan Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, kini terus berlangsung hingga Minggu (25/8/2024). Bendungan yang berdiri di atas lahan lebih kurang 700 hektar merupakan yang terbesar di NTT. Anggaran pembangunan sekitar Rp 1,4 triliun.
Pembangunan bendungan diwarnai dengan aksi penolakan sejak wacana itu mulai bergulir pada tahun 2001. Sempat terhenti, wacana itu kembali digulirkan pada tahun 2015 sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional. Presiden Joko Widodo pernah datang ke sana pada Desember 2023.
Seorang perempuan adat menunjukkan hamparan lahan mereka yang diambil oleh pemerintah untuk pembangunan Bendungan Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur seperti pada Rabu (21/8/2024). Lahan itu terkesan diambil secara paksa.
Bendungan Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur sedang dalam proses pembangunan seperti pada Rabu (21/8/2024). Bendungan itu merupakan salah satu proyek strategis nasional. Anggaran pembangunannya sekitar Rp 1,4 triliun.
Hamparan lahan untuk pembangunan Bendungan Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur seperti pada Rabu (21/8/2024). Luasannya sekitar 700 hektar.
Seorang perempuan adat dari Desa Rendubutowe yang terdampak pembangunan Bendungan Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur seperti pada Rabu (21/8/2024). Mereka kehilangan lahan pertanian, tempat penggembalaan ternak, dan rumah tempat tinggal.
Menghadapi pemerintahan yang memiliki berbagai kewenangan dan kuasa, masyarakat adat dibuat tak berdaya. Mereka yang berusaha mempertahankan tanah, mendapat intimidasi hingga kekerasan fisik.
Masyarakat pun dipecah menjadi kelompok yang pro dan kontra terhadap pembangunan bendungan. Adu domba yang sengaja didesain itu menciptakan konflik horisontal yang masih terjadi sampai hari ini.
Seorang perempuan adat mencuci pakaian di aliran sungai yang nantinya dialirkan ke Bendungan Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur seperti pada Rabu (21/8/2024). Areal sekitar sungai itu akan dikosongkan.
Wilayah permukiman ini akan tenggelam akibat pembangunan Bendungan Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur seperti pada Rabu (21/8/2024). Warga tak kuasa melawan tekanan pemerintah yang mengambil tanah mereka.
Jalanan menuju Bendungan Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur seperti pada Rabu (21/8/2024). Di sisi jalanan itu digunakan masyarakat adat untuk membangun rumah mereka yang tergusur akibat pembangunan bendungan.
Tanaman digusur untuk pembangunan Bendungan Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur seperti pada Rabu (21/8/2024). Banyak di antaranya adalah tanaman bernilai ekonomi seperti pandan dan enau.
Setelah berhasil mengambil alih lahan tanah masyarakat, pemerintah dianggap secara sepihak menentukan besaran nilai aset itu. Pemerintah menyebutnya sebagai ganti untung sementara masyarakat menganggap nilai itu tidak berarti. Harga satu meter tanah hanya Rp 30.500.
Masyarakat kini berjuang untuk mendapatkan ganti rugi yang wajar namun terhalang berbagai prosedur yang berbelit-belit. Mereka bahkan harus berurusan dengan pengadilan. Banyak yang terancam kehilangan hak mereka.
Seorang perempaun adat yang terdampak pembangunan Bendungan Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur seperti pada Rabu (21/8/2024). Ia berada di rumahnya yang baru setelah rumah lama diambil oleh pemerintah dan akan dimusnahkan.
Hermina Mawa (50), penggerak perempuan adat, menunjukkan peta pembangunan Bendungan Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur seperti pada Rabu (21/8/2024). Pembangunan itu juga merusak tatanan adat setempat seperti tempat pelaksanaan upacara adat.
Edito: IWAN SETIAWAN
Sumber: Kompas.id
https://www.kompas.id/baca/foto/2024/08/25/perempuan-penjaga-tanah-adat-dari-rendubutowe