Sejumlah anak muda di pantura Jateng tak ingin tinggal diam melihat lingkungan mereka rusak karena perubahan iklim.
Oleh: FARIS FIRDAUS
Anak-anak muda di kawasan pantai utara Jawa Tengah berhadapan langsung dengan dampak perubahan iklim. Meski dilanda kecemasan, mereka tak mau putus harapan. Sebagian anak muda itu pun mencoba berperan menghadapi dampak perubahan iklim.
Selama beberapa waktu terakhir, lingkungan tempat tinggal Dwi Ardiansah (19) di Kelurahan Bener, Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, Jateng, makin kerap dilanda banjir. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, banjir jarang terjadi di tempat itu.
”Dulu tempatku itu tidak terlalu gampang banjir. Tapi, sekarang kok tiba-tiba kayak hujan dikit banjir, hujan dikit banjir. Kelihatan banget perubahannya,” katanya saat ditemui di Kabupaten Semarang, Jateng, Jumat (9/8/2024).
Selain banjir biasa, sebagian wilayah di dekat rumah Dwi juga mulai dilanda banjir rob. Bahkan, wilayah yang terdampak rob di area tersebut kian meluas. ”Wilayah yang paling utara itu dari dulu sudah rob, tapi sekarang makin ke selatan juga ada rob,” ujarnya.
Awalnya, Dwi tak terlalu memikirkan penyebab banjir yang kian sering dan banjir rob yang makin meluas itu. Namun, belakangan dia baru menyadari bahwa fenomena tersebut bagian dari dampak perubahan iklim.
”Dulu kami ini merasa fenomena itu (banjir dan banjir rob) lumrah, jadi ya pasrah saja. Baru kemudian paham bahwa ini dampak perubahan iklim,” kata mahasiswa jurusan Administrasi Bisnis Universitas Diponegoro, Semarang, itu.
Pengetahuan Dwi ihwal perubahan iklim pun kian bertambah setelah mengikuti acara youth camp atau perkemahan anak muda bertema ”Save Environment, Save Life” yang digelar di Kabupaten Semarang pada 9-11 Agustus 2024.
Acara yang digelar lembaga Kemitraan itu diikuti sekitar 100 anak muda dari enam wilayah di pantai utara (pantura) Jateng, yakni Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kabupaten Batang, Kota Semarang, dan Kabupaten Demak.
Kegiatan youth camp itu bagian dari program adaptasi perubahan iklim yang dijalankan Kemitraan di sejumlah wilayah Jateng dengan dukungan pendanaan dari Adaptation Fund.
Dalam acara tersebut para peserta mendapatkan beragam materi terkait perubahan iklim dan dampaknya, terutama di wilayah pantura Jateng. Mereka juga diajak berdiskusi dan merumuskan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Setelah mengikuti youth camp itu, Dwi berharap bisa ikut berkontribusi dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Salah satunya dengan memproduksi konten digital untuk menyebarluaskan informasi mengenai perubahan iklim dan dampaknya.
”Aku sih berharap ini enggak selesai di sini doang. Jadi, ada kelanjutannya. Soalnya kalau generasi mudanya enggak aware (sadar) tentang perubahan iklim, siapa lagi yang akan aware?” ungkapnya.
Kecemasan terhadap dampak perubahan iklim juga dirasakan peserta lain, Muhammad Badrud Duja (20). Pemuda asal Desa Dombo, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, itu tak asing lagi dengan fenomena banjir rob.
Duja menuturkan, selama ini banjir rob memang belum menggenangi desanya yang berlokasi di sisi selatan jalur pantura Demak. ”Robnya, kan, selama ini ada di utaranya jalur pantura,” katanya.
Akan tetapi, saat beraktivitas sehari-hari, Duja kerap harus melewati genangan rob karena jalur pantura di Sayung memang sering dilanda banjir rob. Apalagi, selama ini, sebagian wilayah Sayung sudah terendam rob yang tak pernah surut.
Bahkan, berdasarkan pengukuran tim Departemen Geografi Universitas Indonesia yang dimuat dalam buku Perubahan Garis Pantai Pesisir Utara Jawa (2020), pada kurun 1995-2015, abrasi membuat 1.645,2 hektar daratan di Sayung atau sekitar 20 persen luas kecamatan itu berubah menjadi perairan.
Genangan rob yang terjadi itu pun turut berdampak pada kehidupan Duja. ”Rob ini menyebabkan sepeda motor jadi cepat rusak,” ujar pemuda lulusan madrasah aliyah atau setingkat SMA itu.
Bahkan, dia juga cemas jika nantinya genangan rob terus meluas hingga mencapai desanya. Duja pun khawatir dengan kondisi lingkungan sekitar tempat tinggalnya pada masa mendatang. ”Yang ditakutkan pemuda pesisir itu, nanti kalau kami menikah dan punya anak, kondisinya bagaimana?” ungkapnya.
Duja menambahkan, dirinya tertarik mengikuti youth camp yang digelar Kemitraan karena pengetahuannya tentang perubahan iklim masih sangat minim. Padahal, wilayah sekitar tempat tinggalnya turut merasakan dampak dari fenomena tersebut.
”Setelah mengikuti acara ini, saya berharap bisa ikut mengedukasi teman-teman saya yang tinggal di pesisir,” katanya.
Lintas generasi
Direktur Program Tata Kelola Berkelanjutan Kemitraan Eka Melisa mengatakan, perubahan iklim merupakan masalah yang tidak hanya terjadi sekarang, tetapi juga bakal dialami pada masa mendatang. Oleh karena itu, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus melibatkan lintas generasi.
Itulah kenapa Kemitraan beberapa kali menggelar youth camp untuk meningkatkan pengetahuan anak-anak muda terkait perubahan iklim. Kemitraan juga selalu melibatkan anak muda dalam upaya penanggulangan dampak perubahan iklim.
Yang ditakutkan pemuda pesisir itu, nanti kalau kami menikah dan punya anak, kondisinya bagaimana?
Dalam pelibatan itu, kata Eka, Kemitraan menjadikan anak-anak muda sebagai subyek, bukan obyek. ”Kami di Kemitraan selalu menganggap anak muda sebagai mitra, sama dengan pemerintah dan pihak-pihak lain,” ucapnya.
Eka menuturkan, saat menjalankan program adaptasi perubahan iklim di Kota Pekalongan, Kemitraan juga melibatkan anak-anak muda setempat sebagai fasilitator kelurahan. ”Fasilitator kelurahan itu kebanyakan anak muda dan orang lokal supaya mereka juga bisa menyadartahukan teman-temannya (terkait perubahan iklim),” ujarnya.
Kemitraan bersama anak-anak muda Pekalongan juga membentuk Kolaborasi Bareng Pemuda (Kobar) Pekalongan. Komunitas beranggotakan anak-anak muda itu aktif melakukan beragam kegiatan terkait perubahan iklim, misalnya pemutaran film, diskusi, dan penanaman mangrove.
Berdasarkan informasi di akun Instagram Kobar Pekalongan, sampai Juli 2024, komunitas tersebut telah menanam 23.500 bibit mangrove di lahan seluas 14.714 meter persegi. Penanaman itu dilakukan di tiga kelurahan di Kota Pekalongan, yakni Bandengan, Degayu, dan Kandang Panjang.
Eka menuturkan, anak-anak muda di Kobar Pekalongan juga terlibat dalam pengembangan website Ketahanan Iklim Berbasis Masyarakat (Kibas) yang diinisiasi Kemitraan bersama Pemerintah Kota Pekalongan. Situs dengan alamat kibas-pekalongan.id itu berisi informasi mengenai upaya berbagai pihak di Kota Pekalongan untuk melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Dorong inovasi
Kepala Bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jateng Soegiharto mengatakan, untuk menghadapi perubahan iklim yang terjadi, ada dua upaya utama yang bisa dilakukan, yakni adaptasi dan mitigasi.
Adaptasi bertujuan meningkatkan ketahanan masyarakat agar dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Adapun mitigasi merupakan langkah pencegahan melalui penurunan emisi gas rumah kaca.
Untuk mendukung upaya tersebut, Soegiharto menuturkan, Pemerintah Provinsi Jateng telah menyusun berbagai kebijakan. Salah satunya adalah Peraturan Gubernur Jateng Nomor 43 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Jateng Tahun 2010-2020.
Pemprov Jateng juga telah menyusun Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim Jateng Tahun 2023-2030. Selain itu, Pemprov Jateng menjalankan sejumlah program untuk menghadapi dampak perubahan iklim, misalnya program Kampung Iklim, Desa Mandiri Energi, Desa Peduli Daerah Aliran Sungai Lestari, serta Gerakan Peduli dan Berbudaya Lingkungan Hidup di Sekolah.
Soegiharto menambahkan, pengendalian perubahan iklim di Jateng melibatkan berbagai pihak, termasuk generasi muda. ”Peran serta generasi muda dalam pengendalian perubahan iklim diharapkan dapat mendorong tumbuhnya pemikiran dan inovasi-inovasi baru untuk meningkatkan ketahanan masyarakat menghadapi dampak perubahan iklim,” katanya saat membacakan sambutan Sekretaris Daerah Jateng dalam pembukaan youth camp.
Dengan semangat, kreativitas, dan pengetahuan yang mereka miliki, anak-anak muda di pantura Jateng memang seharusnya tak tinggal diam melihat perubahan iklim. Mereka diharapkan turut serta menguatkan upaya mitigasi dan adaptasi agar dampak perubahan iklim bisa lebih dikendalikan.
Editor: NELI TRIANA