Beranda / Publication

Suku Anak Dalam dan Harapan Menuju Kemandirian Masyarakat Adat yang Inklusif

Dok. KEMITRAAN

Tujuan utama pembangunan di Indonesia semestinya tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi semata, namun penting juga menguatkan pada aspek pemberdayaan; membuka akses layanan, baik pada akses kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja; meningkatkan pelayanan publik; meningkatkan partisipasi; dan mendorong kesetaraan dan keadilan sosial. Masih banyak persoalan yang harus diselesaikan, seperti marjinalisasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas, hilangnya sumber pangan lokal, persoalan lingkungan, dan sebagainya. Bahkan tak jarang kelompok minoritas seperti masyarakat adat dianggap sebagai beban pembangunan.

“Binatang saja dilindungi di taman nasional, mengapa kami justru tidak,” ujar Tumenggung Minan, tetua adat Orang Rimba Rombong (Kelompok) Minan saat ditemui oleh oleh tim KEMITRAAN di Desa Rejosari, Kecamatan Pamenang, Provinsi Jambi. (23/05/22).

Orang Rimba merupakan kelompok adat Suku Anak Dalam (SAD) yang menghuni hutan di kawasan wilayah Provinsi Jambi dan Provinsi Riau. Menurut Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, SAD juga digunakan untuk menyebut suku penghuni hutan lain selain Orang Rimba yang ada di wilayah Jambi, yaitu Batin Sembilan dan Talang Mamak.

Tumenggung Minan, bapak empat orang anak ini, sehari-harinya hanya bergantung pada permintaan untuk mencari brondol sawit. Tidak ada pekerjaan tetap untuk menopang kebutuhan sehari-hari keluarganya. Terkadang ia dan anggota anggota rombong berbagi hasil buruan untuk makan sehari-hari. Namun ada saat di mana mereka tidak memiliki bahan makanan sama sekali.

“Kadang anak-anak menangis karena lapar minta makan,” ujar istri Tumenggung Minan menceritakan kondisinya.

Tumenggung Minan tinggal bersama 9 keluarga lainnya yang menempati wilayah perkebunan sawit dengan membangun bedeng beratap terpal. Ia dan kelompoknya harus terusir dari tanah leluhurnya karena pembangunan yang dilakukan oleh perusahaan swasta. Bahkan mereka nantinya harus berpindah ke wilayah lain apabila pemilik kebun sawit tempat mereka bermukim meminta mereka untuk pindah.

Lahan sawit yang mereka tinggali sebenarnya tidak jauh dari pemukiman penduduk setempat. Meski demikian, tidak ada akses fasilitas Mandi-Cuci-Kakus (MCK)  dan air bersih. Mereka harus mengambil air dari sumber air tadah hujan yang tergenang yang ada di sekitar pemukiman. Kebersihan kerap menjadi salah satu alasan mengapa mereka terus berpindah karena pemilik lahan keberatan dengan kondisi lahannya yang kotor.

Kondisi tersebut tidak terjadi di semua kelompok Orang Rimba. Orang Rimba Rombong Ngilo di Desa Rejosari, Kecamatan Pamenang cukup berbeda. Sebanyak 18 keluarga sudah mendapatkan tempat untuk bermukim yang disediakan oleh pemerintah melalui skema hibah lahan yang diperuntukan untuk lokasi pemukiman. Meski demikian akses listrik, dan mata pencaharian masih belum tersedia. Hingga kini mereka masih harus menggunakan lilin untuk pencahayaan dimalam hari.

Mayoritas para lelaki aktivitasnya berladang dan mengumpulkan brondol sawit untuk dijual, meski tidak selalu menghasilkan. Sementara kaum perempuan hanya tinggal di rumah menjaga anak-anak.

“Kami biasa urus rumah dan anak, masak, mencuci, dan duduk-duduk,” ujar salah seorang perempuan adat dari Rombong Ngilo yang ditemui saat tengah menimba air untuk mencuci.

Gambaran tersebut menunjukkan minimnya peran perempuan untuk bisa berpartisipasi dalam membantu ekonomi keluarga. Pembatasan peran dan minimnya partisipasi dalam kelompok ini, kerap membuat perempuan seringkali terdiskriminasi bahkan dalam lingkup kelompoknya sendiri. Mereka memiliki keterbatasan dalam ruang gerak, pengambilan keputusan, serta minimnya peran, baik dalam keluarga maupun komunal.

Kedua kondisi yang terjadi di Rombong Minan dan Rombong Ngilo menunjukkan bahwa salah satu persoalan dasar yang dihadapi oleh masyarakat adat Suku Anak Dalam adalah soal kemandirian ekonomi. Persoalan ekonomi menjadi harapan bagi masyarakat adat SAD untuk diselesaikan, agar mereka bisa berdaya dan mandiri tanpa harus selalu bergantung pada bantuan. Mereka kini sudah tidak bisa bergantung lagi pada hasil hutan, karena lingkup lahan yang menyempit dan sumber daya yang makin berkurang, membuat mereka harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada.

“Kami pernah memfasilitasi untuk pelatihan pengembangan kapasitas di Solo selama tiga bulan, hanya kendalanya adalah kesulitan bagi Orang Rimba ini untuk meninggalkan keluarganya dalam waktu yang cukup lama,” ujar Kurniawan, Kepala Desa Rejosari menceritakan bagaimana pemerintah desa turut berupaya membantu masyarakat Orang Rimba di wilayahnya.

Persoalan yang dialami oleh masyarakat adat SAD merupakan sebuah contoh gambaran kondisi masyarakat adat yang juga berpotensi dihadapi oleh masyarakat adat dan komunitas marjinal lainnya di Indonesia. Dari sisi ekonomi, investasi sumber daya manusia merupakan hal yang sangat penting bagi masa depan bangsa, terlebih investasi pada perempuan.

Seperti yang terjadi pada perempuan SAD, banyak perempuan masih terkendala untuk dapat mandiri secara ekonomi, baik karena kesempatan kerja yang belum setara maupun adanya beban kerja domestik. Padahal, perempuan pekerja bisa membantu pemulihan ekonomi keluarga. Perempuan merupakan kunci dalam mempromosikan kesejahteraan. Pada level domestik perempuan memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam membantu perekonomian keluarga sekaligus membentuk kualitas hidup anak-anaknya.

Berdasarkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs), dalam mendukung peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat perlu adanya pelibatan, partisipasi, dan akses yang sama untuk semua warga negara. Pembangunan inklusif adalah pembangunan yang melibatkan semua warga tanpa diskriminasi berdasarkan latar belakang apapun, termasuk bagi masyarakat adat dan kelompok marjinal. Negara seharusnya hadir untuk menjaga dan memastikan agar kelompok masyarakat adat dan marjinal lainnya mempunyai akses setara melalui tata kelola pemerintahan dan kebijakan yang inklusif.

KEMITRAAN melalui proyek ESTUNGKARA merupakan salah satu mitra untuk Program INKLUSI (Kemitraan Australia Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif) yang menekankan pada pemberdayaan, kesetaraan, kesamaan, dan akses. KEMITRAAN bekerjasama dengan 10 mitra lokal di sejumlah provinsi di Indonesia, yaitu Sumatra Barat, Jambi, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Banten, dan Nusa Tenggara Timur dalam melakukan pendampingan pada masyarakat adat dan komunitas marjinal lainnya.

ESTUNGKARA turut mendorong kebijakan dan perencanaan pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat dengan menitikberatkan perempuan, anak, disabilitas sebagai subyek utama dalam fokus program. Pembangunan yang inklusif adalah pembangunan yang memanusiakan manusia, sehingga mewujudkan tata kelola pemerintahan melalui kebijakan yang inklusif menjadi modal penting dalam menciptakan tatanan masyarakat yang inklusif.