Beranda / Publication

Menyatukan Gerakan Antikorupsi dan Perempuan dalam Mencegah Sextortion

Foto: dok. Transparency International Indonesia

Berdasarkan temuan dari Transparency International di Asia, perempuan merupakan kelompok yang paling rentan dalam mengakses layanan publik. Seperti, lebih cenderung membayar suap untuk mendapatkan dokumen resmi. Perempuan yang tinggal di daerah pedesaan paling rentan untuk membayar suap untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Bahkan perempuan lebih kecil kemungkinannya dibandingkan laki- laki untuk menyadari hak mereka untuk meminta informasi dari lembaga publik. 

Hal-hal inilah yang membuat sextortion rentan dialami oleh perempuan. Bahkan menurut Global Corruption Barometer tahun 2020, Indonesia menempati negara dengan kasus sextortion terbanyak di Asia. (18%), diikuti dengan Sri Lanka (17%) dan Thailand (15%), dua kali lipat di atas rerata Asia (8%). Namun, perlu ada kerangka hukum yang lebih kuat untuk mengatur mengenai sextortion baik dari perspektif tindak pidana korupsi maupun kekerasan berbasis gender di Indonesia.

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (22/2), berbagai perwakilan CSO hadir untuk menggali relasi gender, sextortion, dan tindak pidana korupsi. Judhi Kristantini, peneliti/konsultan USAID INTEGRITAS KEMITRAAN tentang sextortion, mengungkapkan bahwa ada dua hal yang membuat fenomena ini marak di Indonesia. “Pertama, adanya pemahaman korupsi yang masih terbatas pada uang semata. Padahal penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan itu sudah termasuk korupsi. Kedua pemahaman lingkup hubungan seksual yang belum sepenuhnya dipahami. Misal, tentang consent atau kesepakatan dalam berhubungan seksual,” jelas Judhi. 

Upaya memotret bahwa sextortion adalah bagian dari penyalahgunaan kekuasaan juga penting dilakukan. “Gerakan anti korupsi harus bersatu dengan gerakan perempuan. Dua kejahatan ini banyak manifestasinya. Secara hipotesa, ketika kita menekan korupsi atau perilaku koruptifnya, mudah-mudahan angka kekerasan seksual juga menurun,” lanjut Judhi. 

Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan, mengakui bahwa situasi sextortion umum dialami perempuan. Karena perempuan mengalami beban lebih berat tiga kali lipat, yaitu marjinalisasi, stigma dan subordinasi. “Situasi gender terhadap pelayanan publik masih timpang. Misal, informasi hanya diberikan kepada kepala keluarga yang laki-laki,” ujar Alimatul. Ia pun mengusulkan dalam hal sextortion, perlu dilakukan penyadartahuan dalam birokrasi pelayanan publik. 

Sementara itu Andreas Nathaniel Marbun, peneliti Indonesia Judicial Research Society, memandang pentingnya memisahkan sextortion dan sex gratification. “Perbedaan mendasar antara keduanya adalah consent. Pelaku sex gratification, terlepas dari didasari oleh ketimpangan finansial, (menggunakan) mata uang seks (untuk mendapatkan keuntungan). Korban pemerasan seksual dalam sextortion tidak boleh ditangkap. Tapi pelaku suap seks dalam sex gratification harus dipidana. 

Terkait definisi tersebut, Theodora, peneliti sextortion dari USAID INTEGRITAS yang hadir secara virtual menanggapi untuk berhati-hati dalam mendefinisikan sexual bribery. Seringkali terjadi penyuapan seksual terjadi antara dua pihak yang menyuap dan disuap. Tapi kemudian si penyuap menggunakan perempuan untuk dimanfaatkan sebagai bentuk suap seksual. “Relasi kuasanya harus dibuktikan dan dibuat menjadi jelas,” kata Theo. 

Andreas juga mengusulkan untuk menguatkan narasi bahwa sextortion punya kerangka hukum yang kuat dan pelakunya bisa dijerat pidana. “Sextortion bisa dijerat UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) pasal 6C atau 12,” tandasnya.

KEMITRAAN sendiri melalui Proyek USAID INTEGRITAS saat ini sudah melakukan diseminasi hasil riset Keterkaitan Hubungan/Eksploitasi Seksual, Konflik Kepentingan dan Korupsi pada pemangku kepentingan, CSO, akademisi di Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar, Kupang serta melakukan sosialisasi ke perguruan tinggi. Ke depannya KEMITRAAN akan memasukkan isu hubungan seksual dan sextortion ini ke dalam usulan panduan konflik kepentingan bagi Lembaga negara/pemerintahan yang tengah disusun bersama ICW, TII dan Basel Institute on Governance. 

2016

Pada bulan Maret 2016, KEMITRAAN menerima akreditasi internasional dari Adaptation Fund. Dewan Adaptation Fund, dalam pertemuannya yang ke-27, memutuskan untuk mengakreditasi KEMITRAAN sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Adaptation Fund. KEMITRAAN menjadi lembaga pertama dan satu-satunya lembaga Indonesia yang terakreditasi sebagai NIE Adaptation Fund di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

 

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

 

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

2000-2003

KEMITRAAN memainkan peran krusial dalam mendukung pengembangan undang-undang untuk membentuk KPK. Hal ini diikuti dengan langkah mendukung Pemerintah dan DPR dalam memilih calon komisioner yang kompeten dan juga mendukung kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara kritis proses seleksinya. Setelah komisioner ditunjuk, mereka meminta KEMITRAAN untuk membantu mendesain kelembagaan dan rekrutmen awal KPK, serta memainkan peran sebagai koordinator donor. Sangat jelas bahwa KEMITRAAN memainkan peran kunci dalam mendukung KPK untuk mengembangkan kapasitas dan strategi yang diperlukan agar dapat bekerja seefektif mungkin.

2003

Pada tahun 2003, KEMITRAAN menjadi badan hukum yang independen yang terdaftar sebagai Persekutuan Perdata Nirlaba. Pada saat itu, KEMITRAAN masih menjadi program yang dikelola oleh UNDP hingga akhir tahun 2009. Sejak awal tahun 2010, KEMITRAAN mengambil alih tanggung jawab dan akuntabilitas penuh atas program-program dan perkembangannya.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

This agreement was signed between Green Climate Fund (GCF) and PARTNERSHIP. This agreement formalizes KEMITRAAN’s accountability in implementing projects approved by the GCF.

For your information, the GCF is the world’s largest special fund that helps developing countries reduce greenhouse gas emissions and increase their ability to respond to climate change.

These funds were collected by the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) in 2010. The GCF has an important role in realizing the Paris Agreement, namely supporting the goal of keeping the average global temperature increase below 2 degrees Celsius.

2000-2003

KEMITRAAN played a crucial role in supporting the development of legislation to establish the KPK. This was followed by steps to support the Government and DPR in selecting competent commissioner candidates and also supporting civil society groups to critically monitor the selection process. After the commissioners were appointed, they asked KEMITRAAN to help with the institutional design and initial recruitment of the KPK, as well as play the role of donor coordinator. It is clear that KEMITRAAN plays a key role in supporting the Corruption Eradication Commission to develop the capacity and strategies needed to work as effectively as possible.

2016

In March 2016, KEMITRAAN received international accreditation from the Adaptation Fund. The Adaptation Fund Board, in its 27th meeting, decided to accredit KEMITRAAN as National Implementing Entity (NIE) from the Adaptation Fund. KEMITRAAN is the first and only Indonesian institution to be accredited as a NIE Adaptation Fund in Indonesia.

2003

In 2003, KEMITRAAN became an independent legal entity registered as a Non-Profit Civil Partnership. At that time, KEMITRAAN was still a program managed by UNDP until the end of 2009. Since the beginning of 2010, KEMITRAAN took over full responsibility and accountability for the programs and their development.

1999-2000

The Partnership for Governance Reform, or KEMITRAAN, was founded in 2000 following Indonesia’s first free and fair general election in 1999. This historic election is an important step in Indonesia’s efforts to move away from an authoritarian past towards a democratic future. PARTNERSHIP was established from a multi-donor trust fund and is managed by United Nations Development Programme (UNDP) with a mandate to advance governance reform in Indonesia