Beranda / Publication

Kemitraan Mendorong Pengawasan Ketat Pengelolaan Dana Covid-19

Foto: dok. Kompas.com

Dalam sejarah Indonesia hingga hari ini, hampir tidak ada dana stimulus ekonomi dan dana bantuan bencana di Indonesia yang seratus persen selamat dari korupsi. Misalnya, hingga saat ini masih ada pertanyaan yang belum terjawab tentang sisa dana tsunami Aceh sebesar Rp 5 triliun pada tahun 2005 karena mekanisme akuntabilitas yang tidak jelas. Dalam dana bantuan gempa Lombok, anggota DPRD Kota Mataram yang menghimpun dana bencana didakwa melakukan korupsi. Dan selama pandemi flu burung tahun 2007 yang lalu, Freddy Lumban Tobing dan Siti Fadila Supari, didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 12,33 miliar dalam pengadaan penanganan virus flu burung. Tentunya masih teringat jelas Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara menerima suap lebih sebanyak Rp 32,2 miliar dari korupsi bantuan sosial COVID-19 di tahun 2020. 

Penerapan PPKM Darurat untuk menangani situasi pandemi COVID-19 yang semakin genting membuat dana bansos akan kembali digelontorkan. Tanggal 6 Juli 2021 Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada jajaran Kementerian Sosial agar mengakselerasi program perlindungan sosial. Menindaklanjuti arahan Presiden, Menteri Sosial Tri Rismaharini akan mempercepat pencairan bantuan sosial untuk masyarakat terdampak pandemi COVID-19. Presiden turut memberikan mandat  bahwa dalam bulan Juli, semua bantuan sosial terkait COVID-19 akan segera disalurkan. 

“Pemberian dana bansos COVID-19 mementingkan kecepatan dan keterjangkauan yang luas. Ini membuat pengawasan akuntabilitas kurang diperhatikan. Akuntablitas justru sangat penting untuk memastikan uang negara dan daerah yang dialokasikan untuk penanganan COVID-19 benar-benar sampai ke masyarakat. Dalam kondisi luar biasa darurat seperti sekarang, dibutuhkan kerjasama terpadu yang luar biasa untuk kegiatan pengawasan akuntabilitas,” ungkap Laode M Syarif, Direktur Eksekutif KEMITRAAN. 

Pengalaman mengajarkan ”Di mana ada uang di situ ada pemburu rente.” Awalnya, pada Juni 2020 jumlah Dana COVID-19 yang dialokasikan pemerintah mencapai Rp 405 triliun dibagi dalam empat bidang, yakni: 

  1. Kesehatan Rp 75 triliun
  2. Jaring pengaman sosial Rp 110 triliun
  3. Insentif perpajakan dan kredit usaha rakyat (KUR) Rp 70 triliun
  4. pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun. 

Dalam Perkembangannya, menurut Auditor Utama Keuangan Negara III BPK Bambang Pamungkas BPK, Total Dana Covid-19 mencapai Rp 1.035,2 triliun. Jumlah tersebut berasal dari: APBN sebanyak Rp 937,42 triliun, APBD sebesar  Rp 86,36 triliun, sektor moneter sebesar Rp 6,50 triliun, BUMN dengan total anggaran sebesar Rp 4,02 triliun, BUMD sekitar Rp 320 miliar, dan yang berasal dari dana hibah dan masyarakat sebesar Rp 625 miliar, sehingga total anggarannya yakni Rp 1.035,2 triliun (Kontan, 29 Des 2020, https://nasional.kontan.co.id/news/bpk-total-anggaran-penanganan-covid-19-mencapai-rp-10352-triliun)

Mengingat keempat bidang sasaran pemanfaatan dana Covid-19 sangat luas dan mencakup seluruh Indonesia, maka membutuhkan kelengkapan data, transparansi dan pengawasan yang teliti dalam penggunaannya, agar tidak terjadi manipulasi, korupsi dan ketidaktepatan sasaran pembelanjaan.

“Dari keempat bidang ini, yang paling rawan dimanipulasi adalah jaring pengaman sosial, insentif perpajakan, KUR, dan program pemulihan ekonomi nasional karena data masing-masing kementerian dan pemda sangat berbeda. Jumlah orang miskin di Kementerian Sosial berbeda dengan data di kementerian lain dan data di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Ketidakjelasan data akan memudahkan pemburu rente mengondisikan penerima insentif pajak, KUR, dan program pemulihan ekonomi kepada orang dekat atau yang tak berhak atau malah dinikmati pengusaha besar. Namun demikian, yang perlu diawasi secara ketat adalah komponen insentif perpajakan dan kredit usaha rakyat (KUR), serta  pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional (PEN), karena pemanfaatannya akan sarat dengan conflict of interest (benturan kepentingan), karena kriteria penerima tidak jelas dan gampang untuk dimainkan”  beber Laode M. Syarif. 

Selain itu, penyebab lain yang mengakibatkan dana COVID-19 dapat diselewengkan adalah mudahnya pengadaan barang dan jasa (PBJ) di masa pandemi. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)  mengeluarkan Surat Edaran No 3 Tahun 2020 yang intinya memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk melakukan penunjukan langsung dan melakukan pekerjaan swakelola selama harganya wajar. Keleluasaan seperti ini dapat membuka peluang kolusi dengan penyedia barang/jasa, penggelembungan nilai (markup), dan kemungkinan suap (kickback), serta konflik kepentingan dalam PBJ. Oleh karena itu, jika tidak diawasi dengan ketat. Sistem seperti ini dapat menimbulkan moral hazard dan penyelewengan yang masif. 

Untuk mencegah penjarahan dana COVID-19 yang terstruktur, KEMITRAAN merekomendasikan pemerintah pusat dan daerah harus mempersiapkan anti-corruption safeguards dana COVID-19 dengan serius. Anti-corruption safeguards tersebut harus memuat hal-hal berikut: 

  1. Pemerintah harus menyiapkan petunjuk yang jelas tentang model penganggarannya agar sesuai dengan peruntukannya dan melarang tegas model penganggaran yang memiliki aroma konflik kepentingan.
  2. Dari segi pengadaan barang/jasa, meski diperbolehkan penunjukan langsung dan swakelola, para pejabat harus mengikuti Surat Edaran KPK Nomor 8/2020 yang melarang dengan tegas persekongkolan, penyuapan, gratifikasi, konflik kepentingan, kecurangan, malaadministrasi, dan tidak boleh membiarkan terjadinya tindak pidana korupsi.
  3. Dalam hal pemberian bantuan, harus mendahulukan masyarakat yang betul-betul miskin dan yang telah tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial karena telah dipadu-padankan dengan nomor induk kependudukan di KTP. Setelah itu, dapat disusul dengan ”masyarakat miskin baru” yang diakibatkan kehilangan pekerjaan akibat COVID-19.
  4. Pemerintah harus memiliki kebijakan jelas dan konsisten dari pusat sampai daerah terkait dana bantuan COVID-19. 
  5. KPK, Polri, dan Kejaksaan tidak boleh melakukan pembiaran. Jika terjadi pelanggaran hukum dan malaadministrasi, harus segera diselidiki agar menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi para pelaku kejahatan.