Jakarta, 25 Juli 2022 – Setelah tiga tahun tertunda, wacana pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang disempurnakan pemerintah semakin nyata. Komisi III DPR sudah menerima naskah RKUHP yang sudah disempurnakan. Meski tadinya dikabarkan akan disahkan bulan Juli, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan kelanjutan pembahasan RKHUP kemungkinannya akan dilakukan setelah masa reses DPR berakhir, yaitu tanggal 16 Agustus 2022.
Proses perumusan RKHUP sejak awal mengundang banyak kontroversi dalam hal transparansi dan partisipasi masyarakat. Saat pemerintah melakukan sosialisasi dan perbaikan atas draft RKUHP versi tahun 2019 (draft yang tidak jadi disahkan karena mendapat penolakan keras dari masyakat, khususnya mahasiswa), masyarakat tidak diberi akses terhadap rancangan hasil perbaikan tersebut. Baru pada tanggal 6 Juli 2022, setelah RKUHP tersebut diserahkan secara resmi oleh Pemerintah ke DPR, dokumen rancangan itu disebarluaskan. Pemerintah beralasan bahwa prosedurnya memang demikian.
Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (KEMITRAAN) mengatakan tindakan tersebut jelas merupakan bentuk ketidaktransparanan proses penyusunan peraturan perundang-undangan dan melanggar Pasal 88 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011. “Pasal ini menyatakan bahwa penyebarluasan RUU seharusnya sudah dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak tahap penyusunan RUU, yakni sebelum diserahkan kepada DPR untuk dibahas,” tambahnya.
Dalam hal partisipasi masyarakat, pembahasan dan pengesahan RKUHP tidak terlihat keseriusan pemerintah dan DPR untuk secara sungguh-sungguh (genuine) untuk melibatkan publik. Ini terlihat rencana awal pemerintah untuk memproses RKHUP secara kilat. Pada bulan April 2022, pemerintah menyatakan akan segera menyerahkan RKUHP ke DPR kemudian dibahas dan disahkan bulan Juni 2022. Lalu rencana tersebut diundur ke Juli 2022. Akhirnya diundur kembali ke waktu yang belum ditetapkan karena adanya penolakan (kembali) dari masyarakat.
“Rencana pemerintah membahas RKUHP secara kilat merupakan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 96 UU No. 13 tahun 2022 yang secara tegas mewajibkan pemerintah dan DPR untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunannya. Pelanggaran seperti ini seharusnya dihindari, karena Pemerintah seharusnya menjadi teladan dalam menegakkan aturan hukum yang berlaku di negeri ini. Ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan DPR semakin meningkat, karena banyak sekali undang-undang yang disetujui oleh Pemerintah dan DPR yang miskin partisipasi bahkan dapat dikategorikan sebagai ‘undang-undang yang disembunyikan’. Contoh nyata dari undang-undang yang miskin partisipasi dapat dilihat dalam proses penyusunan revisi UU KPK, revisi UU Minerba, revisi UU MK, dan proses pengundangan UU Cipta Kerja yang kemudian dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konsitusi,” ungkap Laode M. Syarif.
Dalam hal substansi, Pemerintah dan DPR mengatakan hanya akan mendengarkan masukan untuk 14 isu pokok yang dianggap ‘masih mengganjal.’ Seperti hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai basis pemidanaan; pidana mati; penyerangan (penghinaan) terhadap Presiden dan Wakil Presiden; pidana karena memiliki kekuatan gaib; pidana bagi dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin; pidana bagi pemilik unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih; contempt of court; advokat curang; penodaan agama; penganiayaan hewan; penggelandangan; pengguguran kehamilan atau aborsi; perzinahan; dan kohabitasi.
Pemerintah dan DPR seakan menutup mata untuk pasal-pasal bermasalah lainnya, seperti pasal tentang pemidanaan bagi mereka yang dianggap menghina kekuasaan umum atau lembaga negara (Pasal 351).
KEMITRAAN menganggap pasal ini justru mengancam masa depan demokrasi Indonesia, karena mirip dengan pasal-pasal Haatzaai Artikelen yang berhubungan dengan tindakan menyebarkan kebencian warisan Kolonial Hindia Belanda, dan biasa digunakan sebagai pasal karet. Sebelumnya, aturan ini telah sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam hal yang menyangkut delik penghinaan, Pemerintah tidak memberikan ketegasan penafsiran mengenai definisi penghinaan tersebut. Hal ini sangat berbahaya karena hanya pejabat pemerintah yang berhak menafsirkannya sehingga berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik kepada pemerintah dan lembaga negara. “Kita masih ingat bagaimana Adrianus Meliala, Hariz Azhar atau Robertus Robert diproses kepolisian, bahkan sebagian dijadikan tersangka, karena mengungkapkan dugaan korupsi oleh oknum Polri. Bahkan dalam kasus Robertus, hanya karena menyanyikan lagu yang dianggap menghina TNI,” ungkap Rifqi Sjarief Assegaf, Direktur Program Justice, Anti-Corruption, & Human Right (JAHR) di KEMITRAAN.
Oleh karena itu, KEMITRAAN berpendapat bahwa tidak perlu ada kategori khusus tentang “penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara” karena yang merasa dihina pribadinya dapat menggunakan pasal penghinaan dalam Pasal 437 RKUHP yang secara tegas mengatakan bahwa:
“Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan bulan) atau pidana denda paling banyak kategori II”. Penggunaan pasal ini juga menegaskan prinsip hukum “equality before the law” bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Intinya, menurut Laode M Syarif, “Perlindungan atas jabatan tidak dapat dipersonifikasikan sebagai perlindungan atas pribadi, karena jabatan adalah pemberian dari masyarakat dan bersifat publik.”
Pasal-pasal RKUHP yang juga perlu disoroti adalah yang menyangkut demonstrasi karena RKUHP menjadikan perbuatan melakukan demontrasi tanpa izin menjadi delik pidana (Pasal 256), padahal dalam aturan yang berlaku saat ini, perbuatan demikian hanya dapat memberikan kewenangan bagi Polri untuk membubarkan kegiatan tersebut (Pasal 15 UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat Di Muka Umum).
Konsep RKUHP untuk menggabungkan sebagian delik pidana khusus ke dalam RKUHP juga tidak luput dari masalah. Ancaman hukuman minimum delik korupsi tertentu, misalnya, diperingan dari 4 tahun menjadi 2 tahun (Pasal 607). Oleh karena itu, pasal-pasal tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus.
Berdasarkan uraian di atas, KEMITRAAN menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:
- Pemerintah dan DPR perlu menyediakan waktu dan sarana yang memadai untuk melakukan konsultasi publik terkait substansi RKUHP yang lebih genuine atau sepenuh hati, termasuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sesuai Pasal 96 ayat (8) UU No. 13 Tahun 2022. Dengan demikian masyarakat dapat mengetahui dengan jelas jika ada usulan atau masukan yang tidak diterima. Partisipasi publik yang genuine dalam penyusunan peraturan merupakan salah satu prinsip dasar dalam konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sehingga perlu dikedepankan. Kesungguhan dalam mendorong partisipasi ini merupakan kesempatan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat atas pemerintah dan DPR.
- Pembahasan RKUHP agar tidak dibatasi pada 14 isu yang sudah diidentifikasi pemerintah dan DPR, namun juga pasal-pasal lain yang masih mendapat catatan dan kritik dan masyarakat dan ahli, termasuk pasal-pasal yang berpotensi membatasi secara eksesif hak menyatakan pendapat dan berdemonstrasi.
- Pemerintah dan DPR sebaiknya memanfaatkan proses penyusunan RKUHP ini sebagai momentum untuk menunjukkan kesungguhannya dalam memajukan demokrasi dan negara hukum.
Salam Perjuangan,
Laode M. Syarif
Artikel ini telah dimuat di Kabar KEMITRAAN edisi Juli 2022.
Berlangganan newsletter KEMITRAAN melalui tautan ini.