Justin Snyder 

15 Januari 2024 

*Catatan*: Data ini akurat pada saat penulisan, namun mungkin telah ada perubahan. Harap mengecek data dari sumber yang dikutip sepanjang artikel ini untuk angka-angka yang paling mutakhir.

Poin-poin terpenting: 

  1. Para pemilih di pemilihan umum satu hari terbesar di dunia dibiarkan dalam kegelapan (tidak mendapatkan informasi) tentang siapa yang mendanai para calon presiden. 
  2. Agregasi data KPU menjadi kategori  “penerimaan” dan “pengeluaran” menjadikan data pendanaan kampanye yang ada saat ini tidak bermakna untuk kepentingan pertanggungjawaban. 
  3. Kampanye para calon presiden melaporkan antara 1% hingga 30% jumlah dana yang didapatkan dibandingkan pada titik yang setara pada periode kampanye 2019. 
  4. Para calon presiden juga lalai melaporkan jumlah 1,6 miliar rupiah yang dibelanjakan untuk kampanye media sosial hingga saat ini.


Pada tanggal 14 Februari, 204,8 pemilih terdaftar akan menuju ke TPS-TPS dalam pemilihan umum satu hari terakbar di dunia untuk memberikan suara mereka untuk memilih presiden, dan lebih dari seperempat juta kandidat tercatat yang berkompetisi untuk 20.000 kursi parlemen di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. 

Namun, tinggal 30 hari dari hari pemilihan umum, miskinnya data yang dapat diakses mengenai pendanaan kampanye menjadikan para pemilih sama sekali tidak dapat memberikan penilaian tentang dari mana para kandidat mendapatkan dukungan finansial, dan bagaimana sumber-sumber dukungan ini dapat mempengaruhi hasil pemilihan dan keputusan kebijakan di masa depan. 

Di seluruh dunia, transparansi dana kampanye setidaknya menawarkan potensi kepada para pemilih untuk mengidentifikasi orang-orang dan perusahaan-perusahaan raksasa yang menjadi bohir kampanye untuk meraih jabatan. Jika dijalankan dengan baik, akses transparan dan terbuka ke informasi finansial ini membantu mendorong tercapainya dua sasaran penting: 1) Pada periode kampanye, memastikan bahwa (bersama-sama dengan batasan donasi kampanye) tidak ada satu individu atau perusahaan yang memberikan pengaruh berlebihan terhadap kampanye; dan 2) Dalam periode setelah pemungutan suara, memastikan bahwa para pendana besar tidak mendapatkan perlakuan istimewa dalam perizinan berusaha, kompetisi adil untuk pengadaan publik, atau dalam perancangan dan implementasi kebijakan publik. Dan dalam kedua hal ini, Indonesia telah mengalami langkah-langkah mundur yang signifikan sejak pemilihan presiden tahun 2014. 

Kemunduran ini sebagiannya disebabkan oleh persepsi yang keliru bahwa pengungkapan penuh atas transaksi keuangan akan menjadi pelanggaran terhadap hak privasi – padahal kerangka hukum di banyak negara mengakui bahwa partisipasi dalam politik pemilu, termasuk donasi politik, pada dasarnya dikecualikan dari ekspektasi yang masuk akal tentang privasi, demi memenuhi dua tujuan yang disebutkan di atas – mendorong persaingan elektoral yang adil dan mencegah konflik kepentingan di lingkungan pasca pemilu. 

Pada tahun 2014, saya menulis artikel untuk blog ANU “New Mandala” di mana saya menawarkan beberapa wawasan mengenai pengungkapan dana kampanye pemilihan presiden. Dalam artikel tersebut, saya menekankan bahwa laporan dana kampanye “harus dilihat secara amat skeptis, karena kemungkinan besar laporan tersebut tidaklah lengkap dan jauh dari secara lengkap melaporkan setiap sen yang diterima oleh masing-masing tim kampanye. Meskipun pelaporan tersebut diwajibkan oleh hukum, amatlah sedikit atau bahkan tidak ada gugatan yang diajukan terkait masalah penggalangan dana, sehingga kepatuhan terhadap peraturan tersebut pada dasarnya bersifat sukarela.” Dalam hal ini, setidaknya pada titik ini dalam siklus kampanye, Indonesia nyaris tidak mengalami perubahan, atau mungkin malah lebih tepatnya, mengalami kemunduran yang signifikan. 

Seperti yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif KEMITRAAN Laode Syarif dalam opininya di The Jakarta Post pada tanggal 26 Desember 2022, kegagalan dalam menerapkan kerangka keuangan politik Indonesia yang efektif menciptakan kemungkinan aliran dana gelap yang tidak terbatas dari donor ke partai hingga ke kandidat. Masalah ini kembali mendapatkan perhatian pada minggu lalu, ketika Tempo dan The Jakarta Post melaporkan pengumuman PPATK bahwa dana asing sebesar Rp 195 miliar (~ USD 12 juta) telah disalurkan ke partai-partai, yang merupakan pelanggaran UU Pemilu. 

Dalam sebuah acara pada tanggal 14 Desember, KEMITRAAN menyoroti laporan baru yang diterbitkan Transparency International – Indonesia yang menemukan bahwa partai-partai masih mengalami kesulitan dalam hal pengelolaan keuangan secara profesional, penelitian Indonesia Corruption Watch yang menyoroti ketidakpatuhan partai-partai terhadap keterbukaan informasi publik, dan komentar dari pakar hukum pidana Universitas Indonesia Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H. bahwa tanggung jawab pidana korporasi dapat dan harus diterapkan pada partai politik (namun harus dilaksanakan secara hati-hati untuk menghindari politisasi hukum). 

Pada tahun 2014, data rinci diberikan sepanjang kampanye mengenai identitas partai, perusahaan, organisasi, dan individu yang memberikan sumbangan kampanye. Satu dekade kemudian, meskipun KPU menyediakan data secara “real-time” kepada publik melalui basis data dana kampanye SIKADEKA, data tersebut diagregasikan menjadi “penerimaan” dan “pengeluaran” yang sama sekali tidak relevan dengan dua tujuan utama yang disebutkan di atas – melindungi dari pengaruh yang tidak semestinya, dan mencegah konflik kepentingan dalam lingkungan pembuatan kebijakan pasca pemilu. 

ANALISIS 

Hingga tanggal 15 Januari1, data yang tersedia melalui portal KPU tentang pendanaan kampanye sungguh-sungguh tidak memadai2. Bahkan mengabaikan fakta bahwa data ribuan calon legislatif yang berlangsung di tingkat nasional, provinsi, atau kabupaten/kota baru dapat diakses publik pada hari Senin, 15 Januari dan penuh dengan kesalahan validitas data (pelaporan transaksi sejak tahun 1923, serta transaksi dengan tanggal di masa depan), fokus yang lebih sempit pada pemilihan presiden, data yang diterbitkan KPU meminta masyarakat untuk sejenak berhenti menggunakan pikirannya. 

Seperti yang terjadi pada tahun 2014, analisis terhadap total donasi yang dilaporkan (dengan kata kunci “dilaporkan”), menghasilkan dua kesimpulan yang bisa ditarik. Apakah laporan-laporan tersebut dapat diterima begitu saja dimana Ganjar Pranowo telah mengumpulkan dana hampir 3 kali lipat lebih banyak dibandingkan pesaingnya Prabowo Subianto (Rp 33 M), atau 46 kali lipat lebih dari yang dilaporkan oleh Anies Baswedan (Rp 2.6 M), atau mungkin jumlah donasi yang dilaporkan oleh Anies dan Prabowo sangatlah jauh dibandingkan kenyataan sumber daya yang mereka miliki. Selain itu, Anies adalah satu-satunya kandidat yang melaporkan telah mengeluarkan uang secara signifikan saat ini, sebesar Rp 148 juta (~ USD 9.500) untuk seluruh kampanyenya di tingkat nasional. Ganjar hanya melaporkan mengeluarkan Rp 625,000 (~USD 40) untuk administrasi bank, dan Prabowo tidak melaporkan telah mengeluarkan uang sama sekali, walaupun Laporan Awal Dana Kampanye-nya menunjukkan pengeluaran sebesar Rp. 28.8 M dalam bentuk “jasa” yang dia terima dari partai politik. 

Alat di bawah ini memungkinkan eksplorasi interaktif terhadap data dana kampanye presiden tahun 2024 yang dilaporkan per 15 Januari. Berdasarkan data dari portal KPU, alat tersebut menunjukkan total jumlah dana yang dikumpulkan dan dibelanjakan oleh masing-masing tim kampanye sejak periode kampanye pemilu dimulai pada akhir November. Jumlah total yang disebutkan di sini diagregasikan berdasarkan sumbangan uang, serta nilai barang dan jasa dalam bentuk natura yang dilaporkan.

 KREDIT GRAFIK: JUSTIN SNYDER/KEMITRAAN

Grafik di atas ini menggambarkan pemasukan donasi yang dilaporkan para kandidat (biru) dibandingkan tolok ukur di tahun 2019. Versi interaktif yang lengkap tersedia di sini

Alat di atas menggabungkan jumlah yang dilaporkan dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK)  masing-masing calon dengan angka yang dilaporkan di dashboard KPU. Karena adanya tumpang tindih periode cakupan antara kedua sumber data ini, penghitungan ganda mungkin terjadi.  

Jika data ini dibandingkan dengan data dana kampanye presiden periode sebelumnya, besarnya jumlah yang tidak dilaporkan menjadi semakin jelas. Pada tahun 2014, kubu Jokowi-JK melaporkan total perolehan Rp 312 miliar, sedangkan Prabowo-Hatta melaporkan hanya Rp 156 miliar. Rata-rata kedua angka tersebut dibagi 99 hari masa pembukuan dana kampanye tahun 2024, menghasilkan angka penggalangan dana sebesar Rp 2,4 miliar per hari. Dengan menggunakan pendekatan serupa, para kandidat melaporkan pengeluaran rata-rata sebesar Rp 2,3 miliar per hari. Pada tahun 2019, rata-rata total penerimaan sebesar Rp 410 miliar, rata-rata total pengeluaran sebesar Rp 380 miliar, yang jika dibagi 99 hari pada masa kampanye tahun 2024 menghasilkan rata-rata donasi harian sebesar Rp 4,1 miliar, dan rata-rata pengeluaran harian sebesar Rp 3,8 miliar.  

Model tambahan diciptakan untuk mencerminkan jumlah terkecil yang dilaporkan dari kandidat mana pun setiap tahunnya. Terakhir, mengingat pemilu tahun 2014 dan 2019 merupakan kompetisi dua kandidat, dan tahun 2024 adalah kompetisi tiga kandidat, tolok ukur tambahan dibuat dengan menjumlahkan total uang yang dikumpulkan, dibelanjakan, dan membaginya dengan tiga. 

Anies, Prabowo, dan Ganjar semuanya gagal mencapai target dana yang dikumpulkan dan dibelanjakan pada tahun 2014. Namun tolok ukurnya paling konservatif, model 3 calon, menunjukkan bahwa pada titik saat ini dalam periode kampanye, para kandidat seharusnya sudah mengumpulkan dana sekitar Rp 98 miliar, di mana Anies masih kurang Rp 96 miliar (97,4%), Prabowo Rp 65 miliar (66,0%), dan Ganjar relatif lebih baik dengan kekurangan sebesar Rp 7 miliar (6,7%). 

Kekurangan ini bahkan lebih drastis jika dibandingkan dengan patokan tahun 2019. Pada tahap kampanye ini, menggunakan patokan berdasarkan 3 calon, mereka seharusnya telah menggalang dana sebesar Rp 168,4 miliar. Total donasi yang dilaporkan Anies dan Prabowo masing-masing mewakili 1,5 persen dan 20 persen dari patokan tahun 2019 pada tanggal 15 Januari, sedangkan donasi yang dilaporkan Ganjar mewakili 45.5 persen dari patokan tahun 2019. 

Lebih lanjut lagi, satu pemutakhiran pada portal infopemilu.kpu.go.id pada tanggal 17 Januari menghapus seluruh data pengeluaran semua kandidat. Angka pengeluaran yang digunakan untuk artikel ini diakses pada tanggal 15 Januari, dan akan tetap digunakan sampai tersedianya angka baru. 

PENGARUH MEDIA SOSIAL 

Media telah secara gencar memberitakan penggunaan media sosial dalam kampanye presiden, dan sering kali menyasar penggunaan TikTok oleh para calon presiden untuk menarik minat generasi muda, termasuk artikel berikut ini di Tempo. 

Meskipun isu campur tangan Rusia dalam pemilu Amerika Serikat tahun 2016 telah mendorong tingkat transparansi yang tinggi terkait iklan-iklan politik di banyak platform media sosial di banyak negara tempat mereka beroperasi, Indonesia merupakan pengecualian. Meskipun Google, X dan TikTok memiliki perpustakaan iklan yang memungkinkan identifikasi iklan politik yang disiarkan dan sponsor keuangannya, tidak satupun dari mereka menawarkan data tentang iklan-iklan politik di Indonesia. Meta, perusahaan induk Facebook dan Instagram, merupakan pengecualian, dan laporan transparansi iklannya memberikan setidaknya satu fakta tandingan yang dapat digunakan untuk menilai pengungkapan dana kampanye. 

Pada periode 12 Oktober 2023 hingga 9 Januari 2024, data iklan Meta menunjukkan total belanja Rp 1,7 miliar untuk iklan-iklan terkait “masalah sosial, pemilu, atau politik” di Indonesia. Secara tidak mengherankan – karena konsentrasi penduduk dan konektivitas internet yang tinggi – sebagian besar pengeluaran terkonsentrasi di Jawa Barat, seperti yang ditunjukkan pada peta di bawah ini: 

KREDIT GRAFIK: JUSTIN SNYDER/KEMITRAAN

Grafik di atas menunjukkan pembelanjaan di seluruh platform Meta (Facebook dan Instagram) untuk iklan yang terkait dengan “masalah sosial, pemilu, atau politik” di Indonesia. Versi interaktif lengkap tersedia di sini

Dalam periode ini, data iklan Meta menunjukkan pengeluaran untuk akun resmi Anies sebesar Rp 4 juta, yang mungkin merupakan bagian dari pengeluaran yang dilaporkan kampanyenya hingga saat ini sebesar Rp 145 juta. Namun, data juga menunjukkan pembelanjaan iklan di Meta untuk kampanye Prabowo sebesar Rp 1,2 miliar dan belanja iklan sebesar Rp 402 juta untuk kampanye Ganjar, dengan total sebesar Rp 1,6 miliar – yang sama sekali tidak dilaporkan dalam formulir dana kampanye. 

KREDIT GRAFIK: JUSTIN SNYDER/KEMITRAAN

Grafik di atas menunjukkan pembelanjaan terkait kandidat di seluruh platform Meta (Facebook dan Instagram) untuk iklan yang terkait dengan “masalah sosial, pemilu, atau politik” di Indonesia. Versi interaktif lengkap tersedia di sini

Halaman “tidak resmi” yang tercantum dalam grafik diidentifikasi demikian, karena Nama Halamannya berisi referensi yang jelas terhadap nama kandidat atau slogan kampanyenya. Halaman lain mungkin sebenarnya mendukung ketiga kandidat politik tersebut, namun diperlukan analisis yang lebih mendalam. 

KESIMPULAN 

Seperti yang telah saya kemukakan pada tahun 2014, sifat pengungkapan dana kampanye yang cenderung sukarela, ditambah dengan keputusan KPU yang patut disayangkan untuk mengagregasi data menjadi “pendapatan” dan “pengeluaran”, membatasi penggunaannya sebagai alat forensik untuk mengkaji secara serius mengenai cara kerja operasi dana kampanye. Namun, apa yang dapat kita peroleh dari laporan-laporan ini adalah gambaran yang sangat berbeda mengenai kebutuhan para kandidat akan transparansi. 

Thomas Jefferson pernah berkata, “Pemerintahan yang Anda pilih adalah pemerintahan yang layak Anda dapatkan.” Jika Indonesia ingin mencapai kemajuan yang signifikan dalam pemberantasan korupsi dalam lima tahun ke depan, maka hal tersebut memerlukan kepemimpinan di tingkat tertinggi pemerintahan yang tidak sekadar berbicara mengenai cita-cita transparansi dan akuntabilitas namun benar-benar menjalankannya. Mereka harus menunjukkan melalui aksi nyata bahwa mereka mampu mengelola sumber daya secara transparan dan akuntabel. 

Kami menyerukan kepada ketiga tim kampanye presiden, serta seluruh partai dan kandidat yang bersaing pada Pemilu 2024, untuk meningkatkan upayanya dalam menyampaikan laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu. Selain itu, kami menyerukan kepada KPU untuk menyediakan data tingkat transaksi yang sepenuhnya transparan, sehingga pemilih dapat menentukan pilihannya pada tanggal 14 Februari berdasarkan informasi memadai. Selain itu, kami menyerukan kepada KPU dan Bawaslu untuk melipatgandakan upaya mereka dalam menegakkan peraturan dana kampanye yang ada, dan mengambil tindakan nyata untuk menghukum pelanggaran yang jelas terjadi. Terakhir, kami menyerukan kepada badan-badan pengawas di Indonesia dan platform-platform media sosial terkemuka untuk menerapkan transparansi yang lebih besar dalam iklan politik.