Selama ini mereka tidak pernah dianggap. Selama ini mereka tidak pernah diperhitungkan. Kehidupan mereka itu berjalan dengan sendirinya walau tidak disangkal kalau keluarga dan kerabat adalah penopang kehidupan mereka. Keberadaan mereka hanya Tuhan yang tahu tentang bagaimana mereka bertahan hidup.

Kehadiran disabilitas di tengah masyarakat terkadang menjadi tontonan menarik atau bahkan menjadi bahan candaan. Dalam keluarga mereka seakan menjadi beban hidup yang memberatkan. Dan bagi negara, keberadaan mereka terkadang menjadi komoditas politik bagi para politisi. Bagi kaum agamawan, kaum disabilitas adalah orang yang selalu didoakan untuk mendapat hidup yang layak di dunia maupun akhirat.

 Keberadaan mereka di tengah masyarakat seakan dianggap sebatas mahkluk ciptaan Tuhan yang membutuhkan belas kasihan. Ada yang merasa iba dan merogoh kantong sebagai bentuk simpati, ada pula yang hanya berucap kasihan atau justru ada yang tidak peduli sama sekali.

Manusia terkadang lupa bahwa kita diciptakan dengan beragam perbedaan serta memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Terkadang kita lalai bahwa kita memiliki hak yang sama, baik sebagai manusia ciptaan Tuhan maupun sebagai warga  negara. 

Program ESTUNGKARA membuka mata dan pikiran saya bahwa selama ini saya masih memiliki ego dan tidak peduli terhadap keberadaan mereka. Selama ini himbauan untuk melibatkan disabilitas dalam setiap proses pembangunan hanya  karena tuntutan negara atau perintah Undang-Undang, dan beranggapan tidak ada kepentingan untuk mengundang mereka hadir dalam setiap kegiatan dan proses pengambilan keputusan. 

Pengalaman yang menjadi pelajaran ini, bermula ketika pelaksanaan kegiatan penyusunan RPJMDEs di Desa Kalamba, Kecamatan Haharu pada tanggal 22 Agustus 2022. Kejadian ini berawal dari  kehadiran dua peserta disabilitas dalam kegiatan ini. Kehadiran mereka seakan menjadi pemandangan yang unik di mata sebagian besar peserta. Mereka bernama Maramba Njara (seorang disabilitas fisik) dan Hinggu Ndapa Namung (gangguan mental).

Maramba Njara mengalami lumpuh total sejak usia 14 tahun. Ia jatuh dari pohon pinang ketika orangtuanya menyuruhnya memanjat untuk memetik buah pinang untuk dijual. Sejak itulah Maramba Njara cacat permanen dan tidak pernah menikah. Kedua orangtua dan saudaranya sudah meninggal. Kini dia hidup sebatang kara. Ia hidup dengan membuka usaha kios dengan modal Rp 2.000.000 untuk dapat mencukupi kebutuhannya.

Sementara Hinggu Ndapa Naming, pria 72 tahun ini mengalami gangguan mental ketika istrnya meninggal. Ia memiliki seorang anak laki-laki yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Konon putra semata wayangnya ini merantau ke Bali pada sepuluh tahun silam dan kini tidak ada kabar beritanya.

Kehadiran keduanya pada kegiatan penyusunan RPJMDESA pagi itu di Kantor Desa Kalamba mencuri perhatian peserta. Hampir semua mata melirik pada keduanya, ada yang menyapa, ada juga yang sinis, bahkan lebih banyak yang tidak peduli dengan keduanya.“Kamu hadir juga yah, fasilitator baru kah?,” ujar seorang  peserta yang hadir dengan nada bercanda kepada Hinggu Ndapa Namung.  

“Pak Pendamping yang suruh ikut pertemuan,” jawab Hinggu sambil menundukan kepala. Pak pendamping yang dimaksud adalah Fasilitator Program ESTUNGKARA di wilayah Desa Kalamba.

 Melihat pemandangan ini, saya sedih dan merasa tertampar. Betapa manusia belum bisa sepenuhnya menerima keberadaan dan kehadiran  mereka. Masih banyak orang yang beranggapan bahwa mereka tidak diperlukan dalam proses pengambilan keputusan. Kaum disabilitas dianggap tidak dapat berkontribusi dalam pertemuan seperti.

Kejadian serupa juga kembali terjadi saat sesi tanya jawab. Saat itu saya mengarahkan pertanyaan kepada Maramba Njara. Tujuan saya mengajukan pertanyaan sebenarnya hanyalah sebagai strategi komunikasi agar peserta dengan disabilitas turut berpartisipasi aktif dalam forum.

Belum juga beliau menjawab, sontak hadirin menertawakan. Akibatnya yang ditanya hanya tersenyum dan pada akhirnya tidak mau menjawab.

Kejadian ini membuat saya termotivasi agar memberi contoh yang baik pada masyarakat untuk belajar menghargai keberadaan mereka. Saya harus memberi penyadaran kepada masyarakat bahwa  kita dan mereka memiliki hak yang sama dalam setiap proses bermasyarakat. 

“Mari kita belajar menerima mereka, menghargai mereka  dalam keterbatasan karena mereka adalah insan-insan yang hampir terlupakan,” ujar saya menyampaikan kepada para peserta untuk bisa membuka perspektif inklusif terhadap keberadaan kaum disabilitas di tengah masyarakat.

Sontak beberapa peserta tertunduk dan sebagian lagi mengangguk-anggukan kepala. Dalam kesempatan ini walau hanya kurang lebih 5 menit, saya berkesempatan bercerita tentang isu GEDSI (Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial) yang merupakan isu utama dalam Program ESTUNGKARA. Hal ini bertujuan untuk membuka perspektif lebih banyak masyarakat untuk menerima keberadaan kelompok marjinal di tengah masyarakat. 

Setelah kegiatan selesai saya mengajak beberapa tokoh adat dan Hinggu untuk berfoto bersama. Meski awalnya ia menolak karena merasa tidak nyaman, namun akhirnya ia bersedia. Dan bagi Hinggu, ini merupakan kali pertama ia dilibatkan dalam pertemuan seperti ini. Ia mengatakan bahwa senang bisa dilibatkan dan merasa bahwa keberadaannya diakui dalam kegiatan pertemuan di desa tempat ia tinggal.

Meski demikian, masih banyak pekerjaan rumah dan membutuhkan proses serta waktu yang tidak sedikit untuk dapat meyakinkan masyarakat umum bahwa disabilitas adalah bagian dari pembangunan yang tidak boleh diabaikan. Masyarakat perlu didorong kesadarannya agar penerimaan sosial terhadap mereka semakin baik. Kehadiran mereka dalam pertemuan ini menjadi sebuah langkah awal bahwa mereka turut diakui sebagai warga negara. 

Ditulis oleh Stepanus Landu Paranggi Direktur Eksekutif Lembaga Bumi Lestari Mitra Program ESTUNGKARA