Jakarta, 27 November 2019 – Hingga kini Indonesia belum dapat ‘naik kelas’ dari pembangunan ekonomi berbasis ekstraksi sumber daya alam dan belum dapat menghapus kesenjangan kesejahteraan. Karena itu penting untuk perekonomian Indonesia segera bertransformasi ke pembangunan ekonomi hijau, yaitu konsep pembangunan yang mampu menyeimbangkan aspek sosial, pelestarian ekologi, dan peningkatan kesejahteraan manusia.
Inilah salah satu hasil studi Kemitraaan (Partnership for Governance Reform) bekerjasama dengan organisasi masyarakat sipil Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Transformasi untuk Keadilan Indonesia, Kaoem Telapak, Madani Berkelanjutan dan Auriga Nusantara, serta Universitas Negeri Kalimantan Timur dan Universitas Negeri Jambi, dengan judul Meneropong Pembangunan Hijau di Indonesia: Kesenjangan dalam Perencanaan Nasional & Daerah. Studi yang secara khusus menyoroti kebijakan pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur dan Jambi ini menawarkan alternatif kebijakan dan instrumen pembangunan yang berfokus pada sektor lahan, khususnya sektor kehutanan, pertanian, perkebunan dan energi dari empat aspek utama: ekonomi, ekologi, sosial dan kelembagaan di masing masing sektor.
Hadir dalam peluncuran studi yang berlangsung di Jakarta, Rabu 27 November 2019 antara lain Kepala Sub Direktorat Kualitas Lingkungan dan Perubahan Iklim Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dr. Sudhiani Pratiwi, Kepala Sub Direktorat Penataan Daerah Wilayah I Kementerian Dalam Negeri Dr. Saydiman Marto, Direktur Eksekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru dan para perwakilan kementerian lembaga dan organisasi masyarakat sipil pemerhati sekor lingkungan.
Prioritas kabinet Presiden Joko Widodo di periode kedua, menurut Direktur Eksekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru, adalah mengubah ekonomi berbasis sumber daya alam menjadi ekonomi berbasis industri. Namun tak bisa dipungkiri, survei sosial ekonomi nasional 2016 menunjukkan lapangan pekerjaan berbasis lahan dan sumber daya alam mencapai 40% dan lapangan pekerjaan dari ekonomi berbasis industri hanya mencapai 8%. “Ada ketimpangan tajam bahwa hanya 15% rakyat ternyata menguasai 58% tanah, hutan dan lahan di seluruh Indonesia. Ini ketimpangan penguasaan sumber daya alam yang tidak transparan. Maka harus ada transformasi menuju strategi pembangunan hijau,” lanjutnya.
Kepala Sub Direktorat Kualitas Lingkungan dan Perubahan Iklim Bappenas Dr. Sudhiani Pratiwi mengapresiasi studi tentang pembangunan hijau ini. Apalagi sektor lingkungan hidup telah menjadi salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Bappenas pun telah menjadikan lingkungan hidup sebagai prioritas pembangunan, termasuk isu ketahanan iklim, isu mitigasi bencana dan pembangunan rendah karbon. Menurut Dr. Sudhiani, komunikasi yang terjadi antar kementerian dan lembaga juga terjadi secara intensif hampir setiap bulan. “Kami bersyukur untuk Kalimantan Timur dan Jambi ada beberapa mitra pembangunan seperti GIZ, ICRAF dan mitra-mitra lain termasuk masyarakat sipil yang membantu penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD),” tambahnya.
Kepala Sub Direktorat Penataan Daerah Wilayah I Kementerian Dalam Negeri Dr. Saydiman Marto mengatakan, faktanya adalah perekonomian Indonesia masih bertumpu pada sumber daya alam. Ini menyebabkan deforestasi pada kurun waktu 2000-2014 begitu tinggi hingga mencapai luas separuh Pulau Jawa. “Itulah mengapa perencanaan pembangunan hijau di Indonesia menjadi penting. Kita harus mencari sumber daya lain karena selama sumber daya ekonomi dicari dari dalam hutan maka akan terus menjadi konflik. Silahkan saja rekan-rekan masyarakat sipil memberi masukan karena regulasi selalu bisa direvisi,” ujarnya.
Studi Analisa Pembangunan Hijau mengidentifikasi upaya atau perencanaan pembangunan hijau di tingkat provinsi, dan memberikan masukan kepada pemerintah pusat dan daerah. Dua provinsi yang menjadi obyek studi penelitian adalah Jambi dan Kalimantan Timur, yang mewakili gambaran permasalahan serta komitmen pemerintah daerah terhadap konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Studi analisa ini salah satunya dilatar belakangi dari hasil penelitian Kemitraan bertajuk Satu Indonesia (2018) yang menunjukan selama era Orde Baru dan Reformasi, narasi yang digunakan dalam proses pembangunan cenderung menggunakan pendekatan berbasis pengarusutamaan ekonomi. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di level makro ternyata tidak serta merta menciptakan pemerataan kesejahteraan di tingkat mikro.
Hasil temuan yang diperoleh tim Kemitraan berfokus pada proses formulasi RPJMD, proses pembuatan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) serta Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berfokus pada aspek sosial, ekonomi, ekologi dan institusi. Hasil temuan dan data-data yang dikumpulkan dibahas dengan para pihak terkait dalam diskusi terbatas di provinsi penelitian melalui kerjasama dengan Bappeda masing-masing provinsi, dengan tujuan mendapatkan umpan balik serta memvalidasi hasil temuan dengan para pemangku kepentingan kunci. Kemitraan juga bekerjasama dengan koalisi masyarakat sipil yang aktif terlibat dalam penulisan dan memberikan masukan hingga mencapai tahap final.