Jakarta, 30 April 2019 – Hari ini Kemitraan untuk Tata Kelola Pemerintahan (Partnership for Government Reform)menyelenggarakan Bincang Panel mengenai Peluang dan Tantangan Kebijakan Pasar Karbon Domestik di Hotel Atlet Century Park, Jakarta. Dalam diskusi tersebut di paparkan temuan Tim Kemitraan terkait peran Instrumen Berbasis Pasar (IBP) dalam implementasi rancangan penurunan emisi Indonesia, khususnya peluang dan tantangan terkait pemberian harga terhadap karbon dan pasar karbon domestik sebagai bagian dari upaya yang mendorong kerjasama pemerintah dan aktor non-pemerintah untuk penurunan gas rumah kaca. Penanggap pada acara ini adalah Direktur Mobilisasi Perubahan Iklim KLHK Wahyu Marjaka, CEO PT. Landscape Indonesia Agus Sari, dan Direktur Eksekutif KKI Warsi Rudi Syaf.
Kajian bertajuk: “Memberi Harga pada Karbon: Catatan Ringkas tentang Potensi Pasar Karbon Domestik” memberikan gambaran umum dan singkat tentang potensi pasar karbon domestik sebagai sebagai salah satu mekanisme yang berpotensi melengkapi pendanaan publik dan melibatkan pelaku masyarakat dan swasta untuk berperan aktif dalam mitigasi perubahan iklim.
Sebagai pendekatan berbasis pasar, prinsip ekonomi merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dalam pengembangan IBP, atau khususnya dalam hal ini adalah bagaimana memberikan harga pada karbon sebagai salah satu bentuk komoditas yang bisa diperjual belikan. Kajian ini mencatat bahwa ada tiga hal penting yang perlu dipastikan ketersediaannya dalam mempersiapkan pasar yang efektif,: (1) target dan kegiatan penurunan emisi yang diakui dalam kebijakan nasional; (2) sinyal positif tentang keberpihakan pada pembangunan rendah emisi karbon kepada pelaku swasta dan investor, dan (3) sistem MRV dan Registrasi yang terintegrasi.
Saat ini, dasar untuk menentuan kegiatan penurunan emisi adalah target penurunan emisi dengan upaya mandiri dalam dokumen NDC (2016) sebesar 29% dari skenario Business-as-usual di tahun 2030 atau sekitar 834 juta ton CO2e. Dalam Indonesia Second Biennial Update Report (2nd BUR) diperkirakan kebutuhan pendanaan untuk mencapai target 41% di tahun 2030 (dengan upaya mandiri ditambah bantuan internasional) sebesar USD 247 milyar atau Rp 3.461 triliun atau rata-rata mencapai Rp. 266,25 triliun setiap tahunnya. Sementara penandaan anggaran mitigasi perubahan iklim di tahun 2017 oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan adalah sebesar Rp. 78,7 triliun, atau hanya sekitar 1/3 dari kebutuhan yang diidentifikasi dalam 2nd BUR.
Dalam kajian teridentifikasi potensi Pasar Karbon Domestik sebagai instrumen pendanaan perubahan iklim:
menambah opsi instrumen dengan menciptakan wadah bagi partisipasi pelaku non-pemerintah termasuk kelompok masyarakat dan pemerintah daerah dalam upaya mitigasi perubahan iklim;
mengantisipasi peningkatan minat dari pihak swasta – khususnya multinasional untuk melakukan pembelian karbon kredit, dan
pentingnya melakukan registrasi proyek-proyek penurunan emisi sehingga informasi yang dimiliki Pemerintah lebih menyeluruh, tidak terbatas pada aksi-aksi yang dibiayai APBN.
Kajian ini mencatat pentingnya untuk mengaitkan target penurunan emisi dalam NDC dengan pengembangan Pasar Karbon Domestik agar dapat ditentukan total besaran emisi karbon yang dapat diperjual-belikan. Terhubungnya daftar transaksi karbon dengan sistim MRV terkait NDC akan menghindari terjadinya double counting dan menghindari terhitungnya kredit karbon yang sudah diklaim dalam skema lain.
Untuk memastikan agar komoditas emisi karbon dapat dihitung dan beroperasi, infrastruktur pasar dalam bentuk prasyarat seperti peraturan dan definisi serta kelembagaan menjadi penting. Dalam hal ini Pemerintah dapat berfungsi sebagai regulator yang menyusun kebijakan insentif dan disinsentif terhadap penurunan emisi melalui IBP dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah mekanisme berbasis pasar (tidak over-regulated).
Penyusunan dan pengembangan skema Pasar Karbon Domestik dapat dilakukan secara bertahap dalam/ antara sektor yang siap melaksanakan pasar karbon maupun langsung di skala nasional dengan menggunakan target komitmen nasional sebagai baseline untuk menentukan besaran karbon yang dapat diperjualbelikan.
Apapun skenario pengembangan yang dipilih, tetap perlu diformulasikan dengan strategi yang komprehensif dan berwawasan jangka panjang, serta dilengkapi dengan capaian antara target penurunan emisi yang terukur dan termonitor dengan baik. Capaian-capaian antara tersebut sebaiknya mengacu kepada target NDC, termasuk target tahunan pada periode 2020–2030. Untuk memastikan keselarasan antara pencapaian target pasar karbon domestik, pemenuhan NDC, dan pilar-pilar strategi pembangunan berkelanjutan dan rendah karbon, maka menjadi penting pengakuan atas capaian-capaian antara dalam prioritas pembangunan hijau yang akan dicanangkan dalam RPJMN 2020–2024.
Catatan ringkas ini menggarisbawahi hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan dan kelembagaan Pasar Karbon Domestik, yaitu:
Pemahaman peran IBP, khususnya Pasar Karbon Domestik, dalam strategi penurunan emisi GRK selaras di setiap lini dan pihak yang terlibat
Kajian terhadap keefektifan peraturan yang sudah ada agar dapat menjadi dasar hukum yang kuat.
Sinergi dan kesinambungan kebijakan nasional dan sub-nasional terhadap target penurunan emisi yang akan memnentukan skema dan cakupan mekanisme IBP.
Korelasi mekanisme IBP dan mekanisme non-market seperti pajak, transfer fiscal dan insentif impor bahan baku.
Adapun dua kerangka kerja/peta jalan yang dapat direkomendasikan dalam tahapan pengembangan skema IBP yang mengacu pada prinsip clarity, transparency, dan understanding (CTU), yaitu:
Penyusunan Indonesia Carbon Roadmap, yang mengakomodasi kebutuhan akan transparansi pelaporan penurunan emisi dari semua sektor dan aktor, penentuan harga bayangan (Shadow Price) untuk mengukur nilai ekonomi program penurunan emisi dalam menetapkan harga karbon nasional, dan mengidentifikasi pelaku dan regulator utama, termasuk peran masyakarat sebagai penerima manfaat dari kegiatan penurunan emisi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pendefinisian peran skema IBP dalam strategi penurunan emisi GRK nasional, khususnya yang terkait dengan penyusunan laporan Kerangka Transparansi dari Perjanjian Paris dimana mekanisme IBP dilihat sebagai salah satu opsi insentif pendanaan perubahan iklim bagi upaya dari aktor non-pemerintah.