Kontroversi kasus Ferdy Sambo tidak berhenti pada kasus pembunuhan dan perintangan penyidikan (obstruction of justice), yang keduanya tengah disidik, namun juga dugaan korupsi sejumlah oknum Polri, serta problem manajemen organisasi. Kedua hal terakhir menjadi sorotan dengan beredarnya skema ‘kerajaan’ Sambo yang ditengarai dari internal Polri sendiri, yang mengelaborasi kuasa yang bersangkutan di lingkungan Polri (bahkan Menkopolhukam menyebutnya sebagai “ada Mabes di dalam Mabes”), dugaan keterlibatannya bersama sejumlah pihak dalam praktik beking judi, serta kekayaan fantastis beberapa pejabat Polri yang mampu membeli kendaraan, rumah, atau jam berharga selangit. Banyak pihak melihat ini hanyalah puncak dari gunung es dari berbagai masalah lain di lembaga penting tersebut.
Wajar jika kemudian publik bertanya, apakah berbagai masalah tersebut akan direspon tuntas oleh Polri dan negara? Sementara ini, Kapolri baru berkomitmen menuntaskan kasus pembunuhan dan perintangan penyidikan, namun belum jelas nasib proses hukum atas dugaan beking judi dan kekayaan tidak wajar.
Menkopolhukam berinisiatif mengusulkan memorandum reformasi internal Polri, meski tanpa menyentuh “ke agenda politik”, misal perubahan aturan guna memposisikan Polri di bawah kementerian/lembaga tertentu, untuk menghindari “kegaduhan”. Hal ini membuat publik khawatir bahwa momentum perubahan (kembali) akan berhenti pada koreksi minor.
Kekuasaan Besar Polri
Terlepas dari sejumlah ketidakpuasan masyarakat, kita harus mengakui bahwa beberapa tahun belakangan, cukup banyak reformasi yang dijalankan Polri, yang mendongkrak citranya di mata publik. Kita menyaksikan dan merasakan inovasi terkait pelayanan publik, misal terkait SIM dan STNK. Citra Polri juga naik karena aktifnya institusi dalam kegiatan sosial (meski tidak terkait dengan tugasnya), seperti pemberian bansos dan vaksin Covid. Masalahnya, sebagaimana akan dijelaskan, cukup banyak isu pokok yang belum tersentuh.
Polri memiliki tiga kewenangan besar, yakni penegakan hukum, keamanan dan ketertiban yang, berdasarkan pengalaman empiris, tidak jarang disalahgunakan. Contoh, atas nama menjaga ketertiban, oknum Polri dapat membungkam kebebasan masyarakat, misal saat berdemonstrasi secara sah untuk memprotes kebijakan negara. Kewenangan terkait keamanan (termasuk intelijen) dapat disalahgunakan untuk mengamankan kegiatan usaha bermasalah (misal dengan menempatkan personel Polri bersenjata di wilayah usaha), atau mencari-cari kesalahan individu yang “ditarget”, tanpa melalui proses hukum (due process).
Kewenangan penegakan hukum dapat disalahgunakan untuk otak-atik pasal dan bukti guna melindungi kepentingan, tindakan atau kegiatan dari ilegal oknum Polri, penguasa atau pengusaha, memeras tersangka, membungkam kritik, atau memproses secara tidak adil masyarakat lemah saat berhadapan dengan hukum. Namun tidak jarang pula polisi yang berusaha profesional mendapat intervensi, dan diperintahkan untuk ‘membelokkan’ hukum.
Kewenangan-kewenangan di atas pula membuat banyak pihak, termasuk yang seharusnya mengontrol Polri, punya ketergantung besar terhadap institusi ini. Kejaksaan, Pengadilan, atau DPR, membutuhkan Polri untuk menjaga dari gangguan keamanan, seperti jika ada pengerahan massa ke kantor mereka, atau ancaman terhadap pejabat-pejabatnya. Pejabat pembuat hukum, penentu anggaran atau pengawas, perlu menjalin hubungan baik dengan Polri untuk mendapatkan dukungan/bantuan jika mereka atau pihak yang terkait dengan mereka dilaporkan atau tengah disidik oleh polisi. Ketergantungan ini tidak jarang membuat peran kontrol menjadi tidak efektif.
Di luar kewenangan formil yang telah luas tersebut, pemerintah justru memperbesar kekuasaan Polri, yakni dengan menempatkan pejabat aktif atau pensiunan ke posisi-posisi strategis. Misal, menjadi pimpinan lembaga penegak hukum seperti KPK atau BNN, serta lembaga/unit terkait, macam seperti BIN, lembaga pemasyarakatan atau imigrasi.
Tidak sedikit pula yang diberi jabatan penting di banyak kementerian yang tidak terkait dengan tugas Polri, atau diangkat sebagai pejabat kepala daerah. Sulit dibantah jika ada yang menyamakan kondisi ini dengan dwi-fungsi ABRI “plus” -karena pada masa Orde Baru setidaknya ABRI/TNI tidak punya kewenangan penegakan hukum.
Pekerjaan Rumah yang Tertunda
Sayangnya, kewenangan dan kekuasaan yang besar ini tidak pula sepenuhnya diimbangi dengan pengawasan dan mekanisme checks and balances yang memadai. Ketentuan dalam banyak aturan, seperti KUHP atau KUHAP, masih memberikan diskresi besar kepada penegak hukum, termasuk Polri, dalam menjalankan kewenangannya.
Sebagai contoh, penyidik dapat melakukan penahanan tanpa memerlukan izin pengadilan. Meski perpanjangan penahanan membutuhkan persetujuan penuntut umum, tidak jarang hal ini dilakukan secara formalitas. Standar yang digunakan untuk menentukan kapan seorang tersangka patut ditahan atau tidak, sebagian terlalu subyektif, dan tidak selalu diterapkan secara konsisten.
Masih ada pula isu terkait transparansi pelaksanaan tugas Polri, khususnya di bidang penegakan hukum. Masyarakat sulit mengakses, misal, data jumlah laporan/pengaduan yang masuk, yang ditindaklanjuti dan dihentikan. Polri juga membutuhkan perbaikan kultur organisasi dan sistem manajemen SDM (rekrutmen, mutasi dan promosi), serta dukungan anggaran dan remunerasi yang memadai, untuk melahirkan personel yang berintegritas dan kerja yang profesional.
Peluang Reformasi yang Substansial
Ada banyak pilihan yang dapat diambil untuk mereformasi Polri. Yang kerap disebut adalah penempatan Polri di bawah kementerian/lembaga lain. Solusi ini belum tentu jitu dalam menjawab permasalahan Polri, tanpa merespon beberapa masalah mendasar yang dijelaskan sebelumnya.
Kendalanya, sebagaimana diindikasikan Menkopolhukam, sebagian perubahan mendasar tersebut, khususnya yang terkait kewenangan dan integritas, membutuhkan dukungan politik yang sangat kuat, terutama dari Presiden dan DPR, sesuatu yang belum terlihat. Bahkan upaya mengubah satu aturan saja, seperti UU Narkotika, yang, karena penyalahgunaan dalam penegakannya, mengakibatkan ketidakadilan serius bagi pengguna narkoba dan membebani keuangan negara triliunan setiap tahunnya (akibat overcrowding lapas), sempat terganjal dan masih harus kita tunggu hasilnya. Pembuatan Sistem Penanganan Perkara Pidana Terpadu berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI), yang dimaksudnya pula untuk mendorong akuntabilitas dan transparansi penanganan perkara, tak kunjung selesai.
Tidak mudah bukan berarti tidak bisa dilakukan, karena perubahan adalah keniscayaan, cepat atau lambat, sukarela atau ‘dipaksa’. Semakin lambat, ‘harganya’ tentu semakin mahal, termasuk bagi keberhasilan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu masyarakat menunggu Presiden Joko Widodo dan DPR untuk memakai momentum kasus Sambo ini untuk melakukan reformasi mendasar di tubuh Polri agar janji reformasi untuk menciptakan Polri yang profesional dapat diwujudkan.
Intinya, Polri harus dikembalikan ke “khittah” sesuai cita-cita mulia pembentukannya agar personelnya fokus untuk mengurusi tugas pokoknya. Polri ke depan diharapkan terjamin independensinya saat bekerja sesuai dengan tuntunan hukum dan pada saat yang sama juga harus diawasi dengan ketat sesuai dengan prinsip-prinsip checks and balances. Sebagian kewenangannya perlu diredistribusi kepada lembaga lain atau diberikan kepada lembaga baru. Tak kalah penting, jabatan strategis di Polri harus diisi dengan orang-orang yang tepat dan berintegritas, yang dapat menjustifikasi ke’halal’an kekayaannya.
Sudah seharusnya pula Presiden dan DPR meminta masukan masyarakat dalam merumuskan agenda reformasi kelembagaan Polri. Semoga niat baik ini dapat diwujudkan dalam waktu yang tidak lama lagi, agar tragedi Sambo tidak terulang lagi di masa mendatang.
Penulis: Rifqi Sjarief Assegaf, Program Director Justice, Democratic Governance and Regionalization of KEMITRAAN. Artikel ini adalah opini penulis dan telah tayang di hukumonline.