Beranda / Publication

Muhammadiyah-NU; Nobel Perdamaian (2)

Oleh: Azyumardi Azra

Sedangkan, seminar kedua untuk pengenalan Muhammadiyah dan NU sebagai kandidat penerima Hadiah Nobel diselenggarakan Dubes Mulya Lubis/KBRI bekerja sama dengan Peace Research Institute Oslo (PRIO) pada 20 Juni 2019. Seminar ini berhasil menghadirkan audiens yang cukup beragam, sejak dari pejabat Kemenlu Norwegia, guru besar, peneliti, dan peminat kajian tentang Indonesia, dan juga diplomat dari negara-negara sahabat.

Seminar bertajuk Challenging Islamic Extremism in Indonesia menghadirkan pembicara kunci Pastor Romo Magnis Suseno, Yenni Wahid, dan penulis testimoni ini.

Tampil dua pembahas dari pihak Norwegia, Marte Nielsen dan Trond Bakkevig, yang keduanya peneliti senior PRIO. Selain itu, juga ada Philip Vermonte, direktur CSIS; Rikard Bangun (jurnalis senior Harian Kompas); dan Nezar Patria (pemred harian the Jakarta Post).

Meski seminarnya berjudul Islamic Extremism, pembicaraan lebih banyak terpusat pada berbagai kiprah penting Muhammadiyah dan NU sebagai Islamic-based Civil Society dalam turut membangun dan mempertahankan perdamaian. Peran ini tidak hanya penting dalam masa penjajahan, tetapi lebih-lebih lagi di masa kontemporer yang penuh tantangan radikalisme dan intoleransi.

Membuka Seminar, Dubes Todung Mulya Lubis sempat menyatakan kece masannya tentang masa depan Indonesia berhadapan dengan tendensi radikalisme dan intoleransi yang kelihatan terus bertahan jika meningkat. Jangan-jangan Indonesia nanti tinggal nama, kata dia. Menghadapi gejala mencemaskan itu, Dubes Mulya Lubis memandang urgensi penguatan moderasi Islam yang diwakili banyak ormas Islam, khususnya Muhammadiyah dan NU yang merupakan ormas terbesar di Indonesia.

Sambutan seminar juga diberikan Atle Konta Midttun, direktur keamanan global dan perlucutan persenjataan Kementerian Luar Negeri Norwegia. Midttun menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam merespons dan menanggulangi ekstremisme dan radikalisme. Karena itu, seminar mengenai peran Muhammadiyah dan NU dalam menghadapi ekstremisme dan radikalisme merupakan kontribusi signifikan.

Tak kurang penting, seminar dipimpin Henrik Urdal, direktur Peace Research Institute Oslo (PRIO). Yang menarik, PRIO membuat Henrik Urdal’s 2019 Nobel Prize Shortlist.

Memang, dalam daftar pendek Henrik Urdal untuk kali ketiga sejak dia menjadi direktur pada 2017 belum terdapat nama Muhammadiyah dan NU. PRIO berdasarkan berbagai informasi menyusun daftar (tidak lengkap) kandidat penerima Hadiah Nobel Perdamaian, termasuk dalam daftar itu Muhammadiyah dan NU.

Dengan memimpin langsung seminar mengenai peran kedua ormas ini dalam menghadapi ekstremisme dan radikalisme, Henrik Urdal dapat mengetahui lebih banyak tentang Muhammadiyah dan NU. Dengan begitu, ormas Islam Indonesia ini dapat masuk ke dalam Daftar Singkat [Kandidat] Hadiah Nobel 2019.

Henrik Urdal tidak berbicara tentang daftar singkatnya mengenai penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2019, termasuk tentang kemungkinan dia memasukkan Muhammadiyah dan NU ke dalamnya. Urdal juga tidak berbicara banyak tentang subjek ekstremisme dan radikalisme. Dia lebih banyak memperkenalkan ketiga pembicara dari Indonesia dan dua pembahas dari Norwegia sendiri.

Pembicaraan seminar substantif dimulai dengan presentasi Pastor Profesor (Emeritus) Romo Franz Magnis-Suseno. Dalam presentasinya, Magnis ingin menjelaskan mengapa dia beserta sejumlah temannya mendukung nominasi Muhammadiyah dan NU untuk mendapatkan anugerah Hadiah Nobel Perdamaian. Dia menyatakan sangat mengenal kedua ormas civil society Islam terbesar di Indonesia atau bahkan secara global.

Dalam pandangan Magnis, Indonesia yang sampai sekarang berhasil tetap menjadi negara damai, toleran, progresif, dan secara ekonomi sukses, terkait banyak dengan kualitas penduduk Muslimnya. Di sini peran kedua organisasi masyarakat sipil yang besar, Muhammadiyah dan NU sangat menentukan (decisive).

Magnis melanjutkan: Kedua ormas ini terus memberi dukungan sepenuhnya pada pluralisme, kebebasan beragama, dan keterbukaan demokratis; dan juga karena keduanya secara konsisten menolak diskriminasi atas dasar agama; menolak Islamisasi dalam pengertian syariah menjadi hukum negara; dan juga menolak ekstremisme dan radikalisme. Adalah karena sikap dan pengaruhnya yang kuat membuat Indonesia terus tetap moderat, sehingga Indonesia dapat menikmati kedamaian; dan sekaligus menjadi faktor penjamin stabilitas di Asia Tenggara dan dunia global lebih luas.

Berdasarkan sejumlah pertimbangan yang kuat, Romo Magnis memandang bahwa penciptaan situasi damai secara internasional sangat tertolong dengan memberikan Hadiah Nobel Perdamaian kepada Muhammadiyah dan NU. Therefore, I fully support the bid to nominate Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama for the Nobel Prize in 2019.

Repost dari: https://republika.co.id/berita/pu49fa282/muhammadiyahnu-nobel-perdamaian-2

2016

Pada bulan Maret 2016, KEMITRAAN menerima akreditasi internasional dari Adaptation Fund. Dewan Adaptation Fund, dalam pertemuannya yang ke-27, memutuskan untuk mengakreditasi KEMITRAAN sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Adaptation Fund. KEMITRAAN menjadi lembaga pertama dan satu-satunya lembaga Indonesia yang terakreditasi sebagai NIE Adaptation Fund di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

 

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

 

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

2000-2003

KEMITRAAN memainkan peran krusial dalam mendukung pengembangan undang-undang untuk membentuk KPK. Hal ini diikuti dengan langkah mendukung Pemerintah dan DPR dalam memilih calon komisioner yang kompeten dan juga mendukung kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara kritis proses seleksinya. Setelah komisioner ditunjuk, mereka meminta KEMITRAAN untuk membantu mendesain kelembagaan dan rekrutmen awal KPK, serta memainkan peran sebagai koordinator donor. Sangat jelas bahwa KEMITRAAN memainkan peran kunci dalam mendukung KPK untuk mengembangkan kapasitas dan strategi yang diperlukan agar dapat bekerja seefektif mungkin.

2003

Pada tahun 2003, KEMITRAAN menjadi badan hukum yang independen yang terdaftar sebagai Persekutuan Perdata Nirlaba. Pada saat itu, KEMITRAAN masih menjadi program yang dikelola oleh UNDP hingga akhir tahun 2009. Sejak awal tahun 2010, KEMITRAAN mengambil alih tanggung jawab dan akuntabilitas penuh atas program-program dan perkembangannya.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.