Kerusakan hutan pada akhirnya akan mencapai titik yang paling kritis dan membahayakan kehidupan umat manusia. Menurut Departemen Kehutanan, laju kerusakan hutan rata-rata per tahun adalah 1,09 juta hektar. Dalam versi berbeda TELAPAK/EIA mengklaim angka 2.8 juta ha hutan Indonesia rusak setiap tahunnya. Salah satu penyebab paling klasik berkurangnya luas tutupan hutan adalah kejahatan kehutanan, selain karena peristiwa alam atau kebakaran dan demografi. Akan tetapi, tidak jarang sesunggunya praktek bisnis yang kolutif, pelanggaran hukum dan suap dalam perizinan yang bermuara pada alih fungsi kawasan hutan ikut menyumbangkan kerusakan hutan lebih signifikan.
Sawit Watch juga mencatat deforestasi ini. Menurutnya, per tahun sekitar 200-300 ribu ha tegakkan pohon berubah menjadi perkebunan sawit. Aturan bahwa perkebunan hanya bisa dibuka untuk kawasan tertentu seringkali tidak diindahkan. Daerah sepanjang perbatasan Indonesia –Malaysia merupakan contoh masih adanya praktek pembukaan lahan sawit secara kontroversial hingga saat ini.Begitu juga dengan konversi hutan rawa gambut (swamp forest). Setiap tahunnya sekitar 50-100.000 ha lahan gambut menjadi menjadi perkebunan sawit. Di Provinsi Riau, lembaga ini mencatat 792.618, 08 hektar hutan rawa gambut dikonversi oleh 110 perusahaan. Dengan rata-rata 7.205 ha hutan gambut untuk setiap perusahaan. Demikian juga dengan Kalimantan Tengah. Sekitar 592.939 ha lahan gambut diubah menjadi kebun sawit oleh 178 perusahaan. Jumlah di atas belum termasuk pembukaan 1 juta ha lahan gambut yang diproyeksikan menjadi wilayah persawahan terluas di Indonesia masa pemerintahan Suharto.
Pertanyaannya, apakah semua proses alih fungsi dan pemberian konsensi di sektor kehutanan tersebut melalui proses yang dibenarkan menurut hukum? Belum tentu. Apakah ada aturan hukum yang bisa menjerat para pelanggar, terutama aktor utama yang berada dibalik sejumlah pemberian konsensi tersebut? Jika mainset penegakan hukum masih terpaku pada penggunaan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hampir bisa dipastikan kejahatan di sektor kehutanan, khususnya alih fungsi hutan sulit diungkap. Atau, untuk kejahatan seperti illegal logging atau penebangan kayu secara liar, kemungkinan aktor utama terungkap pun kecil jika menggunakan regulasi standar di sektor kehutanan tersebut. Terutama UU Kehutanan rentan diarahkan pada sekedar pertanggungjawaban administratif.
Sehingga tak jarang pelaku/cukong dalam praktek kejahatan kehutanan bisa lepas atau bebas dari jerat hukum.Kasus Adelin Lis, untuk kejahatan kehutanan illegal logging adalah salah satu contoh kongkrit. Adelin dibebaskan di Pengadilan Medan, dengan alasan penebangan yang dilakukan oleh Adelin diluar Rencana Kerja Tahunan (RKT), meskipun melanggar aturan, akan tetapi hal itu hanyalah melanggar ketentuan yang bersifat administratif. Putusan Hakim PN Medan ini tentu juga tidak dapat dilepaskan dari sebuah surat jawaban Menteri Kehutanan, M.S. Kaban terhadap pengacara Adelin Lis, yang pada prinsipnya mengatakan hal yang sama dengan hakim. Bahwa, pelanggaran tersebut hanya bersifat administratif.Dalam kasus pemberian konsensi alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan, pertambangan atau tujuan lain, bukan tidak mungkin akan terulang hal yang sama. Oleh karena itu, perlu dilakukan sebuah analisis hukum yang lebih mendalam, tidak terjebak dengan mainset UU Kehutanan dan UU Lingkungan Hidup semata, akan tetapi mencoba membangun rangkaian logika hukum antara dua undang-undang tersebut dengan UU Tindak Pidana Korupsi.
Penggunaan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi menjadi salah satu alternatif penting yang dilirik dalam pemberantasan mafia di sektor Kehutanan. Di era awal pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga ini pernah menangani sebuah kasus alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit, dan menjeratnya dengan UU Tindak Pidana Korupsi. Dari agustus 1999 sampai Desember 2002, Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna Abdul Fatah dianggap melanggar sejumlah aturan terkait pelepasan izin pembebasan seribu hektar lahan perkebunan sawit. Perbuatan tersebut dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Di Pengadilan Tipikor, Suwarna hanya diganjar 1 tahun 6 bulan dan denda 200 juta. Gubernur Kaltim ini dinyatakan terbukti melakukan korupsi dengan cara penyalahgunaan kewenangan, seperti diatur pada Pasal 3 UU 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001. Sedangkan pada tanggal 26 Juni 2007, majelis hakim tingkat Banding meningkatkan hukuman menjadi 4 tahun dan denda Rp. 250 juta. Berbeda dengan pada tingkat pertama, pengadilan banding ini justru menegaskan Suwarna terbukti korupsi dan melanggar dakwaan primer, yaitu Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001.
Putusan tersebut kemudian dikuatkan Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi pada tanggal 07 Desember 2007. Pelajaran penting yang bisa diambil dari dua contoh kasus diatas adalah dari aspek penggunaan undang-undang tindak pidana korupsi, baik pada kejahatan di sektor kehutanan seperti illegal logging ataupun kebijakankebijakan melawan hukum yang diterbitkan oleh pejabat daerah. Hal inilah yang akan coba dikembangkan lebih jauh melalui pedoman atau modul praktis ini. Dengan harapan, penyelamatan hutan bisa menjadi lebih efektif dan menimbulkan efek jera melalui penggunaan aturan hukum lintas sektoral, seperti UU Tindak Pidana Korupsi.
Buku Investasi dan Penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap Kejahatan Kehutanan