Beranda / Publication

Menuju Transparansi Laporan Perubahan Iklim: Siapa Berbuat Apa?

Jakarta 4 April 2019 – Sejak mengemuka di awal tahun 2000-an, Pemerintah Indonesia dan berbaagai organisasi masyarakat sipil (Civil Society Organizations, CSO) banyak bekerjasama dalam menangani isu perubahan iklim. Berbagai kerjasama tersebut kini perlu ditengok dalam perspektif baru perjanjian perubahan iklim global, lazim disebut Persetujuan Paris (Paris Agreement), yang mewajibkan setiap negara berkontribusi menurunkan suhu bumi, baik negara maju maupun negara berkembang. 

Kemitraan bersama dengan Direktorat Jendral Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memfasilitasi forum komunikasi pemerintah (Party Stakeholder, PS) dan non-pemerintah (Non-Party Stakeholders, NPS) untuk mendefinisikan peran masing-masing dalam mencapai target nasional pengurangan emisi (National Determined Contribution, atau NDC). Bertempat di Hotel Atlet Century, Jakarta Selatan, Kamis 4 April 2019 diselenggarakan Focused Group Discussion (FGD) yang mempertemukan perwakilan dari lima direktorat di bawah Ditjen PPI-KLHK dengan beberapa CSO yang selama ini aktif melakukan advokasi dan kegiatan terkait isu perubahan iklim.

Sesuai langkah-langkah penerapan Persetujuan Paris, upaya mendefinisikan peran masing-masing pihak menjadi penting mengingat implementasi Kerangka Transparansi (Transparency Framework) mewajibkan setiap negara untuk melaporkan apa, berapa sering dan sedetil apa aksi nyata yang dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim dalam laporan progres berjudul Biennial Transparency Report. Aksi yang akan dicatatkan itu dibagi dalam empat perspektif: adaptasi (proses mengatasi dampak perubahan iklim yang sudah terjadi), mitigasi (proses mengurangi risiko dampak perubahan iklim yang mungkin terjadi), peningkatan kapasitas (aksi pelatihan dan pendidikan formal dan informal untuk menaikkan kemampuan dalam isu perubahan iklim) dan pendanaan dari dalam dan luar negeri. 

Kegiatan ini dibuka oleh Dirjen PPI-KLHK Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc. kemudian diawali dengan paparan dari Penasehat Senior Menteri LHK bidang Pengendalian Perubahan Iklim Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For. Sc. tentang konteks global Persetujuan Paris dan Katowice Rulebook sebagai panduan operasionalnya, elemen-elemen kunci Kerangka Transparansi dan peran serta kontribusi masyarakat sipil di dalamnya.

Direktur Mitigasi Perubahan Iklim – Ditjen PPI KLHK Ir. Emma Rachmawati, M.Sc memaparkan berbagai langkah-langkah mitigasi KLHK, termasuk penurunan emisi dari Program Kampung Iklim, atau disingkat Proklim, yang diinisiasi kementerian dan didukung dengan banyak kerjasama nasional dan internasional. Proklim adalah upaya pengendalian perubahan iklim berbasis komunitas tingkat kelurahan atau desa, dimana warganya telah melakukan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara berkesinambungan.

Direktur Adaptasi Perubahan Iklim – Ditjen PPI KLHK Dra. Sri Tantri Arundhati, M.Sc memaparkan peta indeks kerentanan provinsi di seluruh Indonesia yang dikembangkan dari data Sistem Inventarisasi Data Indeks Kerentanan Perubahan Iklim, atau SIDIK. “Dari peta indikatif ini, ada sekitar 2000-an desa, dari 75 ribu desa, yang punya kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim,” katanya.

Direktur Inventarisasi Gerakan Rumah Kaca dan Monitoring, Reporting and Verification (MRV) – Ditjen PPI KLHK Dr. Ir. Joko Prihatno, M.M. menyampaikan kekhawatirannya bahwa proses pencatatan berjalan sangat lambat. Sampai tahun 2017, upaya menginventarisasi gas rumah kaca baru dilakukan oleh 18 dari 34 provinsi. Masih banyak lagi yang belum diinventarisir, apalagi di tingkat kabupaten/kota. Di sisi lain, verifikasi hasil aksi mitigasi dari berbagai sektor yang datanya sudah diperoleh sudah dilakukan. “Tetapi jarak perbedaan antara hasil IGRK dan mitigasi masih cukup jauh, yakni di angka sekitar 150 juta ton,” katanya.

Dalam kesempatan itu ikut dipaparkan tentang Sistem Registri Nasional, http://ditjenppi.menlhk.go.id/srn/, yakni sistem data dan informasi berbasis web tentang aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara nasional. “Sistem Registri Nasional menjadi satu-satunya bentuk transparansi di Indonesia dalam menghitung apakah aksi mitigasi sudah beroperasi secara baik, meski sayangnya belum diintegrasi dengan aplikasi penurunan emisi di sektor-sektor lain,” kata Joko.

Pada sessi FGD, peserta dibagi kedalam 4 kelompok untuk mendiskusikan peran masing-masing dalam 4 tema, yaitu: proses adaptasi, mitigasi, pendanaan, dan peningkatan kapasitas dan teknologi informasi. Kemitraan akan mengumpulkan semua masukan dan menjadikannya sebagai masukan awal kepada pemerintah untuk upaya pemetaan peran organisasi sipil Indonesia menuju implementasi Persetujuan Paris.