Beranda / Publication

Catatan Dua Tahun Anies Memimpin Jakarta

SALAH satu prestasi yang ditorehkan Anies Baswedan selama dua tahun memimpin pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah memperbaiki sistem transportasi Jakarta. Jakarta mendapatkan penghargaan sebagai satu dari tiga kota terbaik dunia untuk perbaikan sistem transportasi dan mobilitas kota dalam ajang Sustainable Transport Award di Fortaleza, Brasil.

Salah satu kunci prestasi tersebut, menurut Anies, seperti disebutkan dalam artikelnya di harian Kompas (17/10/2019) adalah kolaborasi, di mana pemerintah jadi kolaborator dan warga sebagai ko-kreator.

Good Governance

Salah satu syarat menciptakan aparatur pemerintah berjiwa kolaborator adalah dengan mengimplementasikan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di setiap tahapan pemerintahan. Contohnya adalah pengisian jabatan publik secara terbuka disertai target dan ukuran jelas sehingga menciptakan kompetisi sehat. Mereka yang berprestasi dan memiliki kompetensi pengetahuan yang sesuai akan terpilih. Sebaliknya, proses pengisian jabatan yang tertutup akan menimbulkan persaingan tidak sehat di internal aparatur. Alih-alih optimal melayani dan menjadi kolaborator, aparatur cenderung saling sikut dan curiga satu sama lain, serta akan berdampak pada munculnya asumsi-asumsi liar, baik di internal pemerintahan maupun warga.

Salah satu contoh adalah timbulnya pro-kontra terhadap kebijakan Anies yang merotasi 1.125 pejabat pada awal tahun. Rotasi pada jabatan strategis seperti lurah dan camat ini dianggap tidak dilakukan secara terbuka sehingga potensi terjadinya penyelewengan sangat besar. Oleh karenanya, strategi lelang jabatan perlu diimplementasikan dari mulai level lurah, camat, hingga posisi wali kota/bupati.

Dalam konteks ini, Anies menjadi satu-satunya gubernur di Indonesia yang memiliki kewenangan absolut, mampu mengatur aparaturnya dari level direktur jenderal, bupati/walikota, hingga lurah, seperti tertuang dalam Pasal 19 Undang-Undang 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pasal itu, Gubernur DKI memiliki keistimewaan untuk mengangkat dan memberhentikan lurah, camat, hingga wali kota/bupati melalui pertimbangan DPRD. Keistimewaan ini menjadi peluang sekaligus tantangan untuk mengimplementasikan tata kelola pemerintahan yang terbuka (open governance). Jika proses pengangkatan dilakukan secara terbuka, akuntabel, partisipatif, dan adil, akselerasi penerapan prinsip-prinsip tata kelola dapat dilakukan secara cepat di seluruh wilayah DKI, termasuk kota/kabupaten, dan akan meningkatkan semangat pemerintah sebagai kolaborator hingga level terkecil pemerintahan.

Pada sisi lain, kebijakan ini juga perlu dibarengi dengan adanya indikator penilaian kinerja melibatkan publik, yang juga menjadi bagian dari aktor tata kelola pemerintahan sebuah daerah. Aktor governance terdiri dari pejabat politik (kepala daerah dan DPRD), birokrasi, organisasi masyarakat sipil dan masyarakat bisnis (Indonesia Governance Index, 2014). Partisipasi menjadi penting sebagai bagian dari implementasi kolaborasi di sektor pemerintahan. Hal ini sekaligus dapat mewujudkan salah satu misi Gubernur DKI, yakni menciptakan birokrasi yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan kota dan warga, secara efektif, meritokratis, dan berintegritas.

Pada sisi lain, kualitas tata kelola pemerintahan sebuah daerah juga ditentukan oleh peran aktif warga. Sebagai contoh, godaan dari masyarakat atau pengusaha yang mencoba memberi imbalan atau suap dalam mengurus perizinan atau pelayanan publik akan membuat besar kemungkinan birokrasi lama-kelamaan tergoda. Demikian juga sebaliknya, ketika pemerintah dan birokrasi menarik pungutan liar, masyarakat akan tergoda untuk memberi. Untuk itu, selain mengukur pemerintah baik wali kota/bupati, penting juga mengukur kinerja DPRD, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat bisnis. Hasilnya dapat dijadikan rujukan oleh gubernur untuk membangun perbaikan tata kelola pemerintahan di kota/kabupaten. Anies perlu serius mengimplementasikan kebijakan-kebijakan berbasis keterbukaan dan menyusun kinerja tata kelola pemerintahannya.

Selain untuk semakin meningkatkan kepercayaan publik, langkah-langkah tersebut akan membantu Anies merealisasikan janji-janji kampanyenya. Tersisa tiga tahun bagi Anies untuk menyelesaikan janji-janjinya, sementara posisi yang akan mengisi wakil gubernur wakil gubernur masih jauh dari kata sepakat di internal DPRD. Maka, satu-satunya harapan adalah aparatur pemerintah yang mampu membangun kolaborasi aktif bersama warga.

Tantangan Sejarah

Anies Baswedan dikenal sebagai salah satu figur dengan jejak karier yang berbeda dari kebanyakan orang, baik di level profesional maupun politik. Ia mulai dikenal oleh publik ketika menjadi rektor termuda saat memimpin universitas paramadina, kemudian menginisiasi gerakan kerelawanan, seperti Indonesia Mengajar, Turun Tangan, dan lain-lain. Anies mencoba peruntungan di politik dengan mengikuti konvensi Partai Demokrat, kemudian menjadi juru bicara tim sukses Capres Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 2014, menjabat Menteri Pendidikan, dan saat ini memegang jabatan Gubernur DKI.

Pada salah satu video publikasi hasil Indonesia Governance Index (IGI) tahun 2012 (https://youtu.be/NXppYWg3aCs), Anies Baswedan menyebut bahwa suka tidak suka, seluruh dunia sedang bergerak menuju ke arah good governance. Di akhir video, Anies menyarankan kita semua untuk ikut ambil bagian dalam gerakan penghapusan praktik-praktik bad governance di Indonesia. Dengan posisinya sebagai gubernur sebuah provinsi terpopuler dan menjadi trend setter daerah lain di Indonesia, Anies dihadapkan pada tantangan sejarah untuk menghapuskan praktik bad governance di Jakarta.

Pertanyaannya, hingga di titik manakah Anies membawa DKI Jakarta menjadi bagian dari gerakan good governance?

Penulis:

Arif Nurdiansah – Peneliti tata kelola pemerintahan

Editor : Laksono Hari Wiwoho

Artikel ini telah tayang di Kompas.com