JAKARTA – KEMITRAAN sejak 2022 lewat Program Estungkara bersama 10 mitra lokal hadir di tujuh provinsi Indonesia Program ini terlaksana berkat dukungan pendanaan dari Program INKLUSI yang merupakan kerja sama dengan Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Negara (PPN) atau Bappenas dan Department of Foreign Affair and Trade (DFAT) Australia. Estungkara merupakan kependekan dari Kesetaraan Untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi. Program ini hadir untuk menjadi mitra dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif bagi seluruh masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang seringkali terabaikan seperti masyakarat adat, perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan kelompok minoritas lainnya.
Dalam perjalanannya, Program Estungkara menemukan banyak persoalan di masyarakat adat dengan isu yang saling berkaitan. Contohnya seperti persoalan kekerasan terhadap perempuan, tata kelola pemerintahan terutama di tingkat desa, persoalan pendidikan dan kesehatan reproduksi, serta isu terkait pengakuan ruang hidup bagi masyarakat adat termasuk mereka yang hidup dalam konsesi perusahaan.
Menyikapi hal ini Direktorat Keluraga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga (KPAPO) Bappenas mengundang KEMITRAAN untuk melakukan audiensi terkait implementasi program Estungkara selama kurang lebih tiga tahun ini. Audiensi juga melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Kegiatan ini diselenggarakan pada 22 Juli 2024 di Hotel Mercure Sabang, Jakarta yang digelar secara luring dan daring. Direktur KPAPO Bappenas Raden Rara Rita Erawati menyatakan bahwa acara ini penting untuk mensinergikan kerja bersama agar memiliki hasil yang efektif dan berdampak bagi masyarakat adat.
“Kami berharap agar pertemuan ini dapat memberikan ruang koordinasi bersama untuk saling bersinergi dalam menjawab tantangan-tantangan yang masih dihadapi masyarakat adat saat ini, mengingat dalam data yang kami miliki, masih muncul sejumlah permasalahan dasar baik terkait pendidikan, kesehatan, dan akses untuk layanan dasar,” ujar Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif KEMITRAAN dalam sambutannya.
Dalam pertemuan ini, tim Program Estungkara yang diwakili oleh Tracy Yoana dan Widya Anggraini memaparkan data-data dan capaian yang telah dicapai selama kurang lebih 3 tahun berjalannya program Estungkara. Di antara lain dari sisi akses layanan dasar, kemandirian ekonomi, partisipasi publik, dan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
“Sejak 2022 banyak kemajuan yang kami lakukan dalam mendukung akses layanan dasar, partisipasi, perlindungan dari kekerasan melalui riset dan pelibatan akademisi, serta ketahanan ekonomi lewat pemanfaatan lahan wilayah sekitar,” ujar Tracy, dalam presentasinya.
Meski demikian masih ada banyak hal yang membutuhkan dukungan banyak pihak. Sebabnya isu masyarakat adat merupakan isu multisektor yang tidak hanya menjadi fokus satu kementerian atau lembaga, melainkan perlu keterlibatan semua pihak. Seperti perlunya dukungan KLHK dalam mendorong pengakuan hutan adat. Tujuannya agar memudahkan masyarakat adat dalam proses pengajuan hutan adat. Selain itu dibutuhkan pula dukungan Kementerian PPPA dalam memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak dari kekerasan melalui kegiatan sosialisasi regulasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kemudian perlu juga adanya peningkatan kapasitas bagi Pemda dan Pemdes terkait penanganan kekerasan seksual. Dalam praktiknya, tidak semua pihak baik kepolisian, kejaksaan memahami implementasi UU TPKS. Hal ini tentu saja berdampak pada tidak terpenuhinya hak korban dalam mendapatkan keadilan.
“Kami juga berharap dukungan dari Kementerian Pendidikan terkait kemudahan akses pendidikan bagi anak-anak di masyarakat adat dan penghayat kepercayaan dengan adanya kebijakan daerah. Tujuannya untuk mengakomodir penghayat kepercayaan serta memperbanyak jumlah penyuluh serta menyediakan fasilitas sekolah tingkat lanjutan yang dapat diakses dengan mudah oleh anak-anak,” tambah Widya.
Dalam proses diskusi, isu seputar perempuan, anak, dan kekerasan yang dialami banyak mendapat perhatian. Ciput Eka Purwianti, Asdep Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Bappenas RI menyatakan bahwa perlu upaya untuk memutus rantai kekerasan dalam keluarga melalui mekanisme pemulihan. Tujuannya supaya kasus tersebut tidak berulang. Beliau juga melihat bahwa ketiadaan layanan seperti administrasi kependudukan kerap berimbas pada ketiadaan data perkawinan yang berujung pada perkawinan anak. Padahal itu ini adalah salah satu bentuk kekerasan seksual.
“Kami berupaya mendorong agar perempuan dapat aktif berorganisasi dan komitmen kami ke depan dalam Renstra 2025 dapat fokus dalam pengembangan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) di lokasi-lokasi masyarakat adat. Oleh sebab itu di tiap wilayah perlu adanya forum anak dan kelompok perempuan yang terlibat dalam organisasi di desa,” ujar Ciput Eka Purwianti.
Diskusi yang berlangsung selama tiga jam ini berlangsung dua arah. Sehingga setiap kementerian dan lembaga memberikan respons sesuai kewenangan institusinya. Diah Rini dari Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial menyatakan bahwa data merupakan hal dasar yang dapat membantu intervensi agar tepat sasaran. Terutama segregasi jenis disabilitas untuk dapat memberikan bantuan yang sesuai dan tepat sasaran.
Koordinator Pemeberdayaan Perempuan dan Pengarusutamaan Gender Bappenas RI, Qurrota A’yun menyatakan bahwa masukan dan temuan yang disampaikan oleh KEMITRAAN sangat penting bagi kementerian dan lembaga dalam menyusun Rencanan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang saat ini tengah dalam proses penyusunan. Harapannya semua hal ini dapat menjadi masukan berarti agar program-program dan kebijakan yang dibuat dapat memberikan manfaat dan keadilan bagi masyarakat adat di seluruh Indonesia.