Rumah tenun digusur, bahan untuk pewarna alami juga dibabat demi Bendungan Mbay Lambo.
Oleh FRANSISKUS PATI HERIN
Di balik lensa kacamata plus 2,2, sorot mata Bibiana Doe tertuju pada setiap helai benang yang berjuntai. Jari-jari keriput nenek berusia 68 tahun itu merapikan setiap lajur benang agar tidak tumpang tindih. Benang dibuat memanjang dan melintang, lalu ditenun menjadi lembaran kain.
Jumat (23/8/2024) petang itu, ia menenun di dapur rumahnya di Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Sendirian. Sepi. Tak terdengar suara tetangga yang biasanya ramai.
”Sudah ada perintah kepada kami untuk kosongkan tempat ini. Tetangga lagi pergi cari lahan kosong di tempat lain. Saya masih bingung mau ke mana,” ujarnya.
Rumah milik Doe dan puluhan warga lain harus segera dikosongkan dan dibongkar. Areal itu sudah dipatok pemerintah menjadi bagian dari kawasan Bendungan Mbay Lambo. Kendati ditolak warga, pemerintah secara sepihak melakukan pengukuran dan menentukan harga ganti rugi.
Mau tidak mau, masyarakat harus terima dengan keputusan pemerintah. Bagi masyarakat yang masih tetap menolak, dipersilakan menempuh jalur hukum. Apa pun yang terjadi, areal itu tetap dikosongkan. Uang ganti rugi dititipkan pemerintah di pengadilan.
Pembangunan bendungan dimulai tahun 2021 dan ditarget selesai akhir 2024. Bendungan itu merupakan proyek strategis nasional dengan anggaran Rp 1,4 triliun. Sebanyak 555 bidang tanah warga yang diambil, dengan total luasan 496,14 hektar.
Inilah hari-hari terakhir Bibiana di rumahnya. Ia bakal meninggalkan rumah yang puluhan tahun ia tempati bersama keluarga. Rumah tempat ia membesarkan tujuh anaknya. Rumah tempat suka dan duka silih bergantian datang dan pergi. Juga rumah tempat ia pertama kali belajar menenun, sekitar 50 tahun silam. ”Mungkin ini tenun terakhir saya,” ucapnya dengan wajah sendu.
Kain yang sedang ditenun itu ukuran panjangnya sekitar 2 meter dengan lebar 0,8 meter. Ia butuh waktu sekitar tiga minggu untuk menuntaskannya. Setelah jadi, kain itu dijual dengan harga Rp 700.000. Jika kebutuhan mendesak, bisa kurang hingga Rp 500.000.
Baca juga: Diambil Paksa, Tanah Adat Kami Dihargai Hanya Rp 30.500
Kegelisahan senada diungkapkan Kristina Ito (67), penenun lainnya. Banyak bahan untuk pewarna alami mulai hilang seiring dengan pembabatan hutan untuk areal bendungan. Bahan pewarna itu, seperti akar tanaman lokal yang mereka sebut loba. Ada juga mengkudu dan mahoni.
Dengan menggunakan pewarna alami, mereka tidak lagi mengeluarkan biaya untuk membeli pewarna sintesis. Harga kain tenun dengan pewarna alami juga jauh lebih mahal karena lebih laku di pasaran. Perbedaan harga kain pewarna alami dan sintesis hingga jutaan rupiah.
“Mungkin ini tenun terakhir saya”
Sebetulnya mereka bisa membudidayakan tanaman pewarna alami, tetapi itu butuh waktu bertahun-tahun. Belum lagi, mereka kini tak punya lagi lahan untuk menanam setelah diambil pemerintah. ”Saya sudah tua. Capek kalau harus cari pewarna alami. Mungkin saya akan berhenti menenun,” kata Kristina.
Angela Merciana Mau (46), tokoh perempuan di Rendubutowe, memotivasi para penenun agar tidak patah semangat. Ia berjanji membantu memasarkan hasil tenun mereka ke media sosial, seperti yang ia lakukan selama ini. Tenun Merciana tersebar di sejumlah wilayah Indonesia.
Untuk pewarna alami, Merciana sedang mencoba beberapa formula bahan yang didapat di sekitar rumah dan kebun. Sambil menunggu hasilnya, ia menggunakan pewarna sintesis. Atau, membeli benang yang warnanya langsung disesuaikan dengan motif dan corak kain.
Untuk pemberdayaan para penenun, Merciana bersama beberapa perempuan di Rendubutowe terlibat dalam program Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi. Program itu bagian dari kolaborasi antara Kemitraan Partnership for Governance Reform dan Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.
Kain masyarakat Nagekeo umumnya berwarna hitam dengan motif dan corak kuning keemasan. Menurut Merciana, warna hitam melambangkan tanah yang selalu melekat dengan diri masyarakat, serta kuning yang bermakna kesejahteraan.
Ini dapat diartikan, dari tanahlah masyarakat akan sejahtera. Tanah tempat mereka tinggal, bertani, beternak, dan berburu. Hasilnya menghidupi mereka. Kini, tanah mereka sudah diambil pemerintah untuk pembangunan Bendungan Mbay Lambo. Kesejahteraan pun semakin menjauh dari mereka.
Sekretaris Daerah Kabupaten Nagekeo Lukas Mere mengatakan, pemerintah menyiapkan program pemberdayaan bagi masyarakat yang terdampak pembangunan Bendungan Mbay Lambo. Salah satunya adalah tenun. Namun, sampai saat ini, program itu belum terlihat di masyarakat.
Dalam wawancara itu, Lukas juga menunjukkan tas khas masyarakat Nagekeo yang terbuat dari daun pandan. Ia mendorong pelaku ekonomi kreatif untuk terus memproduksi tas jenis itu. Sayangnya, hutan tempat tanaman pandan kini dibabat untuk bendungan. Perajin kian sulit mendapatkan bahan baku.
Rakhmat Nur Hakim, Communication Manager Kemitraan Partnership for Governance Reform, mendorong para penenun agar terus menenun. Ia meyakini, pasar kain tenun cukup menjanjikan. Dipakai sehari-hari, ketika upacara adat, perkawinan, dan kematian. Juga untuk oleh-oleh bagi tamu.
Rakhmat memahami kian sulitnya nasib para ibu penenun ketika tanah mereka diambil, dan bahan pewarna alami untuk tenun semakin sulit didapat. Namun, jika berhenti menenun, ekonomi mereka kian terpuruk. Ia berjanji akan terus memberi pendampingan hingga penenun benar-benar bisa mandiri.
Jangan sampai kain tenun, seperti yang sedang dikerjakan Mama Bibiana Doe dan Mama Kristina Ito saat ini, menjadi lembaran terakhir sebelum datang genangan air Bendungan Mbay Lambo.
Baca juga: Konflik Bendungan Mbay Lambo, Ketua Suku Pun Dicaci Maki Oleh Bocah Ingusan
Editor: SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
Sumber : Kompas.id