Oleh FRANSISKUS PATI HERIN
Pemerintah secara sepihak menentukan harga tanah, tanaman tumbuh, dan bangunan di atasnya. Warga merasa tidak adil.
Sudah lebih dari satu jam, Mateus Phui (62) terpaku di tengah kebun. Sendirian. Petani itu menunduk, menjumput butiran tanah, lalu memasukkan ke dalam kantong baju. Setengah berbisik, ia mengucapkan salam perpisahan pada roh tanah yang dirasa telah menyatu dengan dirinya.
”Leluhur, jangan marah saya. Saya tidak mau lepas tanah ini, tetapi pemerintah yang paksa ambil. Maafkan saya, maaf…, maaf…,” ujar kakek itu dengan suara lirih pada Rabu (21/8/2024) pagi itu.
Tanpa sepengetahuan dia, lahan itu dipatok dan diukur menjadi bagian dari areal pembangunan Bendungan Mbay Lambo di Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.
Ia menjadi orang terakhir yang melepas tanah setelah sebagian besar masyarakat sudah menerima ganti rugi dari pemerintah. ”Pemerintah bilang bahwa kalau tidak mau lepas sekarang, tidak akan lagi diproses ganti rugi. Saya harus urus sendiri ke pengadilan,” ujarnya.
Pengadilan dimaksud berada di Bajawa, Kabupaten Ngada, sekitar tiga jam perjalanan dari kampungnya. Tak pernah berurusan dengan hukum, ia tidak tahu harus ke mana. Oleh karena itu, ia ikut saja maunya pemerintah, melepas tanah leluhurnya itu.
Butiran tanah yang ia ambil di tengah kebun itu disimpan agar dirinya selalu dekat dengan roh tanah. Itulah cara dia merawat relasi dengan tanah tempat ia hidup, bertani, beternak, memuja pemilik semesta, dan berkomunikasi dengan leluhur.
Mungkin bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Mateus terbilang aneh. Namun, bagi Mateus dan masyarakat adat setempat, petani adalah tanah. Relasi petani dan tanah tak bisa dipahami oleh mereka yang tak punya empati pada petani dan tanah.
Dengan meminta maaf kepada leluhur dan menjumput butiran tanah, ia berharap leluhur bisa memaafkannya. Sebab melepas tanah, apalagi dengan menerima uang sebagai ganti rugi, itu sama dengan menjual tanah. Menjual tanah dilarang hukum adat.
Konsekuensinya tak main-main. Kesialan, sakit penyakit, keretakan rumah tangga, bahkan sampai pada kematian. Musibah semacam itu selalu menghantui. ”Kalau melanggar hukum adat, pasti kena. Kami lebih takut hukum adat daripada hukum pemerintah,” katanya.
Baca juga: Perempuan Penjaga Tanah Adat Rendubutowe
Antonius Teke (68), tokoh adat, menuturkan, pembangunan Bendungan Mbay pertama kali diwacanakan pada tahun 2001. Tujuannya untuk mendukung pengairan di persawahan Mbay yang menjadi salah satu sentra pertanian di sisi utara Pulau Flores. Bendungan juga untuk suplai air baku.
Namun, ketika wacana itu dilempar ke publik, langsung menuai perlawanan dari masyarakat di lokasi yang akan terdampak. Ada tiga desa yang terdampak, yakni Rendubutowe, Labolewa, dan Ulupulu. Mereka menolak tim yang datang melakukan sosialisasi.
Relasi petani dan tanah tak bisa dipahami oleh mereka yang tak punya empati pada petani dan tanah.
Kala itu, masyarakat juga menghadang mobil Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea yang hendak mendatangi lokasi. Mobil Jacob dicegat di pertigaan Aegela, sekitar 17 kilometer dari lokasi. Padahal, Jacob tak lain adalah putra Nagekeo.
Tahun 2015, wacana itu kembali dimunculkan pemerintah pusat. Namanya bukan lagi Bendungan Mbay tetapi diubah menjadi Bendungan Mbay Lambo. Lambo merujuk pada nama lokasi bendungan, sedangkan Mbay adalah lokasi pertanian.
Bendungan itu merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional. Di era Presiden Joko Widodo, banyak bendungan dibangun di seluruh Indonesia, termasuk di NTT. Semua sumber daya dikerahkan untuk mewujudkan proyek itu, termasuk aparat keamanan yang cenderung represif.
Ketika masyarakat masih solid mendukung, beberapa tokoh kunci diintimidasi dan mendapat kekerasan, termasuk ibu-ibu. Masyarakat dipecah belah dengan hadirnya kelompok pro-pembangunan. Konflik horizontal terjadi hingga sampai kelompok yang menolak dibuat tidak berdaya.
Sambil dinamika itu berjalan, petugas dari Badan Pertanahan Nasional yang dikawal aparat masuk melakukan identifikasi dan pengukuran lahan. Setelah itu datang tim appraisal untuk menilai. Proses itu berlangsung sepihak. ”Hasilnya, tanah adat kami dihargai hanya Rp 30.500 per meter persegi,” ujar Antonius.
Harga tanah itu terbilang sangat murah. Uang ganti rugi yang diperoleh tidak akan cukup untuk membeli lahan baru dengan kondisi dan luasan yang sama. Harga lahan serupa di tempat terdekat lebih dari dua kali lipat.
Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Nagekeo Yohanis Frederik Malelak mengatakan, tugas timnya hanya melakukan pendataan dan pengukuran. Oleh pemerintah pusat, mereka diberi batas waktu satu bulan. ”Waktu itu yang kawal polisi dan Brimob,” ujarnya.
Ia mengakui, apa yang dilakukan adalah bagian dari perintah yang diberikan secara hierarki. ”Ini perintah dari negara. Mau tidak mau harus dilaksanakan,” katanya. Jika masyarakat yang terdampak tidak puas, ia mempersilakan untuk menempuh jalur hukum.
“Ini perintah dari negara. Mau tidak mau harus dilaksanakan.”
Pengukuran dimulai pada Oktober 2022. Secara keseluruhan, sebanyak 555 bidang dengan luasan 496,14 hektar. Setiap bidang dengan nilai masing-masing tergantung dari luas lahan, tanaman tumbuh, dan bangunan di atasnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Nagekeo Lukas Mere membantah tuduhan bahwa pemerintah merampas tanah milik masyarakat. Menurut dia, pemerintah malah membayar tanah tersebut dengan memberikan ganti untung. Ia mengajak masyarakat mendukung proyek itu.
Targetnya, kata Mere, paling lama tiga tahun ke depan, bendungan sudah bisa difungsikan untuk mendukung pertanian di Mbay yang memiliki sekitar 6.000 hektar sawah. Selama ini, areal pertanian itu didukung Bendungan Sutami yang mulai beroperasi tahun 1972. Ia meyakini, Nagekeo akan swasembada pangan.
Di sisi lain, Kemitraan Partnership for Governance Reform berkolaborasi dengan Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dalam Program Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi hadir di sana. Mereka mengadvokasi warga yang terdampak pembangunan Bendungan Mbay Lambo.
Rakhmat Nur Hakim, Communication Manager Kemitraan Partnership for Governance Reform, mengatakan, pihaknya menemukan banyak warga yang hak-haknya belum terpenuhi. Dalam hitungan ganti rugi oleh pemerintah, banyak variabel luput, seperti tanaman tumbuh dan bangunan di atasnya. ”Kami terus melakukan pendataan,” katanya.
Pembangunan Bendungan Mbay Lambo kini sedang berlangsung. Bendungan yang menampung air itu telah membuat banyak orang menitikkan air mata. Terpaksa melepas tanah adat dan menerima ganti rugi sangat murah. Hanya Rp 30.500 per meter persegi.
Sumber: Kompas.id
https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/08/28/diambil-paksa-tanah-adat-kami-dihargai-rp-30500
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.
This agreement was signed between Green Climate Fund (GCF) and PARTNERSHIP. This agreement formalizes KEMITRAAN’s accountability in implementing projects approved by the GCF.
For your information, the GCF is the world’s largest special fund that helps developing countries reduce greenhouse gas emissions and increase their ability to respond to climate change.
These funds were collected by the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) in 2010. The GCF has an important role in realizing the Paris Agreement, namely supporting the goal of keeping the average global temperature increase below 2 degrees Celsius.