Ada yang sangat menarik dari berbagai tulisan dalam buku ini bila membacanya dengan teliti serta mengaitkannya dengan fakta dan diskursus pemberantasan korupsi. Secara faktual, di satu sisi mulai ada kegelisahan yang kian menguat, kosa kata korupsi tengah mengalami proses ”inflasi”, menjemukan dan hanya menimbulkan ”keberisikan” karena sering diucapkan tapi tidak menimbulkan dampak yang signifikan bagi kemaslahatan rakyat. Pemberitaan korupsi yang kian marak dalam media massa karena ada tersangka pejabat publik yang ditangkap yang diduga memiliki jaringan kolusi konspiratif dengan kelompok tertentu lainnya dan angka mengenai jumlah kerugian Negara yang fantastis. Eksklusifitas pemberitaannya sangat menarik dan mendorong banyak kalangan untuk mengikuti rincian kejadian dalam kasus dimaksud.
Buku ini justru memperlihatkan fakta yang berbeda dengan “arus utama” pemberitaan dan diskursus mengenai pesismisme pemberantasan korupsi. Sebagian besar tulisan dalam buku ini tidak hanya menjelaskan kesulitan masyarakat menghadapi masifitas tak terperikan dari sifat dan karakter korupsi dalam sendi kehidupan mereka saja. Misalnya suatu pernyataan menarik menyatakan: “korupsi telah menghancurkan budaya masyarakat pedesaan dengan memojokkan rakyat menjadi obyek korupsi. Hampir setiap saat, rakyat ditabrakan dengan posisi sulit, menerima atau menolak poiltik uang dari pemilu legislatif, pemilukada, dan pemilihan kepala desa. Keyakinan rakyat akan kejujuran hancur oleh bagi-bagi uang dan serangan fajar. Setiap ada proses politik, tatanan sosial goyah karena orang mulai curiga dan bahkan bermusuhan gara-gara pilihan yang didasarkan uang”
Fakta “korupsi” di berbagai sektor kehidupan masyarakat, seperti: pertanian, pendidikan dan kesehatan serta sumber daya alam terjadi begitu sistematis di dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat juga dikemukan di dalam buku ini “Kedahsyatan” buku ini justru terletak pada keinginan dan kemampuan untuk menggambarkan dan bahkan mengungkapkan, ada usaha rakyat yan sangat serius untuk melakukan upaya yang paling mungkin untuk “melawan dan menaklukkan” korupsi dari sekedar “membicangkannya”. Ada 3 (tiga) hal lain yang tersebut di dalam buku ini yang juga menarik untuk dikemukakan, yaitu: kesatu, kegiatan masyarakat untuk secara bersama “melawan dan menaklukkan” korupsi tidak hanya berorientasi dan mengandalkan pendekatan serta perspektif hukum semata. Ini kesadaran yang sangat substantif karena daya rusak korupsi terletak pada sifat dan karakter yang berbasis pada kebusukkan, kecurangan, dan ketidakjujuran; kedua, kegiatan untuk melawan “kebusukkan, kecurangan dan ketidakjujuran” yang bermetamorposes menjadi tindak korupsi karena menggunakan kewenangan publik untuk kepentingan privat, dilakukan oleh rakyat pada lingkungannya sendiri dalam skala mikro spasial, kendati disebagian lainnya juga ada yang memberikan perhatian pada aras makro sektoral; ketiga, ada pendekatan yang sangat fundamental dalam “melawan dan menaklukkan” korupsi, yaitu membangun kesadaran yang mendalam mengapa korupsi harus diberantas secara bersama dengan berbagai pendekatan. Ada kesadaran bahwa korupsi tidak bisa hanya “dihadang” di tingkat “hulu” tetapi harus “dihancurkan” pada “muaranya”. Oleh karena itu, ada tulisan menarik dalam buku yang menggambarkan dengan sangat utuh dan sistematik mengenai anatomi korupsi, misalnya, pada sektor sumber daya alam tertentu.
Fakta ini hendak menyatakan bahwa salah satu faktor keberhasilan dalam pemberantasan korupsi akan sangat ditentukan dengan kemampuan memahami A-Z masalah korupsi. Semua uraian yang telah dikemukakan di atas menggambarkan bahwa ada upaya untuk menyemai benih untuk membangun harapan dan kekuatan yang kesemuanya harus ditafsirkan sebagai optimisme. Korupsi harus dapat dilawan dan ditaklukkan dengan membangun gerakan sosial kemasyarakatan, dimana masyarakat didorong untuk memiliki kesadaran, mengorganisasikan dirinya dan melakukan upaya “legal dan meta legal” sekecil apapun untuk kepentingan kemaslahatannya. Fakta ini akan sesuai dengan alasan yuridis dan sosiologis lainnya yang menjadi dasar bahwa rakyat memang mempunyai mandat, hak dan kewajiban untuk secara bersama melakukan pemberantasan korupsi. Pasal 1 angka 3 UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi telah secara tegas menjelaskan “pemberantasan korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya … dengan peran serta masyarakat …”. UU yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi juga menyatakan di dalam bagian penjelasan maupun bagian menimbang berkaitan dengan dampak korupsi, yaitu antara lain: kesatu, korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara; kedua, korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas; ketiga, korupsi mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika & keadilan, serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum (UU No. 7 Tahun 2006). Keseluruhan uraian ini hendak menegaskan dan dapat ditafsirkan bahwa rakyatlah yang sesungguhnya menjadi korban utama dan terutama dari tindak pidana korupsi.
Selain itu, pada Bab V, Pasal 41 dan Pasal 42 UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 mengatur statu bab khusus yang berkaitan dengan Peran Serta Masyarakat. Pasal-pasal di dalam perundangan di atas menjelaskan adanya alasan dan argumentasi yuridis yang menjadi dasar keterlibatan masyarakat dalampemberantasan korupsi. Dalam kajian lainnya yang lebih mendalam mengenai korupsi, ada kesimpulan yang sudah menjadi kesepakatan bahwa “…corruption creates fundamental inequalities in the poor’s access to justice and to development services …”. Lebih jauh dari itu, ada hasil studi yang menyatakan “… the negative impact of corruption on development is no longer questioned. Corruption hinders economic development, reduces social services, and diverts investments in infrastructure, institutions and social services …”.
Selain itu, ada suatu penelitian terhadap sekitar 100 negara “developing countries” tahun 1996-2001 yang dilakukan oleh UNDP. Penelitian dimaksud menyatakan antara lain sebagai berikut “… korupsi terjadi pada sektor “the allocation of public expenditure”, khususnya di sektor “education, health and social protection” dan mengakibatkan kian rendahnya kualitas pelayanan publik pada bidang itu …”.Kajian tersebut menjelaskan 2 (dua) hal, yaitu: kesatu, fakta kemisikinan, ternyata, mempunyai pengaruh terhadap Human Development Indexs (HDI). Indonesia kini berada pada ranking 124 dari 145 yang diukur HDI nya; kedua, pada negara yg dilakukan survei korupsi dan terbukti dikualifikasi sebagai negera korup ternyata berakibat pada kualitas human development, seperti kesehatan dan pendidikan. Oleh karena itu, dinyatakan, korupsi pada sector tertentu juga dapat mengakibatkan meningkatnya angka infant mortality and school drop-out dan juga mereduksi “life expectancy and literacy”. Pada konteks itu, dapat ditarik suatu kenyataan bahwa ada hubungan erat yang langsung antara Human Development Index dengan Corruption Perception Index.
Dr. Bambang Widjojanto