Jakarta, 20 Januari 2022 – Terdapat sedikitnya lima penyebab regresi demokrasi di Indonesia. Persoalan pertama adalah isu demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang semakin terpinggir serta menjadi minoritas dalam diskursus kebangsaan saat ini. Hal ini menurut Monica Tanuhandaru, Direktur Yayasan Bambu berakibat pada kian abu-abunya implementasi norma-norma demokrasi dan tata kelola yang diperjuangkan saat reformasi.
Penyebab selanjutnya adalah adanya fragmentasi pada masyarakat sipil. Hal ini terjadi karena kerja-kerja masyarakat sipil kurang terkonsolidasi dan cenderung fokus pada persoalan parsial sesuai spesifikasinya masing-masing. Pada sisi yang lain, Adnan Topan Husodo, Koordinator ICW menyebut telah terjadi pembelahan akibat dari adanya senior yang mengabdi pada jalur sistem, namun belum mampu menjadi penghubung dengan pemerintah.
Ketimpangan terhadap akses, baik politik, ekonomi maupun kekuasaan menjadi penyebab lain dari demokrasi menjadi seperti saat ini menurut Danang Widoyoko, Sekjen Transparansi Internasional Indonesia (TII). Selain membangkitkan populisme yang sejauh ini mampu dimanfatkan oleh kelompok tertentu untuk mendapatkan akses, juga berdampak adanya keterbelahan di level publik.
Keterbatasan akses di satu sisi, menciptakan oligarki pada sisi lain. Ironisnya, oligarki justru terjadi dengan menumpang kereta reformasi yang pada awalnya ingin menumbangkan praktik tersebut pada masa orde baru.
Lemahnya posisi tawar masyarakat sipil yang memerankan fungsi advokasi dan pengawas pembangunan, serta menguatnya oligarki menimbulkan kian masifnya praktik koruptif dalam proses tata kelola pemerintahan di Indonesia. Salah satunya mekanisme legislasi di parlemen yang semakin sarat benturan kepentingan dan minim partisipasi. Sebut saja proses revisi UU KPK, UU Minerba, UU Mahkamah Konstitusi, hingga pembuatan UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara dan lain-lain.
Di sektor publik, korupsi terjadi karena tidak ada rambu-rambu regulasi yang mengatur di ranah privat, sehingga praktik tersebut dianggap bagian dari jasa dan legal dalam bisnis. Kondisi ini semakin memperparah soal tata kelola.
Aparat penegak hukum yang diharapkan mampu memerankan fungsinya sebagai penjaga esensi demokrasi justru cenderung terkooptasi. Berdasarkan catatan YLBHI, telah terjadi penyalahgunaan hukum dan produk hukum untuk kepentingan aktor politik, pemodal atau oligarki. Mekanisme hukum menjadi alat untuk membungkam, sehingga Parpol yang potensial menjadi oposisi dihancurkan lebih awal. Pada sisi lain, menyempitnya ruang gerak, kebebasan berkspresi dan berpendapat di ruang-ruang publik menjadikan regresi demokrasi memiliki konsekuensi dan takut terkena jerat hukum.
Lima penyebab regresi tersebut merupakan salah satu kesimpulan saat diskusi terpumpun penyusunan Rencana Strategis (Renstra) KEMITRAAN. Diskusi dilaksanakan agar KEMITRAAN mendapatkan masukan substantif dari stakeholders, demi memperkuat peran dan posisi strategis lembaga selama lima tahun ke depan (periode 2022-2026).
Selain perwakilan dari Yayasan Bambu, TII dan ICW, hadir juga perwakilan organisasi masyarakat sipil lainnya seperti M. Isnur-Ketua YLBHI, Titi Anggraini-Perludem, Meliana-PWYP, Maidina-ICJR, Adhityani Putri–Yayasan Indonesia Cerah, Bivitri Susanti-STH Indonesia Jentera dan Nadia Hadad-Madani Berkelanjutan, Abu Meridian-Kaoem Telapak. Hadir pula perwakilan donor, yakni dari DFAT, USAID, Ford Foundation dan CLUA.
Dalam diskusi, Laode M. Syarif menyebut tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini dan kemungkinan lima tahun mendatang sama dengan sebelumnya, yakni persoalan demokratisasi, hak asasi, anti korupsi, penegakan hukum dan lain-lain. Beliau juga bertanya kepada para narasumber diskusi, apa peran yang dapat dioptimalkan oleh KEMITRAAN ke depan untuk memperbaiki kondisi demokrasi saat ini?
Menjawab pertanyaan tersebut, para narasumber menyarankan perlunya KEMITRAAN muncul sebagai jembatan untuk memperbaiki diskoneksi yang terjadi antara masyarakat sipil dengan para pengambil kebijakan di pemerintah, sektor privat dan lembaga donor.
Selain itu, KEMITRAAN juga diharapkan menjadi lembaga strategis yang mampu merumuskan kebijakan berdasarkan evidence based policy.
“KEMITRAAN itu jembatan, saya berfikir bahwa dia bisa (menjadi) versi Bapenasnya masyarakat sipil, sehingga persoalan parsial dapat diatasi. Ini (juga) jadi bargaining power dengan para pengambil kebijakan,” sebut Monica.
Selain itu dia juga menyarankan agar KEMITRAAN melakukan kajian mendalam seputar dampak regresi demokrasi hingga level tapak.
“Seringkali kebijakan dilahirkan terkait dengan konflik kepentingan para pihak, terutama elit dan kelompok atau partai. Bisakah kita membuat studi yang melihat seberapa berdampakkah kebijakan publik sampai pada level masyarakat di desa?” jelasnya.
Sementara Adnan menyarankan agar KEMITRAAN untuk lebih optimal dalam mengajak privat sektor terlibat dalam gerakan antikorupsi. Kendalanya menurut dia, regulasi terkait antikorupsi di Indonesia tidak mengatur di ranah swasta sehingga gak mengenal isu integritas.
“Survey LSI terbaru menyebut 70 persen lebih perusahan skala kecil, menengah atau besar di enam provinsi tidak memiliki aturan mengenai larangan menyuap, memberikan fasilitas dan sebagainya,” ungkapnya.
Selain itu, Muhamad Isnur, Bivitri Susanti dan Adhityanti mengusulkan perlunya memperkuat regenerasi di masyarakat sipil, mengingat anak muda terutama Gen-Z memiliki ketertarikan yang besar terhadap isu demokratisasi dan antikorupsi.
“Dari banyak catatan, rekomendasi yang utama adalah konsolidasi masyarakat sipil sebab regenerasi tidak terjadi dengat kuat,” jelas Isnur. Oleh karenanya penguatan masyarakat sipil harus lebih besar dalam kerja-kerja KEMITRAAN ke depan.
Bivitri Susanti mengingatkan, regenerasi juga perlu dilakukan di level akademik.
“Terjadi pembajakan demokrasi yang dianggap legal dan baik-baik saja, karena komunitas akademik, kampus dan para ahli menyetujui dan menjadi terinstitusionalisasi,” ungkapnya.
Isu terakhir yang juga perlu menjadi perhatian KEMITRAAN adalah bagaimana menjadikan upaya mencegah krisis iklim sebagai agenda bersama, tidak hanya sebagian masyarakat sipil yang fokus pada iklim, melainkan juga pemerintah terutama di politik sebagai pembuat arah kebijakan pembangunan ke depan.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.