Home / What We Do / Rule of Law and Anti-Corruption

Definition

Rencana Strategis 2012 – 2016

Keterlibatan KEMITRAAN

Beberapa wilayah nusantara rentan terhadap konflik, terutama wilayah perbatasan yang sensitif. KEMITRAAN melanjutkan proyek CEWERS yang sukses di wilayah pasca konflik termasuk Kupang, Poso, Ambon, dan Belu sebagai bagian dari program Aid to Uprooted People yang didukung oleh EU. Program yang selesai pada Januari 2013 ini meninggalkan jaringan multi pemangku kepentingan yang memungkinkan aktivis perdamaian lokal memiliki kapasitas yang lebih besar untuk mempengaruhi kebijakan di wilayah sensitif ini.

Mengurangi korupsi di Indonesia berarti fokus pada pengadaan yang menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi, sekitar 20 – 30% dari APBN tidak dipertanggungjawabkan. Dengan sistem pengadaan secara elektronik kami berharap uang ini dapat dialokasikan untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan dan untuk layanan sosial yang akan membantu mengentaskan kemiskinan. KEMITRAAN telah mempromosikan sistem pengadaan elektronik selama beberapa tahun ini, dan bekerja erat pada tahun 2012 dengan pemerintah Papua dan Papua Barat, yang memiliki keterbatasan dibanding provinsi lain. Sumber daya manusia selalu menjadi tantangan di provinsi-provinsi terpencil ini. Saat ini, pusat pembelajaran telah didirikan, bersama dengan lembaga model sistem pengadaan elektronik di pemerintah daerah Keerom dan Kaimana.

Ada dua pihak dalam pengadaan: pembeli (pemerintah) dan vendor (bisnis). KEMITRAAN juga telah bekerja dengan komunitas bisnis untuk meningkatkan proses pengadaan dan terus bekerja dengan SIEMENS dalam kegiatan anti-korupsi mereka yang berfokus pada advokasi untuk sistem pengadaan yang lebih transparan. Beberapa seminar diselenggarakan untuk membiasakan vendor dengan sistem pengadaan elektronik dan perhimpunan sektor swasta pun lahir untuk mendorong tindakan anti-korupsi dan tata kelola perusahaan yang baik.

Bisnis Dukung Reformasi Birokrasi di Indonesia

Ketidakefisienan dan korupsi tetap menjadi hambatan serius untuk melakukan bisnis di Indonesia menurut Sofyan Wanandi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Ia menjadi pembicara dalam Seminar KEMITRAAN, Upaya dan Tantangan Reformasi Birokrasi. “Ketidakefisienan berarti Indonesia ditempatkan di peringkat terbawah dalam peringkat kemudahan berbisnis menurut Bank Dunia. Pada 2012 kita di peringkat 129 dan untuk 2013 kita di peringkat 128,”

Soal korupsi, dia menilai Indonesia berada pada level kritis yang perlu mengambil langkah-langkah luar biasa. Korupsi merajalela di daerah, terutama dalam pengembangan dan pengalokasian anggaran daerah penerbitan izin usaha, pengadaan barang dan jasa, serta perumusan peraturan daerah.

“Reformasi birokrasi sama pentingnya dengan reformasi ekonomi dan politik, karena ini merupakan langkah awal untuk memperbaiki banyak hal di negeri ini, salah satunya adalah menciptakan iklim usaha yang sehat dan kondusif,” ujarnya. “Kalau birokrasinya transparan, adil, bersih, dan profesional, maka pengusaha tidak akan bisa menyuap.” Ia mengatakan, dunia usaha siap bekerja sama dan terlibat dalam proses reformasi.

Hingga akhir Desember 2012, TIRI (mitra kami dalam program Integritas) telah memperluas jaringan mitra universitas di jaringan IEN Indonesia menjadi 109 institusi anggota. I-IEN telah menyelesaikan enam modul pengajaran integritas untuk melengkapi kurikulum antikorupsi yang diprakarsai oleh Dewan Kementerian Pendidikan untuk Perguruan Tinggi.

Bersama dengan beberapa instansi pemerintah, akademisi dan CSO lainnya, TIRI mengembangkan modul pelatihan dasar bagi petugas integritas yang telah diadopsi dan dilaksanakan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk meningkatkan kapasitas staf pengawas internal. Terhitung ada lebih dari 4000 di antaranya pejabat di seluruh Kementerian.

Uji coba pelatihan integritas ini dilaksanakan pada awal tahun 2013 dengan angkatan pertama sebanyak 24 petugas pengawas internal dari Kementerian Perdagangan.

Sektor lain di mana korupsi tumbuh subur adalah perdagangan kayu, menurut Interpol pembalakan liar dalam kayu bisa bernilai hingga 8 miliar dolar setahun. Untuk memenuhi permintaan internasional akan kayu yang bersumber secara legal, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK. Peraturan ini dirancang untuk memudahkan importir besar kayu seperti Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa memenuhi persyaratan mereka sendiri terkait legalitas kayu yang mereka beli.

KEMITRAAN bersama mitra kami, telah meneliti berbagai instansi pemerintah di luar Kementerian Kehutanan, yang terlibat dalam verifikasi pengolahan kayu, antara lain Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Bea & Cukai, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pemerintah daerah. Kami akan terus memantau dampak Sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK, tergantung pada implementasi dan penegakannya.