Puji syukur kita panjatan pada Tuhan Pencipta Alam, yang mempertemukan kita melalui pengalaman magang mahasiswa yang tertuang dalam buku kumpulan tulisan ini. Pengalaman dan pembelajaran berharga yang dituliskan melalui cerita-cerita lapangan ini menjadi sangat penting sebagai bentuk kontribusi produk pengetahuan terkait masyarakat adat dan juga rekomendasi berharga bagi program Estungkara dalam pendampingan di komunitas adat.
Andi Alfian, salah satu peserta magang di tahun 2022 menuliskan cerita bagaimana masyarakat adat Cindakko di Kabupaten Maros menjaga relasi antara manusia, dan leluhur melalui sejumlah rangkaian ritual. Andi melakukan magang dalam menyusun thesisnya yang berjudul “Eco-relational Citizenship: Perspectives from Bara and Cindakko Indigenous Communities of Sulawesi, Indonesia” yang kemudian meraih Netherlands Thesis Prize 2023 sebagai thesis terbaik.
Selain itu juga tulisan-tulisan dari Diana Mayasari yang menggali praktik-praktik baik komunitas adat Mentawai seperti konsep Uma sebagai bentuk solidaritas komunitas adat Mentawai, serta praktik pengobatan masyarakat adat Mentawai melalui peran Sikerei yang dianggap sebagai tabib dalam komunitas adat Mentawai. Program magang yang diinisiasi KEMITRAAN melalui program Estungkara juga
memberikan ruang dan kesempatan belajar serta mengikuti aktivitas dan juga program lembaga/CSO dalam melakukan intervensi kepada komunitas adat di masing-masing wilayah. Tak hanya dilibatkan namun mereka juga dapat memberikan kontribusi dan masukan bagi penyelenggaraan program di komunitas.
“Perlu menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk Lembaga/CSO. Saat ini pihak LBL tengah berupaya untuk bekerjasama dengan penyuluh Marapu di desa binaannya, seperti Desa Kalamba. Hal ini berguna agar LBL dapat merekomendasikan keterlibatan tokoh Marapu di dalam mengajarkan pendidikan Marapu berbasis praktik,” ujar Gembong Hanung dalam tulisannya.
Buku ini juga memuat pembelajaran-pembelajaran yang dapat dipetik peserta magang dalam prosesnya. Rabiyatul Adawiyah, salah satu peserta magang menyatakan bahwa lembaga-lembaga pendamping komunitas harus bisa berdiri sendiri serta tidak hanya bergerak pada level tapaknya saja, namun juga harus bergerak ke atas untuk mengadvokasi hak-hak masyarakat ke pemegang kebijakan. Ia melihat bahwa CSO mampu mengisi kekosongan ataupun celah pemerintah yang tidak mampu mengcover isu-isu yang lebih spesifik pada level tapak.
KEMITRAAN melalui Program Estungkara (kESeTaraan Untuk meNGhapus KetidakAdilan dan diskRiminAsi) berupaya mendorong kesetaraan dan menghapus diskriminasi, khususnya bagi perempuan adat, penyandang disabilitas, dan anak di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam mewujudkan hal ini, tentunya peran banyak pihak sangat dibutuhkan, salah satunya dari sisi akademisi dalam menggali nilainilai inklusi sosial di komunitas adat dalam menjadi produk pengetahuan untuk pembelajaran lebih lanjut.
Terkait hal ini, melalui program magang ini, KEMITRAAN menyediakan ruang belajar bagi mahasiswa untuk melihat kondisi serta berinteraksi langsung di masyarakat adat melalui kegiatan live-in selama kurang lebih dua bulan. Melalui program ini juga mereka dapat mempraktikan ilmu dan keahlian masing-masing untuk dapat dituangkan dalam konteks komunitas adat. Hal ini kemudian terlihat dalam tulisan-tulisan peserta magang dengan ragam teori yang kemudian menjadi sumbangsih produk pengetahuan bagi program Estungkara.
Selamat membaca.
Moch. Yasir Sani
Manager Program Kemitraan