Kata Pengantar
Praktik peradilan pidana di Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dan ini bukan permasalahan baru. Sudah cukup lama ahli, praktisi dan masyarakat mempermasalahkan praktik-praktik negatif, seperti minimnya keterpaduan dalam sistem peradilan pidana kita. Masing-masing institusi/lembaga, seakan berjalan sendiri-sendiri. Upaya paksa, seperti penahanan, penggeledahan dan penyitaan, dilakukan secara berlebihan, diskriminatif dan tanpa akuntabilitas yang jelas. Perlindungan bagi tersangka dan terdakwa, meski sebagian sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), belum sepenuhnya diterapkan, selain masih ada kekurangan – misalnya terkait akses bagi advokat untuk memberikan pembelaan yang optimal.
Kondisi di atas terefleksi pula dalam indeks negara hukum Indonesia (rule of law index) yang diukur oleh World Justice Project. Pada tahun 2023 ini, skor terkait penegakan hukum pidana Indonesia merah, yakni 0.40 (dengan 1 sebagai nilai tertinggi). Nilai rendah tersebut terutama karena masalah KKN, penyidikan yang tidak efektif dan belum sesuainya proses penegakan hukum pidana dan pemenuhan hak-hak terdakwa.
Di sisi lain, upaya untuk memperbaiki kondisi di atas pun terkesan berjalan di tempat. Rencana untuk mengubah KUHAP, landasan pokok yang mengatur sebagian besar aspek pelaksanaan peradilan pidana, yang sudah didorong sejak tahun 2004, belum juga terealisir. Memang ada upaya parsial untuk menutupi kelemahan tersebut, misalnya melalui pengundangan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, atau, baru-baru ini, pengaturan terkait keadilan restoratif (restorative justice) oleh masing-masing instansi penegak hukum. Namun perubahan parsial tersebut belum memadai, bahkan menimbulkan masalah baru.
Beranjak dari kondisi di atas, KEMITRAAN (Partnership for Governance Reform) melalui proyek Reforming the Criminal Justice System to Advance the Rule of Law (RECREATE) melaksanakan Asesmen Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Asesmen ini bertujuan untuk menilai apakah praktik peradilan pidana saat ini sudah mencerminkan sebuah sistem dan mampu merespon berbabagi kebutuhan pokok atas peradilan pidana. Asesmen ini memetakan secara makro kondisi, tantangan, dan sumber permasalahan yang dihadapi peradilan pidana di Indonesia, baik dalam aspek peraturan perundang-undangan, bisnis proses, dan kelembagaan, serta memberikan rekomendasi-rekomendasi dalam rangka pembaruan.
10
Asesmen ini dilakukan melihat adanya momentum untuk mendorong usulan- usulan perbaikan, yakni penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang saat ini tengah dilakukan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), serta rencana perubahan KUHAP yang diharapkan dapat mulai dibahas pada pemerintahan mendatang pasca pemilu 2024.
Kami mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah mendukung terlaksananya asesmen ini, yaitu United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan Bureau of International Narcotics and Law Enforcement Affairs (INL), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), serta para narasumber dan para reviewer yang telah berkenan memberi data, informasi, serta input terhadap asesmen ini. Semoga asesmen ini dapat memberi manfaat dalam mendorong terwujudnya sistem peradilan pidana Indonesia yang lebih baik.
Laode Muhammad Syarif, S.H., LL.M, Ph.D.
Direktur Eksekutif KEMITRAAN