Oleh Susana Rita Kumalasari

BPMI SEKRETARIAT PRESIDENPresiden Joko Widodo, Jumat (26/1/2024).

JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo dinilai gagal memimpin pemberantasan korupsi selama lebih kurang sembilan tahun masa pemerintahannya. Skor Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia stagnan, ada di angka 34 pada tahun 2014 dan 2023. Dengan stagnasi tersebut, peringkat RI merosot lima tingkat dari 110 menjadi 115 dari total 180 negara.

IPK Indonesia pernah memperoleh skor tertinggi sepanjang sejarah, yakni berada di angka 40 pada 2019 atau setelah satu periode kepemimpinan Presiden Jokowi. Namun, angka tersebut kemudian terjun bebas pada 2022 menjadi 34.

”Demokrasi Indonesia sedang berjalan mundur secara cepat. Langkah mundur itu serentak dengan rendahnya pemberantasan korupsi dan perlindungan HAM di Tanah Air. Padahal, tanpa penegakan korupsi yang mumpuni, perlindungan HAM sejati tidak akan diraih,” kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko, Selasa (30/1/2024), di Jakarta.

Berdasarkan data skor IPK RI sejak 2014 hingga 2023 atau selama periode pemerintahan Jokowi, artinya tidak ada kenaikan poin sama sekali. Kondisi ini berbeda dengan satu dekade pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014). Selama memimpin, Yudhoyono berhasil menaikkan 14 poin skor IPK RI (dari 20 menjadi 34) dengan rincian delapan poin pada pemerintahan periode pertama dan enam poin pada periode kedua.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjalan bersama Ketua Komite Nasional Agenda Pembangunan Pasca-2015 Kuntoro Mangkusubroto pada Pembukaan Konsultasi Nasional Agenda Pembangunan Pasca-2015 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (20/2/2013).

Transparency International meluncurkan indeks persepsi korupsi 180 negara secara bersamaan kemarin. Peneliti TII, Wawan Suyatmiko, mengungkapkan, rata-rata skor IPK global ada di angka 43 dan hal ini terjadi selama delapan tahun berturut-turut. Artinya, secara global sebenarnya tidak ada perubahan signifikan untuk menjadikan negara-negara lebih tidak korup.

Skor tertinggi dipegang Denmark (90), Finlandia (87), Selandia Baru (85), Norwegia (84), dan Singapura (83). Sementara lima negara dengan skor IPK terendah adalah Somalia (11), Suriah, Sudan, dan Venezuela (masing-masing 13), serta Yaman (16).

Adapun dinamika skor IPK di negara-negara tetangga RI bervariasi, misalnya Singapura yang stagnan di skor 83, Malaysia naik dari 47 menjadi 50, Timor Leste naik dari 42 menjadi 43, dan beberapa negara mengalami penurunan skor, seperti Vietnam (dari 42 ke 41), Laos, Kamboja, dan Myanmar.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, selama sembilan tahun masa pemerintahan Jokowi tidak ada kontribusi berarti dalam agenda pemberantasan korupsi. Bahkan, pemerintahannya cenderung membawa kemunduran.

KOMPAS/ZULAKRNAIN IPeneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana

ICW menyinyalir beberapa alasan yang turut melemahkan IPK, yakni Presiden Jokowi lebih sibuk cawe-cawe dalam urusan politik ketimbang melakukan pembenahan hukum. Sejumlah regulasi yang diyakini dapat menyokong pemberantasan korupsi, seperti RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan revisi UU Pemberantasan Tipikor, tidak dikerjakan.

Selain itu, Kurnia menilai Presiden telah melepas tanggung jawab terhadap apa yang terjadi di KPK dan buruknya tata kelola di lembaga tersebut. Di samping itu, proyek legislasi yang dihasilkan presiden dan DPR justru mendegradasi pemaknaan korupsi sebagai kejahatan luar biasa ketika mengesahkan UU Pemasyarakatan (dihapusnya syarat justice collaborator untuk memperoleh remisi) dan KUHP nasional.

Alasan lainnya, melemahkan komitmen antikorupsi di aparat penegakan hukum. Hal ini setidaknya tergambar dalam kasus yang menimpa Ketua KPK Firli Bahuri dan problema etik yang melanda pegawai KPK secara berjemaah.

Korupsi dan demokrasi

Dalam paparannya, Wawan menjelaskan, TII mengambil tema mengenai korupsi, demokrasi, dan keadilan sosial dalam pemaparan IPK 2023 selaras dengan situasi RI yang akan menjalani transisi kepemimpinan melalui Pemilu 2024. Pihaknya pun merealisasikan skor IPK tersebut dengan indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit.

Berdasarkan analisisnya, negara-negara yang berada pada kategori full democracy atau demokrasi penuh memiliki skor IPK tinggi (di atas 73) atau lebih bersih. Setidaknya terdapat 24 negara dengan kategori tersebut. Sementara itu, negara dengan demokrasi cacat/tidak sempurna (flawed democracy) memiliki rata-rata skor IPK 48. Ada 48 negara dengan kategori ini. Sementara rezim nondemokrasi rata-rata memiliki IPK 32 (ada di 94 negara).

”Artinya demokrasi yang diterapkan penuh, dia akan mendukung pemberantasan korupsi secara lebih baik. Demikian pula sebaiknya, pemberantasan korupsi harus mendapatkan prasyarat demokrasi yang penuh,” kata Wawan.

Begitu pula dengan akses keadilan masyarakat yang berjalan di rel yang sama dengan demokrasi dan indeks persepsi korupsi. Kian demokratis dan bersih dari korupsi, akses keadilan warga kian terjamin.

”Penting dicatat, dengan skor yang stagnan, tetapi ranking turun, ini pertanda buruk kalau kita mau jadi negara demokrasi penuh dengan keadilan yang merata,” tambahnya.

KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan barang bukti operasi tangkap tangan kasus pemotongan insentif pegawai di lingkungan Badan Pelayanan Pajak Daerah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, di KPK, Senin (29/1/2024).

Menurut dia, stagnannya skor IPK lebih disumbang karena persoalan pada penegakan hukum dan korupsi politik. Pekerjaan rumah terbesar untuk meningkatkan skor IPK ke depan adalah memberantas korupsi politik. Oleh karena itu, TII mengimbau agar pemerintah serta penyelenggara dan peserta pemilu untuk menjamin terselenggaranya pemilihan yang demokratis dan berintegritas.

Dalam hal penegakan hukum, pemerintah/presiden, parlemen, dan lembaga peradilan juga diminta untuk memiliki komitmen kuat dan konsisten dalam upaya pemberantasan korupsi.

Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif mengatakan, bangsa ini wajib bekerja lebih keras untuk menata sejumlah hal. Hal itu di antaranya memperbaiki demokrasi dan akuntabilitas partai politik, menghilangkan semua politik uang dan penyakit demokrasi lainnya, serta menghilangkan korupsi di aparat penegak hukum dan juga militer.

Ia berharap, para calon presiden memiliki visi misi dan program yang jelas, seperti merevisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan mengesahkan UU Perampasan Aset.

Sumber: Kompas.id

https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/01/30/peringkat-ri-merosot-dalam-pemberantasan-korupsi