Oleh Kiki Safitri, Ihsanuddin

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Sumatera Utara (Sumut) menggelar aksi demonstrasi bersama Aksi Kamisan untuk memperingati kepergian Rico Sempurna Pasaribu, di sekitar Lapangan Merdeka, Kota Medan pada Kamis (15/8/2024) (KOMPAS.com/GOKLAS WISELY )

JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian Kemitraan Laode M. Syarif mengatakan, pada dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2024), para pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia menghadapi tantangan yang semakin berat.

“Ancaman dan serangan terhadap mereka terus meningkat, baik dalam bentuk fisik maupun non-fisik, dengan intensitas yang mengkhawatirkan,” kata Laode di Jakarta, Jumat (27/9/2024).

Berdasarkan laporan tersebut, ada lima jenis serangan tertinggi terhadap pembela HAM (total 1.609 peristiwa), dimana yang tertinggi adalah Judicial Harassment, lalu ancaman dengan sarana elektronika, teror dan ancaman, pengusiran/pembubaran, serta penganiayaan.

Jenis serangan lain, termasuk perusakan, serangan menimbulkan kematian, serangan ekonomi, atau pelecahan seksual. Di sisi lain penelitian menunjukkan terjadinya perubahan pola serangan antara periode pertama Pemeritahan Jokowi (2014-2019) dan periode kedua (2019-2023).

“Pada periode pertama, jenis serangan yang paling kerap dilakukan adalah penganiayaan, hal mana pada periode kedua bergeser dan lebih mengarah pada judicial harassment,” lanjutnya.

Adapun isu advokasi yang mengalami serangan atau ancaman mencakup diskriminasi warga Papua, buruh, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, korupsi, hingga kritik pejabat.

Dia mengatakan, kondisi ini tentu menghalangi perjuangan Pembela HAM dalam membela hak-hak masyarakat yang terpinggirkan, serta mengancam keselamatan mereka sendiri.

Laode mengatakan, serangan fisik terhadap Pembela HAM seperti penganiayaan, pembubaran demonstrasi, hingga pembunuhan terus terjadi.

Di sisi lain, serangan non-fisik dalam bentuk ancaman pembunuhan, kekerasan, teror, serta serangan seksual verbal juga banyak dilaporkan.

“Tidak hanya itu, serangan di ranah digital menggunakan peretasan, doxing, dan buzzer pemerintah juga mewarnai dekade terakhir pemerintahan Jokowi,” ungkapnya.

Laporan yang diterbitkan oleh Kemitraan bersama Kaukus Perempuan Pembela HAM ini mengungkapkan bahwa banyak Pembela HAM juga menjadi target kriminalisasi dan pelecehan yudisial.

Dalam perjuangan mereka membela HAM, tidak jarang para Pembela HAM dilaporkan ke aparat penegak hukum, bahkan beberapa di antaranya ditangkap dan dijatuhi hukuman.

“Papua menjadi wilayah dengan intensitas serangan yang tinggi terhadap Pembela HAM, dengan kasus-kasus kekerasan fisik, rasisme, dan stigmatisasi yang terus terjadi, terutama dalam konflik yang berkaitan dengan sumber daya alam,” jelas dia.

Laode mengungkapkan, laporan tersebut juga menyoroti lemahnya akuntabilitas dalam menangani serangan terhadap Pembela HAM.

Banyak kasus serangan yang dilaporkan ke pihak berwenang tidak diproses secara tuntas, bahkan terkesan diabaikan. Sejumlah pelaku serangan tidak teridentifikasi, sehingga tidak pernah menjalani proses hukum.

“Meskipun peran Pembela HAM sangat penting dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat, hingga kini Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang melindungi mereka,” lanjutnya.

Untuk itu, dia menegaskan perlunya peningkatan pemahaman pemerintah, aparat penegak hukum, dan pihak terkait mengenai pentingnya peran Pembela HAM.

“Laporan ini diharapkan dapat menggugah perhatian berbagai pihak, baik pemerintah, DPR, aparat hukum, hingga dunia usaha, untuk mengambil tindakan serius dalam melindungi Pembela HAM,” tegasnya.