Home / Publication

HUT Polri dan Tantangan Menjaga Marwah Polri

Foto: Dok. Antara Foto

Satu dari sekian instruksi Presiden Jokowi kepada Polri saat memimpin upacara HUT Polri selama tiga tahun berturut-turut adalah meningkatkan pelayanan publik yang modern dan profesional. 

Pada sisi lain, hasil survei Indeks Tata Kelola Polri (ITK) pada level POLRES selama tiga tahun terakhir menemukan adanya upaya pembenahan yang terus dilakukan di sektor layanan, salah satunya dengan memanfaatkan teknologi informasi. Misalnya yang dilakukan oleh Polres Lombok Tengah melalui aplikasi Sasak (Sistem Aplikasi Sambungan Aktif Kepolisian), Polres Ketapang dengan aplikasi Dilan (Digital melayani), serta puluhan Polres lain yang tersebar di seluruh Indonesia. 

Namun demikian, survei ITK juga mencatat bahwa penggunaan aplikasi hanya membantu menginformasikan persyaratan layanan, mempermudah proses pendaftaran dan memotong antrian di loket pelayanan. Pada akhirnya, pelayanan saat uji praktik, kenyamanan fasilitas kantor dan tingkat responsivitas anggota menjadi penentu baik buruknya layanan. Untuk itu, sebelum penggunaan aplikasi semakin menjadi acuan dan diimplementasikan pada seluruh Polres, Polri perlu terlebih dahulu melakukan dua hal mendasar, yakni merumuskan skema pelayanan yang nyaman, serta menghilangkan perbedaan kualitas antar layanan melalui peningkatan kapasitas anggota.  

Kendala pelayanan yang ada di Polres saat ini, pernah dialami oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dengan lebih dari 500 jenis perizinan dan non perizinan yang tersebar di sekitar 14 dinas. Untuk mengatasinya, Pemda mengimplementasikan konsep pelayanan terpadu dengan beberapa alternatif pilihan, mulai dari pelayanan terpadu satu pintu, satu atap, satu loket dan lain-lain. Konsep ini terbukti memudahkan masyarakat yang ingin mengakses layanan publik, menghemat tenaga, serta menekan jumlah potensi suap.

Konsep pelayanan terpadu yang dilaksanakan oleh Pemda dapat menjadi salah satu alternatif pembenahan, misalnya konsep pelayanan terpadu satu pintu atau satu atap dan yang terbaru adalah mal pelayanan publik. Sejauh ini, telah terdapat konsep Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) dan diimplementasikan di seluruh Polres. Namun baru dimaknai sebagai unit yang memberikan pelayanan terhadap laporan, bantuan serta layanan informasi, belum menjadi pusat seluruh pelayanan publik di Polres. Sebagai contoh, layanan SIM berada di unit Lalu Lintas dan SKCK di unit Intelijen Keamanan. Padahal, kedua layanan tersebut yang paling banyak diakses publik dan menjadi andalan sumber Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) institusi Polri.

Kondisi ini kerap menyulitkan masyarakat yang ingin mendapatkan beberapa jenis pelayanan secara bersamaan. Pada masa pandemi Covid-19, kondisi ini juga berpotensi menjadikan penyebaran virus cukup besar di Polres. Mengingat lokasi kantor layanan berada di sekitar ruang kerja unit yang membawahinya. Misalnya, pelayanan SKCK kerap terletak di sekitar ruang Intelkam. Anggota yang bukan berada di sektor pelayanan akan lebih mudah tertular karena tingkat kesadaran untuk memakai masker dan mematuhi protokol lebih rendah dibandingkan anggota yang melayani publik secara langsung. 

Pada sisi lain Polri juga dirugikan dengan skema pemisahan layanan, karena menjadikan kebutuhan personel untuk layanan cenderung banyak. Sementara jumlah personel Polres, terutama yang memiliki kompetensi bidang layanan sangat terbatas, dan kerap menjadikan kualitas di masing-masing layanan bervariasi. Kondisi inilah yang kerap dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk mempercepat dan mempermudah layanan, dan mengakibatkan terjadinya praktik suap serta penyelewengan terhadap aturan. Padahal, publik berharap layanan yang mereka terima tidak hanya cepat dan mudah, melainkan juga pelayanan harus terjangkau, aman, mudah dan nyaman (Survey Kemen PAN-RB, 2017). Kualitas anggota yang melayani juga perlu mendapatkan perbaikan, mengingat hasil survey kepatuhan Ombudsman (2019) menyebut Polri perlu meningkatkan tingkat kepatuhan terhadap standar pelayanan. 

Menjaga Marwah Polri

Perbaikan yang konsisten dan lompatan-lompatan kecil inovasi pelayanan Polri yang kian hari kian meningkat akan hilang dari ‘collective memory’ masyarakat, jika sejumlah oknum Polri tetap melakukan keanehan-keanehan dan tidak profesional dalam mengemban tugas. 

Perasaan publik campur aduk saat mendengar kabar oknum Polri tega memperkosa gadis hilang, di tempat yang seharusnya paling aman, kantor polisi sektor Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat. Kelakuan keji ini jelas mencoreng upaya institusi yang sedang membangun citra sebagai lembaga pengayom dan pelindung masyarakat. 

Upaya pimpinan membangun lembaga Polri menuju kelas dunia (world class organization) juga runtuh seketika, saat masih ada oknum anggota yang melakukan Pungli dan kekerasan kepada masyarakat. 

Pada sisi lain, publik sangat berharap Polri dapat menjadi lembaga yang memastikan tegaknya hak sipil di ruang publik. Karena faktanya, banyak pengukuran seputar kualitas demokrasi Indonesia menunjukan tren kebebasan berpendapat dan berekspresi Indonesia mengkhawatirkan. Misalnya, survey LSI bulan Mei-Juni 2019 yang menunjukkan sebanyak 43 persen responden mengaku takut menyampaikan pendapat, dan 38 persen responden lainnya takut dengan penangkapan semena-mena oleh aparat kepolisian.

Nilai buruk juga ditunjukan pada indeks HAM yang dikeluarkan oleh Setara Institute (2019), dimana skor kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat selama periode pertama pemerintahan Joko Widodo memperoleh nilai terendah diantara 11 indikator lainnya, hanya 1,9 dari skala 1 sampai 7. 

Hasil pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2018 juga menunjukan tren serupa, dimana skor aspek kebebasan sipil, yang terdiri dari empat variabel yakni kebebasan berkumpul/berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan atas perlakukan diskriminasi menurun dengan tajam. 

Di level internasional, kajian Freedom House menyimpulkan kebebasan berpendapat Indonesia tak pernah bebas sepenuhnya sepanjang 2015 hingga 2019. Angka yang tidak menggembirakan juga dilaporkan oleh The Economist Intelligence Unit yang menyimpulkan kualitas demokrasi Indonesia menurun signifikan dari peringkat 48 di tahun 2016 menjadi peringkat 64 dari 167 negara di tahun 2019. Walaupun penurunan kualitas kebebasan berpendapat dan kualitas demokrasi tersebut tidak semuanya kesalahan Polri, tapi masyarakat umum menilai bahwa aparat kepolisian telah dimanfaatkan oleh kekuatan politik untuk menekan kebebasan mengemukaan pendapat dan pikiran di Indonesia. 

Dalam rangka menjaga marwah kepolisian, pimpinan Polri masa kini dan masa mendatang perlu bijak melayari gelombang politik yang selalu berubah dan segera fokus pada upaya untuk meningkatkan integritas dan profesionalisme setiap aparat polisi, khususnya satuan reserse kriminal di tingkat Polres, Polda dan Mabes, agar cerita-cerita miring penegakan hukum yang sering menghiasi koran, radio, televisi dan lautan media sosial dapat ditekan pada level yang terendah. 

Akhirnya, perlu diingat bahwa marwah kepolisian negara tidak ditentukan banyaknya jenderal polisi yang menduduki jabatan-jabatan kunci di sejumlah kementerian dan lembaga, tapi banyak ditentukan oleh pribadi-pribadi teladan Polri, seperti Aipda Andi Sri Ulfa yang menginisiasi ‘meja tanpa laci’ di Polsek Panakukang Makassar, Bripka Jerry Tumundo dan Aiptu Sri Mulyono yang rela mewakafkan diri menjadi relawan pengubur jenazah yang meninggal akibat Covid19.

Terima kasih Polri, jangan pernah lupa pada panggilan mulia untuk melindungi dan mengayomi rakyat Indonesia.

________

Artikel telah dimuat di Kompas.com

Penulis: Arif Nurdiansah. Penulis adalah tim peneliti KEMITRAAN 

Editor: Bayu Galih

2016

Pada bulan Maret 2016, KEMITRAAN menerima akreditasi internasional dari Adaptation Fund. Dewan Adaptation Fund, dalam pertemuannya yang ke-27, memutuskan untuk mengakreditasi KEMITRAAN sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Adaptation Fund. KEMITRAAN menjadi lembaga pertama dan satu-satunya lembaga Indonesia yang terakreditasi sebagai NIE Adaptation Fund di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

 

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

 

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

2000-2003

KEMITRAAN memainkan peran krusial dalam mendukung pengembangan undang-undang untuk membentuk KPK. Hal ini diikuti dengan langkah mendukung Pemerintah dan DPR dalam memilih calon komisioner yang kompeten dan juga mendukung kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara kritis proses seleksinya. Setelah komisioner ditunjuk, mereka meminta KEMITRAAN untuk membantu mendesain kelembagaan dan rekrutmen awal KPK, serta memainkan peran sebagai koordinator donor. Sangat jelas bahwa KEMITRAAN memainkan peran kunci dalam mendukung KPK untuk mengembangkan kapasitas dan strategi yang diperlukan agar dapat bekerja seefektif mungkin.

2003

Pada tahun 2003, KEMITRAAN menjadi badan hukum yang independen yang terdaftar sebagai Persekutuan Perdata Nirlaba. Pada saat itu, KEMITRAAN masih menjadi program yang dikelola oleh UNDP hingga akhir tahun 2009. Sejak awal tahun 2010, KEMITRAAN mengambil alih tanggung jawab dan akuntabilitas penuh atas program-program dan perkembangannya.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

This agreement was signed between Green Climate Fund (GCF) and PARTNERSHIP. This agreement formalizes KEMITRAAN’s accountability in implementing projects approved by the GCF.

For your information, the GCF is the world’s largest special fund that helps developing countries reduce greenhouse gas emissions and increase their ability to respond to climate change.

These funds were collected by the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) in 2010. The GCF has an important role in realizing the Paris Agreement, namely supporting the goal of keeping the average global temperature increase below 2 degrees Celsius.

2020

This agreement was signed between Green Climate Fund (GCF) and PARTNERSHIP. This agreement formalizes KEMITRAAN’s accountability in implementing projects approved by the GCF.

For your information, the GCF is the world’s largest special fund that helps developing countries reduce greenhouse gas emissions and increase their ability to respond to climate change.

These funds were collected by the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) in 2010. The GCF has an important role in realizing the Paris Agreement, namely supporting the goal of keeping the average global temperature increase below 2 degrees Celsius.

2016

In March 2016, KEMITRAAN received international accreditation from the Adaptation Fund. The Adaptation Fund Board, in its 27th meeting, decided to accredit KEMITRAAN as National Implementing Entity (NIE) from the Adaptation Fund. KEMITRAAN is the first and only Indonesian institution to be accredited as a NIE Adaptation Fund in Indonesia.

2003

In 2003, KEMITRAAN became an independent legal entity registered as a Non-Profit Civil Partnership. At that time, KEMITRAAN was still a program managed by UNDP until the end of 2009. Since the beginning of 2010, KEMITRAAN took over full responsibility and accountability for the programs and their development.

2000-2003

KEMITRAAN played a crucial role in supporting the development of legislation to establish the KPK. This was followed by steps to support the Government and DPR in selecting competent commissioner candidates and also supporting civil society groups to critically monitor the selection process. After the commissioners were appointed, they asked KEMITRAAN to help with the institutional design and initial recruitment of the KPK, as well as play the role of donor coordinator. It is clear that KEMITRAAN plays a key role in supporting the Corruption Eradication Commission to develop the capacity and strategies needed to work as effectively as possible.

1999-2000

The Partnership for Governance Reform, or KEMITRAAN, was founded in 2000 following Indonesia’s first free and fair general election in 1999. This historic election is an important step in Indonesia’s efforts to move away from an authoritarian past towards a democratic future. PARTNERSHIP was established from a multi-donor trust fund and is managed by United Nations Development Programme (UNDP) with a mandate to advance governance reform in Indonesia

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.