
SAMARINDA – KEMITRAAN dan Center for Climate and Urban Resilience (CECUR) menggelar Seminar Internasional bertajuk “Peran Ruang Publik dalam Resiliensi Infrastruktur dan Adaptasi Masyarakat terhadap Dampak Perubahan Iklim. Acara yang dihadiri sejumlah akademisi dan pegiat ruang publik ini berlangsung di Hotel Midtown Samarinda, Kalimantan Timur pada 23 – 25 April 2025, atas dukungan Adaptation Fund.
Seminar ini berangkat dari proyek “Merangkul Matahari” yang digagas KEMITRAAN dan CECUR dan berfokus pada pembangunan ruang publik berketahanan iklim dengan tipologi baru di Samarinda. Ruang publik ini dirancang untuk membantu masyarakat Samarinda menghadapi tantangan perubahan iklim seperti bencana banjir serta krisis air bersih. Lewat seminar ini, KEMITRAAN dan CECUR hendak menyebarluaskan gagasan pembangunan ruang publik berbasis adaptasi perubahan iklim yang belum banyak diadopsi kota-kota di Indonesia.
Pada hari pertama seminar, peserta mempelajari materi yang disampaikan oleh tiga narasumber yakni Dosen dari Quensland University of Technology (QUT) Dan Nyandega, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Yulia Suryanti, dan Senior Program Manager Climate Resilience & Finance Governace KEMITRAAN Abimanyu Sasongko Aji.
Dalam paparannya, ketiga pemateri menyampaikan pentingnya kota memiliki ruang publik terbuka hijau yang adaptif terhadap perubahan iklim. Artinya, ruang publik terbuka yang menjadi tempat berkumpulnya warga itu juga bisa menjadi ruang tangkapan air serta didesain untuk menjadi tempat evakuasi jika sewaktu-waktu terjadi banjir. Untuk itu dalam paparannya, Aji menyampaikan pentingnya pelibatan masyarakat dalam membangun ruang publik berketahanan iklim yang inklusif.
“Dalam setiap program kami di berbagai daerah, kami selalu melibatkan masyarakat dalam bentuk pokja (kelompok kerja), apalagi dalam membangun ruang publik (di Samarinda),” ujar Aji.
Di hari kedua, peserta seminar diajak untuk melihat langsung ruang publik terbuka hijau yang sedang dibangun KEMITRAAN dan CECUR atas dukungan Adaptation Fund. Ruang publik itu terletak persis di samping Pasar Segiri dan Sungai Karangmumus yang membelah Kota Samarinda. Di sana, peserta diajak berkeliling untuk melihat berbagai fungsi dari fasilitas yang ada. Di antaranya ialah panel surya dan generator kincir angin yang berperan sebagai sumber listrik untuk sebagian operasional ruang publik. Ada pula ruang serba guna di lantai 2 yang dapat digunakan untuk tempat evakuasi saat terjadi banjir jika sewaktu-waktu Sungai Karangmumus meluap.
Selain itu, peserta seminar juga diajak berdialog langsung dengan warga di sekitar lokasi pembangunan ruang publik terbuka hijau. Dalam proses pembangunan, warga juga dilibatkan agar ke depannya bisa turut serta mengelola taman di ruang publik. Rencananya, sebagian lahan taman akan ditanami tanaman sayur-mayur dan obat yang dapat dimanfaatkan warga. Karena itu, warga sekitar juga diajarkan untuk mengolah sampah organik untuk dijadikan kompos. Selanjutnya, mereka diajak berkunjung ke Taman Cerdas Samarinda untuk mendapatkan data pembanding.
Di hari ketiga, peserta diminta untuk merumuskan hasil pengamatan dari ruang publik terbuka hijau dan Taman Cerdas Samarinda yang telah dikunjungi. Mereka juga diminta untuk menyampaikan masukan dan juga konsep ruang publik yang lebih paripurna untuk diaplikasikan di kota-kota lainnya.
Menanggapi keseluruhan acara seminar, dosen Universitas Mulawarman Safaranita Nur Effendi yang juga menjadi peserta mengatakan dirinya banyak mendapat wawasan baru terkait peran ruang publik bagi masyarakat. Ia juga mendapat pengetahuan baru mengenai ruang publik dari sudut pandang perubahan iklim.
“Ke depannya kita butuh adanya kolaborasi (untuk membangun ruang publik berketahanan iklim), bukan hanya dari kami para akademisi, tapi juga dari masyarakat. Semoga dengan adanya kegiatan ini bisa memberi dampak signifikan bagi Samarinda,” ujar Safaranita